Senin, 07 Mei 2012

Bumi Manusia dan Alquran


Bumi Manusia dan Alquran
Abdul Moqsith Ghazali; Aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL)
SUMBER :  JIL, 07 Mei 2012

Pengantar
Masyarakat semenanjung jazirah Arab sebelum al-Qur’an diturunkan terkonsentrasi ke dalam dua ruang, kota dan desa. Mereka yang tinggal di kota disebut Arab (al-‘arab), sedangkan yang tinggal di desa disebut A’rab (al-A’rab). Berbeda dengan masyarakat desa yang hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal, masyarakat kota cenderung menetap dan memiliki tempat tinggal sendiri. Kehidupan masyarakat desa amat tergantung kepada alam; mereka mendekati mata air untuk minum dan padang rumput untuk makanan binatang gembalaannya. Dari binatang itu, mereka memerah susu, memakan daging, dan memanfaatkan bulu-bulunya. Jika alam di sekitaran tak lagi memberikan cukup makanan, mereka akan pindah ke daerah lain dengan suasana alam yang masih perawan dan subur.

Khalil Abdul Karim berkata bahwa masyarakat desa itu (al-a’rab) tak menyukai kehidupan bercocok tanam. Mereka lebih suka berperang, berdebat, dan membunuh. Bagi mereka, rezeki hanya bisa diperoleh melalui pedang dan panah mereka. Itu sebabnya, sebagian dari mereka suka mengubur anak-anak perempuan mereka. Bukan hanya karena anak perempuan itu tak membanggakan secara sosial, melainkan juga karena tak menghasilkan secara ekonomi. Anak perempuan itu tak bisa mengangkat pedang, tak bisa memanah, dan tak pandai menunggang kuda untuk berperang. Karena itu, menurut mereka, perempuan tak pantas untuk mendapatkan waris bahkan ia adalah barang yang bisa diwariskan. Al-Qur’an pun merekam kebiasaan sebagian masyarakat desa saat itu yang suka membunuh setiap bayi perempuan yang lahir. Dalam suasana peperangan, tak tertutup kemungkinan anak-anak perempuan itu akan menjadi tangkapan perang untuk selanjutnya dijadikan budak.

Tentang perlakuan kejam mereka terhadap anak perempuan itu, disebutkan dalam al-Qur’an (al-Nahl [16]: 58-59), “apabila seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”. Bahkan, perlakuan buruk terhadap perempuan ini tak hanya terkonsentrasi di desa, melainkan juga dilakukan oleh sebagian masyarakat kota. Al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Jilid V, hlm. 468-469) menyebut kebiasaan Bani Mudhar, Bani Khuza’ah, dan Bani Tamim yang membunuh anak-anak perempuan dalam keadaan hidup.

Sedangkan masyarakat kota Arab tampak lebih maju dan berperadaban. Orang-orang kaya dari penduduk kota itu memakai pakaian yang halus, alas kaki impor, sorban yang berkilau, mengkonsumsi makanan penuh gizi. Rumah mereka penuh dengan perabot mewah seperti kristal. Mereka yang tinggal di Thaif dan Yaman tak hanya bercocok tanam, tapi juga berbisnis. Bahkan, mereka kerap melakukan perjalanan bisnis hingga ke luar daerah. Al-Qur’an merekam kebiasaan pedagang-pedagang Quraish di Mekah yang suka bepergian untuk kepentingan bisnis ke luar daerah tanpa mempedulikan musim. 

Disebutkan dalam al-Qur’an (al-Quraish [106]: 1-2), “karena kebiasaan orang-orang Quraish, yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim panas dan dingin” (li ilafi Quraish, rihlah al-syita’ wa al-shaif). Berbagai buku sejarah mengisahkan bahwa ketika berumur sembilan tahun—ada yang berkata 12 tahun—, Muhammad SAW bersama pamannya (Abu Thalib) pergi bersama kafilah saudagar ke negeri Syiria. Jauh sebelum diangkat menjadi nabi, Muhammad ibn Abdullah juga aktif berkunjung ke luar kota untuk kepentingan bisnis Khadijah (kelak menjadi istri Nabi Muhammad).

Berbeda dengan masyarakat desa yang sebagian besar—kalau tidak seluruhnya—buta huruf; tidak bisa membaca dan menulis, maka masyarakat kota sebagian sudah bisa membaca dan menulis. Masyarakat kota dikenal pandai menggubah puisi bahkan secara spontan. Puisi-puisi yang terbaik kemudian digantung di dinding Ka’ba, disebut al-Mu’allaqat. Yang menarik, sekalipun Jazirah Arab terhampar cukup luas, dalam percakapan sehari-hari, mereka menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Arab. Dengan demikian, puisi-puisi hasil gubahan para penyair Yaman bisa dengan mudah dipahami oleh orang-orang yang ada di Mekah. Dengan bahasa yang sama itu juga orang Mekah tak perlu penterjemah untuk membangun komunikasi bisnis dengan orang Yaman, Thaif, Yatsrib, dan Yamamah. Kehadiran al-Qur’an yang berbahasa Arab itu menyebabkan al-Qur’an bisa dengan cepat tersebar ke seluruh Jazirah Arab. Keindahan diksi al-Qur’an bisa dinikmati oleh masyarakat Arab.

Jika ditelusuri, penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an sesungguhnya lebih merupakan alat untuk menyampaikan pesan. Artinya, bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an itu merupakan wasilah (jalan) dan bukan ghayah (tujuan). Oleh karena audience dari wahyu adalah masyarakat yang berbahasa Arab, maka al-Qur’an pun hadir dalam bentuk bahasa Arab. Bahkan, tak sedikit peminat studi ilmu al-Qur’an yang berkata bahwa bahasa Arab al-Qur’an adalah bahasa Arab dalam dialek Quraish, karena Nabi Muhammad sendiri keturunan suku Quraish. Allah berfirman dalam al-Qur’an (Fushshilat [41]: 44), “Jika Kami jadikan al-Qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab, tentu mereka (orang-orang kafir) itu akan berkata, “Apakah (mungkin al-Qur’an dalam bahasa) bukan Arab, sedangkan dia (Nabi Muhammad) adalah orang Arab?”. Katakan (hai Muhammad), “al-Qur’an itu adalah petunjuk dan obat bagi mereka yang beriman. Sedangkan mereka yang tak beriman itu, pada telinga mereka ada sumbat dan ada kebutaan pada mata mereka. Mereka itu seolah-olah mendapat panggilan dari tempat nun jauh (sehingga mereka tak mendengar dan tak menyadari)”. 

Paparan di atas itu hanya sebagai pintu masuk untuk menegaskan bahwa al-Qur’an turun dalam suatu konteks. Al-Qur’an berdialog dengan masyarakat Arab yang berbahasa Arab. Artinya, ada ayat-ayat dalam al-Qur’an yang turun sebagai respons terhadap situasi masyarakat ketika itu. Dan tentu, ada pula ayat-ayat yang bukan merupakan respons spesifik al-Qur’an terhadap masyarakat Arab, tapi lebih merupakan gugusan nilai-nilai yang bersifat universal. Universalitas al-Qur’an yang menyebabkan al-Qur’an tak hanya bermanfaat buat orang Arab, tapi juga yang non Arab seperti Persia, Afrika, Melayu, India, dan lain-lain.

Konteks Al-Qur’an
Al-Qur’an turun dalam konteks masyarakat kota saat itu. Marshall Hodgson berkata bahwa ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad pada esensinya bersifat kota (urban) secara radikal. Itu sebabnya, al-Qur’an tak banyak memberi respons terhadap masyarakat desa di Jazirah Arab. Fokus perhatian al-Qur’an lebih banyak mengarah ke pusat-pusat peradaban di Jazirah Arab seperti Mekah, Thaif, Yatsrib (Madinah), Yamamah, dan sebagian Arab Selatan (Yaman). Buku-buku sejarah mencatat tentang keistimewaan kota-kota itu. Jika Mekah misalnya dikenal sebagai pusat bisnis, maka Yamamah kesohor sebagai pusat pertanian. Sekalipun bidang pertanian lebih menonjol di Thaif dan Yatsrib, di dua kota itu juga berkembang bidang perindustrian atau kerajinan. Jika di Yatsrib, berkembang kerajinan penempaan emas, maka di Thaif banyak para pandai besi.

Walau tak sebesar di Thaif, di Mekah pun tumbuh industri modifikasi khusus kulit. Ini karena tanah yang kering dan udara yang panas tak memungkinkan bagi tumbuhnya tanaman-tanaman hijau di Mekah. Bukit-bukit yang menjulang di Mekah adalah tumpukan batu-batu dan pasir tanpa tumbuhan. Al-Qur’an menggambarkan Mekah dengan “bi wadin ghair dzi zar’in” (lembah yang tak bisa ditanami). Dalam suasana alam yang demikian, mata pencaharian utama masyarakat Mekah adalah berniaga. Kata “tajir” yang berarti “pedagang” memang tak disebut dalam al-Qur’an. Namun, kata “tijarah” yang bermakna perniagaan diulang-ulang sampai sembilan kali. Di al-Qur’an juga ada kata-kata yang terkait dengan jual beli (syara, isytara, ba’a), pinjam-meminjam (qardh, yuqridhu), takaran dan timbangan (mizan, mitsqal). Ini menunjukkan bahwa perniagaan merupakan salah satu tema sentral dalam kehidupan masyarakat Arab ketika itu. Menurut Philip K Hitti (hlm. 130), jauh sebelum dilintasi jalur perdagangan rempah-rempah, sejak lama Mekah telah menjadi tempat persinggahan dalam perjalanaan antara Ma’rib dan Gazza. Di lembah Mekah yang tandus, pertanian menjadi mustahil. Kebutuhan akan bahan pokok makanan lebih banyak diimpor dari luar.

Berbeda dengan Mekah yang kering kerontang, Thaif adalah daerah yang subur. Thaif adalah negeri yang mendekati gambaran al-Qur’an tentang surga (QS, Ibrahim [47]: 15). Thaif menghasilkan anggur dan minuman beralkohol yang dikenal dengan sebutan nabidz. Sedangkan khamr yang banyak dikonsumsi masyarakat Arab dan yang kerap didendangkan para penyair adalah produk impor dari Hauran dan Libanon. Adalah kurma yang menjadi primadona pertanian di Semenanjung Arab. Buah kurma sangat dikenal luas di dunia, banyak diminati dan bernilai tinggi.  Dimakan bersama susu, buah kurma merupakan makanan utama orang-orang Arab. Bahkan, Nabi dikisahkan pernah melakukan proses penyerbukan pohon kurma di Madinah. Para penulis Arab menyebut ratusan jenis kurma yang terdapat di Madinah dan sekitarnya. 

Hewan yang menjadi kendaraan masyarakat Arab adalah unta, keledai, dan kuda. Nabi diceritakan memberikan maskawin perkawinan puluhan unta kepada Khadijah. Bagi orang-orang Arab, unta tak hanya berfungsi sebagai “bahtera gurun”, melainkan juga karunia Tuhan yang tiada tara. Al-Qur’an (al-Nahl [16]: 5-8) menggambarkan terutama kelebihan binatang unta, “dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kalian; padanya ada bulu yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebagiannya kalian makan. Dan kalian memperoleh pandangan yang indah padanya ketika kalian membawanya ke kandang dan ketika kalian melepaskannya ke tempat penggembalaan. 

Dan ia memikul beban-beban kalian ke suatu negeri yang kalian tidak sanggup sampai kepadanya melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Tuhan kalian benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal, dan keledai agar kamu menungganginya dan menjadikannya perhiasan. Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”. Tentang unta, Khalifah Umar ibn Khattab pernah berkata bahwa kemakmuran orang Arab bergantung pada kesehatan unta-untanya. Demikian istimewanya binatang Arab itu hingga al-Qur’an (QS, al-Ghashiyah [88]: 17) menantang kita untuk berfikir tentang keterciptaan unta, “afala yanzhuruna ila al-ibil kayfa khuliqat” (maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan). 

Dengan kendaraan darat seperti unta dan kuda itu, orang-orang lebih mudah untuk melakukan perjalanan hingga daerah-daerah terjauh di luar Hijaz. Orang Arab disebut ‘arab karena mereka suka bergerak, melancong ke berbagai negeri. Kata ‘arab satu akar kata dengan ‘arubah yang berarti gerobak. Disebut demikian, karena gerobak selalu bergerak aktif. Masyarakat Arab adalah sekumpulan orang yang tak memiliki mobilitas tinggi. Ayahanda Nabi Muhammad, Abdullah ibn Abdul Muthalib, meninggal dunia dalam perjalanan pulang dari Syam. Ia meninggal dunia di Yatsrib, sementara Nabi Muhammad masih berumur dua bulan dalam kandungan. 

Dengan beragam aktivitas perekonomian itu, kelas menengah tumbuh dengan pesat. Jumlah orang kaya meningkat. Namun, ketimpangan sosial-ekonomi terjadi dimana-mana. Praktek perekonomian yang tidak etis dan eksploitatif menyebar. Ada oligarki dan monopoli terhadap sumber daya ekonomi. Banyak pedagang-pedagang Mekah yang melakukan praktek riba, penumpukan komoditi, curang dalam takar-menakar dan timbang menimbang. Akibatnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin terus menganga. Al-Qur’an menyinggung kebiasaan orang-orang yang suka menumpuk-numpuk harta tersebut. Allah berfirman (QS, al-Humazah [104]: 1-3), “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam neraka Huthamah”. Praktek monopoli dan oligarki ekonomi ini terus berlangsung hingga disyariatkannya ketentuan zakat di Madinah. Zakat disyariatkan agar komoditi tak hanya berputar di kalangan konglomerat saja (kayla yakuna duwlatan bayna al-aghniya minkum). Zakat terutama diperuntukkan untuk melindungi orang fakir dan miskin.

Jika dikelompokkan struktur masyarakat yang menjadi lanskap kehadiran adalah sebagai berikut. Pertama, masyarakat komunal. Peperangan antar suku dan kabilah kerap terjadi. Dalam hukum primitif gurun, darah harus dibayar dengan darah; tidak ada hukum yang harus diterapkan selain pembalasan yang setimpal. Bahkan, tidak jarang peperangan bisa meletus karena soal-soal sepele seperti berebut mata air, tersinggung dengan perlakun suku lain. Menurut Philip K Hitti dalam bukunya History of The Arab (hlm. 111-112), salah satu peperangan antara suku-suku badui yang paling awal dan paling terkenal adalah perang Basus yang terjadi pada akhir abad ke kelima antara Bani Bakr dan keluarga dekat mereka dari Bani Taghlib di Arab sebelah timur laut. Kedua suku itu beragama Kristen dan mengklaim sebagai keturunan Wa’il. Konflik di antara mereka muncul karena seekor unta kepunyaan suku Bakr yang bernama Basus dilukai oleh kepala suku Taghlib. Perang itu diperkirakan menelan waktu 40 tahun dengan kerugian yang tak sedikit dari kedua belah pihak. Perang baru berhenti setelah masing-masing merasa kelelahan dalam berperang. 

Perang lain yang tak kalah tenarnya adalah perang Dahis dan al-Ghabra. Perang itu melibatkan ‘Abs dan suku saudara perempuannya, Dzubyan di Arab tengah. Wangsa Ghathafan adalah leluhur kedua suku itu. Peristiwanya dipicu oleh tindakan curang orang-orang Dzubyan dalam sebuah balapan antara kuda yang bernama Dahis milik kepala suku ‘Abs (Qais ibn Zuhair)  dan keledai yang bernama al-Ghabra milik kepala suku Dzubyan (Hudaifah ibn Badar). Lalu Asadi atas perintah Khudaifah memukul wajah Qais dan meletuslah perang. Ribuan orang meninggal dalam peperangan ini. Peperangan itu terjadi pada abad ke enam, tidak terlalu lama dari ditandatanganinya kesepakatan damai Basus, dan berhenti selama beberapa dekade hingga datang Islam.

Bahkan, ketika baru berumur 15 tahun, Nabi Muhammad dikisahkan pernah terlibat dalam Perang Fijar. Perang ini melibatkan beberapa suku. Suku Quraish, Kinanah, dan Asad dalam satu kelompok melawan suku Hirah yang dipimpin Num’man ibn al-Mundhir pada kelompok yang lain. Perang ini berlangsung selama empat tahun dan baru berhenti setelah ditempuh jalan perdamaian; bahwa yang memiliki korban manusia lebih kecil harus membayar ganti rugi sebanyak jumlah kelebihan korban itu kepada pihak lain. Ada yang berkata, bahwa tugas Muhammad dalam perang ini adalah mengumpulkan anak-anak panah dari pihak lawan untuk diberikan kepada paman-pamannya. Muhammad Husain Haikal menceritakan bahwa beberapa tahun sesudah kenabiannya, Nabi Muhammad berkata, “aku mengikutinya (Perang Fijar) bersama paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu; aku tidak suka kalau tidak ikut melaksanakan”. 

Suku-suku di Jazirah Arab tersebar di mana-mana. Yang satu dengan yang lain tak saling memiliki hubungan. Yang kerap terjadi di antara mereka adalah perang. Suku-suku itu terpecah-pecah dan saling bermusuhan. Karena itu, perang di antara mereka tak terhindarkan hingga berdirinya negara Madinah yang tak didasarkan pada basis kesukuan dan kabilah melainkan negara yang bertumpu pada agama atau keyakinan. Jika sebelum Islam, mereka bangga dan fanatik dengan gelar kesukuan seperti al-Taimi, al-‘ady, dan al-najjary, maka setelah Islam datang mereka lebih bangga dengan gelar yang berhubungan dengan moral seperti al-shiddiq (yang jujur), al-faruq (pembeda antara yang benar dan yang salah), dan lain-lain. Dalam konteks itulah, ayat al-Qur’an (al-Hujurat [49]: 10) menegaskan bahwa seluruh orang beriman adalah bersaudara (innama al-mukminun ikhwatun).

Dengan dasar ayat ini, Nabi Muhammad banyak mempersaudarakan umat Islam, misalnya Abdurrahman dipersaudarakan dengan Sa’ad ibn Rabi’, Abu Bakar dengan Kharijah ibn Zaid, Umar ibn Khattab dengan Utsman ibn Malik, Utsman ibn Affan dengan Aus ibn Tsabit, Ammar ibn Yasir dengan Khudaifah ibn al-Yaman, Thalhah ibn Abdullah dengan Ka’ab ibn Malik, Hamzah ibn Abdul Muthalib dengan Zaid ibn Haritsah. Tidak kurang dari 80 sampai 90-an orang yang dipersaudarakan Nabi Muhammad. Secara umum, Nabi mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Itu sebabnya, fanatisme tak lagi bersandar pada suku (tribalism) dan darah, melainkan pada agama dan keyakinan Islam. Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah titik temu seluruh orang beriman saat itu.

Ketika Islam hadir, peperangan antar suku mereda, tapi perang antara kaum musyrik Mekah dengan orang Islam dan antara umat Islam dan pengikut Yahudi di Madinah terus terjadi. Dalam konteks itulah, ayat-ayat yang berbicara tentang jihad dan perang melawan orang kafir Mekah dan Yahudi Madinah terus turun. Bahkan, sebagian besar isi dan kandungan surat Bara’ah dalam al-Qur’an adalah tentang perang. Buku-buku sejarah dan al-Qur’an sendiri mencatat terjadinya sejumlah peperangan yang melibatkan umat Islam. Di antaranya adalah Perang Badar, Perang Uhud, Perang Hunain, Perang Khandaq, dan lain-lain. Perang ini terpaksa dilakukan Nabi Muhammad dan umat Islam sebagai upaya pertahanan diri dari serangan orang-orang Musyrik Mekah.

Kedua, masyarakat pagan, penyembah berhala. Al-Qur’an menceritakan kebiasaan orang-orang Arab yang suka menyembah berhala. Ada berbagai sesembahan mereka. Al-lata yang berarti “Sang Dewi” adalah kuil dari batu karang besar yang disembah oleh suku Tsaqif di Thaif. Orang Thaif berthawaf mengelilingi al-Lata. Di Nakhlah (terletak antara Mekah dan Thaif), ada berhala al-Uzza berupa pohon milik Bani Ghatafan. Berhala orang-orang Yatsrib adalah adalah al-Manat, terbuat dari batu hitam yang ditempatkan dalam bangunan khusus yang dipahat menyerupai tubuh perempuan. Upacara pemujaan tak diselenggarakan di rumah-rumah, melainkan datang ke tempat dipancangkannya berhala-berhala itu. Kaum pagan Arab memandang bahwa berhala-berhala itu adalah puteri-puteri Tuhan (banat Allah). Allah berfirman dalam al-Qur’an (al-Najm [53]: 19-20), “apakah patut kalian (orang-orang Musyrik) menganggap al-Lata, al-Uzza, dan al-Manat yang ketiga yang terkemudian (sebagai anak-anak perempuan Allah). Berhala-berhala itu tak dibangun dengan desain dan arsitektur yang indah. Semuanya dibangun dengan sangat sederhana. 

Sesembahan lain yang diagungkan masyaralat pagan Arab adalah Hubal. Berhala itu berbentuk manusia yang tangan kanannya patah dan terbuat dari batu akik merah. Ia dibawa pertama kali dibawa oleh ‘Amr ibn Luhay al-Khuzai dari kota Ma’arib. Ada riwayat yang mengisahkan bahwa Hubal pernah diletakkan di dalam Ka’bah sebagai simbol berhala terbesar. Dengan perantaraan Hubal, masyarakat Arab meminta keberkahan dan keselamatan dari berbagai musibah. Di samping menyembah Hubal, masyarakat Arab pagan juga menyembah Ba’al yang berasal dari peradaban Israel purba, yaitu abad ke 13 SM. Semuanya jenis berhala itu menumpuk di sekitar Ka’bah. Berbagai buku tarikh menceritakan bahwa ketika terjadi penaklukan kota Mekah (fathu Makkah), Nabi Muhammad mendapati 360 patung di sekitar Ka’bah termasuk Hubal. 

Jika merujuk pada al-Qur’an, orang-orang Arab ketika itu bukan tak percaya kepada Allah. Mereka mempercayai keberadaan-Nya. Disebut dalam al-Qur’an (al-Zumar [39]: 38 bahwa apabila ditanya kepada mereka tentang pencipta langit dan bumi, mereka akan menjawab Allah. Kaum pagam Arab juga mengenal Allah sebagai pemilik Ka’bah, Rabb al-Bayt (QS, al-Quraish [106]: 3]. Ini sebagai bukti bahwa jejak tauhid yang diajarkan para nabi sebelum Muhammad masih terasa hingga beberapa tahun sebelum Muhammad diangkat menjadi nabi. Jika Nabi Ismail berdakwah di sekitaran Mekah, maka Nabi Syuaib diutus ke Madyan dan Nabi Hud diutus kepada kaum ‘Ad yang tinggal di Ahqaf, daerah dekat Hadramaut Yaman. Nabi Shaleh diutus kepada kaum Tsamud yang bermukim di al-Hijr, daerah antara Hijaz dan Tabuk sekarang.

Berbeda dengan kepercayaan monoteisme Islam, orang-orang Arab pagan itu memandang Allah sebagai Tuhan Tertinggi yang didampingi oleh tuhan-tuhan kecil atau dewa-dewa yang lebih rendah. Dalam kondisi yang terdesak, mereka biasanya mengesakan Allah dengan penuh ketulusan. Disebut dalam al-Qur’an (al-Ankabut [29]: 65), “apabila mereka menaiki sebuah bahtera (yang sedang digulung ombak), mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Tetapi, tatkala Allah menyelematkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)”. Dalam suasana normal, masyarakat Arab pagan itu menyembah berhala-berhala dan ketika kondisi darurat mereka akan menyembah Allah. Bagi mereka, Allah terlalu tinggi tak terjangkau sehingga membutuhkan berhala-berhala sebagai perantara. Ketika dikecam, mereka berkata bahwa dirinya tak sedang menyembah berhala. Menurut mereka, berhala itu hanya sarana pendekatan diri kepada Allah.  Allah merekam ungkapan mereka itu dalam al-Qur’an (al-Zumar [39]: 3), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. 

Dengan demikian, kehadiran Islam sesungguhnya hendak mentauhidkan Tuhan yang sudah ada dalam keyakinan masyarakat Arab pagan tersebut. Juga untuk mengukuhkan ajaran para nabi yang telah lama tumbuh di sebagian masyarakat Arab. Kelompok Hanifiyah di Mekah adalah orang-orang yang mengikuti ajaran tauhid yang dibawa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Di antara mereka adalah Waraqah ibn Naufal, Qus ibn Saidah al-Ayadi, Umayyah ibn Abi Shalt al-Tsaqafi, Utaibah ibn Rabiah al-Tsaqafi, Umair ibn Jundub al-Juhni, Khalid ibn Sinan ibn Qais, Ka’ab ibn Luay ibn Ghalib al-Qurashi (salah seorang kakek-buyut Nabi Muhammad), dan lain-lain. Ajaran Taurat Nabi Musa menyebar di Khaibar, Taima, Wadi al-Qura, Yatsrib, dan Fadak. Sementara agama Nashrani menyebar di bagian selatan seperti di Najran, Ma’arib, Shan’a, Aden. Karena itu kehadiran Nabi Muhammad dengan al-Qur’annya tak mendapat resistensi dari tokoh-tokoh awal agama Yahudi, Nashrani, dan kelompok Hanifiyah. Ini karena apa yang terkandung dalam al-Qur’an lebih banyak merupakan afirmasi terhadap apa yang mereka yakini. Dalam al-Qur’an (al-A’la [87]: 18-19) sendiri disebutkan, “inna hadza lafi al-shuhuf al-ula, shuhuf Ibrahim wa Musa” (sesungguhnya (isi) al-Qur’an ini telah terkandung dalam kitab-kitab terdahulu, yaitu kitab-kitab Nabi Ibrahim dan Nabi Musa).

Ketiga, masyarakat patriarkhi. Masyarakat Arab adalah sekelompok orang yang lebih mengunggulkan laki-laki ketimbang perempuan. Masyarakat Arab menentukan silsilah keturunan berdasarkan jalur ayah. Perempuan tak pernah dicantumkan sebagai nama marga betapapun hebatnya si perempuan. Kedudukan seseorang dalam strata sosial amat ditentukaan oleh tinggi-rendahnya garis keturunan ayahandaanya. Jika sang ayah dari kelas bangsawan, maka tinggilah status sosial anak-anaknya. Sebaliknya, jika si ayah dari kelas sosial rendahan, maka rendahlah kelas sosial anak-anaknya. Untuk menjaga kelas sosial seseorang, maka sejak zaman pra-Islam telah diterapkan konsep kafa’ah (kesetaraan) dalam perkawinan. Itu sebabnya, perkawinan dengan budak tak diperkenankan. Budak laki-laki hanya boleh menikah dengan budak perempuan. Tidak jarang dijumpai perempuan yang tak menikah sampai tua karena tak ditemukan laki-laki yang setara secara sosial dengan dirinya.

Dalam kehidupan bermasyarakat dan berumah tangga, masyarakat patriarkhi lebih memberikan kewenangan kepada laki-laki daripada perempuan dalam pengambilan keputusan. Laki-laki juga pada umumnya lebih diberi peluang untuk mengejar prestasi ketimbang perempuan. Laki-laki diposisikan sebagai pemimpin dalam keluarga, sementara perempuan adalah makhluk yang dipimpin. Efek kepemimpinan dalam rumah tangga ini adalah: ayah diberi hak untuk menjadi wali nikah buat anak gadisnya; laki-laki punya hak berpoligami bahkan tanpa batas, laki-laki adalah ahli waris tunggal. Berbeda dengan laki-laki, perempuan sebelum Islam umumnya lebih banyak diposisikan sebagai obyek ketimbang subyek. Bahkan, Mazdak di Persia pada abad ke-5 pernah menganjurkan kepemilikian perempuan secara kolektif. Ia beranggapan bahwa keburukan kerap terjadi akibat egoisme laki-laki yang ingin memonopoli perempuan. Menurutnya, perempuan sebaiknya adalah milik bersama seluruh laki-laki.

Sampai al-Qur’an diturunkan dominasi laki-laki atas perempuan masih tetap terlihat. Di antaranya adalah firman Allah dalam al-Qur’an (al-Nisa’ [4]: 34), “laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, oleh karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa’ bima fadhdhala Allah ba’dhahum ‘ala ba’dhin wa bima anfaqu min amwalihin). Ayat ini sekedar mendeskripsikan tentang tradisi masyarakat Arab yang cenderung mengangkat suami sebagai pemimpin keluarga. Tentu ayat ini tak menjelaskan seluruh relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga Arab saat itu. Sebab, kerap dikisahkan bahwa di sebagian keluarga saat itu terdapat beberapa orang istri yang mengambil kedudukan lebih tinggi ketimbang suami. Leila Ahmed menempatkan Khadijah sebagai istri yang menduduki tempat penting dalam keluarga Nabi Muhammad. Menurutnya, kekayaan melimpah yang dimiliki Khadijah telah membebaskan Nabi Muhammad dari urusan mencari nafkah dan memungkinkannya menempuh kehidupan kontemplasi sebelum Muhammad diangkat menjadi nabi.

Kehadiran Islam banyak mengubah kedudukan perempuan. Tak sebagaimana sebelumnya, al-Qur’an menegaskan bahwa perempuan punya hak untuk mendapatkan warisan walau tak sebanyak bagian laki-laki. Jika zaman pra-Islam, perempuan tak mendapatkan warisan, maka pada zaman Islam perempuan (anak perempuan, istri, saudari perempuan) adalah ahli waris sebagaimana laki-laki. Begitu juga, jika periode sebelum Islam, laki-laki bisa menikahi perempuan dalam jumlah yang tak terbatas, maka dalam periode Islam dibatasi dengan maksimal empat perempuan atau istri. Jika sebelum Islam, perempuan boleh dibunuh, maka al-Qur’an menegaskan keharamannya untuk membunuh jiwa. Ditegaskan dalam al-Qur’an, barangsiapa yang membunuh satu jiwa, maka sama dengan membunuh semua jiwa. Dan barangsiapa menghidupkan satu jiwa, maka sama dengan menghidupkan semua jiwa.

Bagaimana Memahaminya Kini?
Penjelasan demi penjelasan di atas menyampaikan kita pada sebuah kesimpulan umum bahwa al-Qur’an turun dalam suatu konteks kesejarahan. Dalam ilmu al-Qur’an, konteks yang melatari kehadiran al-Qur’an itu disebut asbab al-nuzul, yaitu sebab-sebab yang mengitari turunnya al-Qur’an. Al-Wahidi, sebagaimana dikutip al-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, berkata bahwa tak mungkin seseorang bisa mengerti makna al-Qur’an tanpa mengetahui kisah dan sebab kehadirannya (la yumkinu ma’rifat tafsir al-ayat duna al-wuquf ‘ala qishshatiha wa bayan nuzuliha). Ibn Taymiyah juga berkata bahwa mengetahui sebab turunnya suatu ayat akan membantu seseorang dalam memahami makna dan pengertian ayat tersebut (ma’rifat sabab al-nuzul yu’inu ‘ala fahm al-ayat). 

Asbab al-nuzul sendiri, ada yang bersifat personal-individidual dan ada yang bersifat sosial, yaitu menyangkut struktur dan relasi-relasi sosial-ekonomi-politik masyarakat Arab ketika al-Qur’an itu turun. Itu sebabnya, al-Syathibi mempersyarakatkan seorang mujtahid adalah orang yang mengerti adat-kebiasaan bahkan sosio linguistik masyarakat Arab. Dengan perkataan lain, seorang mujtahid tak cukup hanya mengerti peristiwa-periswa personal yang menyertai turunnya al-Qur’an melainkan juga perlu mengerti peristiwa-peristiwa struktural yang menjadi lanskap kehadiran al-Qur’an. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, al-Qur’an misalnya turun dalam konteks masyarakat pagan, masyarakat patriarkhi, masyarakat komunal-tribal dalam suasana Mekah yang tandus-kering dan Madinah yang sedikit lebih subur. 

Konteks-konteks itu, suka atau tidak, terekam dengan baik dalam kitab suci al-Qur’an dan tentu saja menjadi sebab kehadirannya. Itu sebabnya tak keliru ketika seseorang berkata bahwa al-Qur’an dalam beberapa hal merupakan cerminan dari kondisi dan adat istiadat yang berkembang ketika itu. Ketika al-Qur’an berkata bahwa Allah mengutus setiap Rasul melalui “lisan kaumnya” (bi lisani qawmihi, QS, 14: 4), itu merupakan justifikasi doktrinal atas gagasan bahwa pesan wahyu telah diadaptasikan pada lingkungan budaya, sejarah, dan linguistik manusia. Dari berbagai adat kebiasaan masyarakat Arab itu ada yang dimodifikasi dan dilanjutkan oleh Islam. Tapi, ada juga yang dibuang karena sudah tak relevan dengan konteks zaman dan capaian peradaban. Salah satu contoh dari tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang dimodifikasi untuk kemudian dilanjutkan oleh Islam adalah kebiasaan masyarakat berthawaf di Ka’bah, sa’i, dan berkemah di sekitar bukit Arafah. Sementara tradisi masyarakat Arab yang dibuang sama sekali adalah tradisi menyembah berhala dan patung. Ungkapan Arab yang relavan adalah al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).

Islam tak menentang tradisi, tapi Islam menolak kecenderungan sekelompok orang yang menuhankan tradisi. Al-Qur’an mengkritik kebiasaan masyarakat yang menempatkan tradisi leluhur sebagai sesuatu yang benar tanpa perlu ada kritik. Kecenderungan masyarakat Arab yang menuhankan tradisi leluhur itu dideskripsikan al-Qur’an (al-Zuhruf [43]: 23-24, “Demikianlah, Kami (Allah) tidak pernah mengutus sebelum engkau (Muhammad) seorang pemberi peringatan (Rasul) dalam suatu negeri, melainkan orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “sesungguhnya kami telah mendapatkan leluhur kami berjalan di atas suatu tradisi, dan kami tentulah mengikuti jejak mereka”. Dia (Rasul) itu berkata, “Apakah (kalian akan mengikuti mereka) sekalipun aku datang kepadamu semua dengan yang lebih benar daripada yang kamu dapatkan leluhurmu berada di atasnya?”. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami menolak apa yang menjadi tugasmu itu”. 

Dalam pandangan al-Qur’an, tak seluruh unsur dalam tradisi itu baik. Karena itu, bersikap kritis terhadap tradisi sangat dibutuhkan terutama untuk kepentingan transfomasi sosial. Al-Qur’an pun tak menutup mata terhadap tindakan tidak manusiawi dan diskriminatif terhadap perempuan. Kehadiran al-Qur’an bahkan untuk menata relasi sosial laki-perempuan yang berkeadilan. Al-Qur’an pun memberikan kritik sangat keras terhadap ketimpangan ekonomi di Semenanjung Arabia saat itu. Al-Qur’an tak membiarkan masyarakat Arab pagan yang menyembah berhala. Kehadiran al-Qur’an justru untuk merombak keyakinan masyarakat Arab yang tak rasional itu. Dengan itu, ada perubahan praktek dan ritus peribadatan, dari menyembah berhala ke menyembah Allah SWT. Jika dalam politeisme setiap tuhan merepresentasikan satu wajah personal, maka Tuhan dalam monoteisme yang dibawa al-Qur’an adalah Allah Yang Satu dengan kuasa yang mutlak-tak terbatas.

Semangat transformasi al-Qur’an yang demikian itu, saya kira perlu terus diletastarikan dengan beberapa cara berikut. Pertama, al-Qur’an tak cukup hanya dibaca untuk kepentingan ritual ibadah. Makna-makna terdalam al-Qur’an harus diungkap demi kerja perlindungan terhadap kelompok yang tertindas baik secara ekonomi maupun sosial-politik. Pengungkapan terhadap makna al-Qur’an itu bisa dilakukan dengan penghampiran yang bersifat historis. Menurut Sachiko Murata dan William C. Chittick, ketika orang ingin menyatakan bahwa al-Qur’an bisa dipahami dengan kondisi-kondisi hostoris, para mufasir al-Qur’an bisa berkata bahwa lingkungann historis itu dengan sendirinya merupakan ayat-ayat Allah. Yang satu adalah ayat Tuhan yang terakumulasi dalam kitab suci, sedangkan yang lain merupakan ayat Tuhan yang terhampar dalam masyarakat. 

Kedua, kita perlu mengetahui jenis-jenis transformasi yang ditempuh al-Qur’an. Suatu waktu al-Qur’an menempuh perubahan secara radikal, dan pada waktu yang lain perubahan itu dilakukan secara bertahap. Politeisme dalam semua bentuknya seperti penyembahan berhala dikomplain al-Qur’an sejak awal. Konsep tauhid yang dikampanyekan al-Qur’an tak dinegosiasikan dengan tradisi penyembahan patung dan berhala yang sedang berlangsung di lingkungan masyarakat Arab ketika itu. Bahkan, disebut dalam al-Qur’an bahwa dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni. Allah berfirman dalam al-Qur’an (al-Nisa’ [4]: 116), “Sesungguhnya Allah tak mengampuni dosa menyekutukan (sesuatu) dengan Dia (Allah), dan Dia (Allah) mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa saja yang dikendakinya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya yang bersangkutan telah tersesat sejauh-jauhnya”.

Namun, terhadap perilaku dan tindakan sosial yang tak terkait dengan tauhid, al-Qur’an melakukan perubahan secara gradual. Misalnya, praktek meminum khamr yang sudah berlangsung lama bahkan telah menjadi tradisi masyarakat Arab secara kolektif tak diharamkan al-Qur’an secara sekaligus. Al-Qur’an mengawali responsnya dengan menjelaskan sisi-sisi negatif dari minuman khamr, lalu tak diperkenankannya menimum khamr ketika hendak shalat hingga dinyatakan bahwa meminum khmar itu adalah haram. Pengaharaman khamr jauh belakangan, hanya beberapa tahun sebelum Rasulullah meninggal dunia. Ini karena sejak awal telah dipahami bahwa mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah berurat-berakar membutuhkan proses penahapan untuk mengubahnya.

Penahapan aturan seperti yang dilakukan al-Qur’an ini saya kira amat diperlukan dalam konteks pembuatan kebijakan publik atau undang-undang dalam dunia modern sekarang. Artinya, setiap pembuat kebijakan publik perlu memperhatikan kondisi obyektif dan tingkat kesiapan masyarakat sekiranya sebuah undang-undang hendak diterapkan. Kebijakan publik atau undang-undang yang dibuat tanpa memperhatikan keadaan masyarakat yang menjadi obyek kebijakan itu hanya akan mengantarkan produk perundangan tersebut berupa tumpukan kata-kata yang tak berguna.

Ketiga, hermeneutika perlu dipertimbangkan sebagai salah satu metodologi untuk membaca teks al-Qur’an. Hermeneutika biasanya dipahami sebagai ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau peristiwa di masa lalu bisa dipahami dan tetap bermakna secara eksistensial dalam konteks situasi sekarang. Rudolf Bultmann berkata, biasanya hermeneutika dipakai untuk menjembatani jurang antara masa lalu dan masa kini. Banyak para penafsir al-Qur’an kontemporer berpendapat bahwa dimensi-dimensi baru dari sebuah teks lama termasuk teks al-Qur’an akan bisa ditemukan jika sang penafsir menggunakan hermeneutika.

Hermeneutika tentu tak perlu diposisikan sebagai metode tunggal dan pokok untuk membaca al-Qur’an. Ia harus kita letakkan sebagai pelengkap dari metode penafsiran al-Qur’an yang sudah ada dalam Islam seperti ushul fikih. Sebab, banyak kata dan kalimat yang tak bisa ditembus dengan ushul fikih, tapi ia bisa diungkap makna terdalamnya sekiranya kita menggunakan hermeneutika. Namun, perlu dicatat, sebagaimana ushul fikih memiliki keterbatasan dan tak bisa diabsolutkan, maka demikian juga halnya dengan hermeneutika. Wallahu A’lam bis Shawab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar