Kemenangan Kaum Sosialis
A Prasetyantoko; Ketua
LPPM Unika Atma Jaya, Jakarta;
Alumnus École Normale Supérieure (ENS), Lyon, Perancis
SUMBER
: KOMPAS,
09 Mei 2012
Meski sudah diprediksi, tetap saja kemenangan
François Hollande sebagai Presiden Perancis menimbulkan guncangan. Pasar
keuangan bereaksi negatif atas kemenangan kelompok sosialis ini.
Nilai tukar euro, yang dipakai 17 negara Uni
Eropa, langsung merosot di pembukaan pasar-pasar Asia. Para investor buru-buru
membuang euro dan berlari ke mata uang lain, terutama dollar AS.
Memang bandul pendulum sedang berubah arah.
Harian terkemuka Perancis, Libération, menulis dengan judul ”Le Jour de Gauche
est Arrivé” atau hari (kemenangan) kelompok kiri telah tiba. Kemenangan Partai
Sosialis (PS) sudah dinanti sejak 31 tahun terakhir. Francois Mitterrand adalah
presiden terakhir dari kelompok kiri (1981). Mungkin benar kata Schumpeter,
saat krisis hebat, orang jadi rindu perubahan dramatis.
Hollande mengantongi kemenangan 51,7 persen
suara secara nasional. Bahkan, secara mengejutkan, di Paris, Sarkozy hanya
berhasil mengumpulkan 44,40 persen suara, ketinggalan cukup jauh dari Hollande
(55,66 persen). Selama ini Paris selalu jadi tumpuan kemenangan kelompok kanan
tengah (UMP). Kemenangan PS di Paris merupakan kemenangan historis dan
dirayakan dengan sangat meriah di jantung kota Paris: Lapangan Bastille.
Dilema Eropa
Sebenarnya, kemenangan kelompok kiri di
Perancis tak istimewa. Di beberapa negara lain, seperti Belanda, Yunani,
Spanyol, bahkan Inggris, kelompok kiri cenderung naik daun. Namun, kemenangan
sosialis di Perancis agak mengkhawatirkan masa depan Uni Eropa, mengingat
Perancis motor penyelamatan Eropa. Perancis sangat dekat dengan Jerman dalam
urusan krisis Eropa, sampai-sampai muncul istilah Merkozy (Merkel-Sarkozy).
The
Economist (4/5) menulis editorial, ”The Rather Dangerous Monsieur Hollande”. Ada kekhawatiran,
perubahan orientasi kebijakan di Perancis akan mengacaukan proyek penyelamatan
Eropa. Lebih luas lagi, perdebatan antara pendekatan pengetatan anggaran dan
ekspansi ekonomi demi menyokong pertumbuhan mulai dipertentangkan. Kemenangan
kelompok kiri di sejumlah negara Eropa itu sekaligus menandai perlawanan
masyarakat terhadap program penghematan.
Kesahihan kebijakan pengetatan anggaran untuk
melawan krisis, seperti pemotongan asuransi sosial, tunjangan pensiun, dan
tunjangan kepada penganggur mulai dipertanyakan. Kebijakan ini dianggap
prosiklus (procycle policy) atau
justru menjerumuskan ekonomi pada fase krisis yang lebih dalam. Joseph Stiglitz
termasuk dalam pengkritik kebijakan penghematan. Eropa justru membutuhkan
pertumbuhan lebih tinggi. Pemerintah, terutama Jerman, diharapkan melakukan
banyak ekspansi anggaran di bidang infrastruktur, transportasi massal, dan
proyek-proyek yang banyak menyerap tenaga kerja.
Sebenarnya, Amerika Serikat saat menghadapi
krisis 1930-an juga mengalami hal sama. Mereka banyak membangun jalan,
perumahan, dan berbagai infrastruktur lain. Namun, pola kebijakan ekspansif
tersebut justru menjadi salah satu benih dari krisis perumahan dan properti,
terutama dipicu oleh krisis subprime mortgage 2007/2008.
Sejatinya, krisis adalah sebuah ritme
siklikal yang pasti berulang. Hanya mekanisme dan dinamikanya yang berbeda.
Karena secara alamiah koreksi dan perubahan biasanya baru dilakukan setelah
gejolak (krisis) terjadi. Maka, sebenarnya, mempertentangkan orientasi
kebijakan ekspansif yang mendorong pertumbuhan dengan penghematan sebagai
langkah penyelamatan fiskal tak sepenuhnya benar.
Hanya saja, dalam demokrasi tak ada istilah
benar-salah atau baik-buruk. Yang ada, kebijakan yang dapat dukungan publik
lebih banyak dan tidak. Kini, dukungan publik di Eropa sedang mengarah pada
pola ekspansif. Alasannya sederhana: masyarakat tak mau berbagai fasilitas yang
sudah dinikmati selama ini hilang.
Implikasi Kebijakan
Menjelang pemilihan presiden, harian Le Monde
memuat tabulasi program PS (Hollande) dan UMP (Sarkozy): mulai dari soal
pendidikan, perumahan, ekologi, pajak, hingga daya saing ekonomi. Sesuai
tradisi, sebelum dilakukan pemilu, diadakan debat antarcalon. Agak mengejutkan,
Hollande bisa mengimbangi retorika Sarkozy yang dikenal ganas.
Di kalangan sosialis sendiri, Hollande kalah
pamor dengan nama-nama besar, seperti Lionel Jospin dan Dominique Strauss-Kahn.
Kalau saja Strauss-Kahn tidak terganjal kasus seksual, dipastikan dia akan maju
sebagai calon presiden dari kubu Sosialis. Bahkan, dalam Pemilu 2007, Hollande
tersingkir dari mantan istrinya, Ségolène Royal, untuk mewakili PS menjadi
calon presiden. Wajar jika Sarkozy menganggap remeh Hollande.
Agak mudah dipahami penolakan masyarakat luas
terhadap program Sarkozy yang berhaluan kanan (nasionalis) moderat. Mereka
menolak program pengetatan anggaran serta disiplin fiskal. Namun, agak
mengejutkan, kelompok menengah juga tak suka dengan Sarkozy. Agaknya, kaum
borjuis Perancis ini tak menyukai gaya presiden mereka yang dikenal kasar
(méchant), tak mencerminkan gaya ningrat Perancis.
Secara lugas, Hollande menyatakan akan
menghapus Perancis sebagai surga para pemilik modal, baik melalui peraturan
yang ketat terhadap perbankan dan investor keuangan maupun dengan pajak hingga
75 persen terhadap kelompok kaya. Sementara bagi para pekerja, dia akan
mengembalikan umur pensiun jadi 60 tahun, setelah diubah Sarkozy jadi 62 tahun.
Lebih cepat usia pensiun, lebih cepat para pencari kerja mendapatkan pos.
Hollande juga berniat menegosiasikan traktat Eropa yang mengatur defisit
terlalu ketat, di bawah 3 persen dari PDB.
Di mata banyak pengamat, program PS dinilai
ambisius. Namun, itulah faktanya. Masyarakat memilih program-program populis
yang di mata para investor keuangan sangat berbahaya. Belajar dari proses
politik di Perancis dan Eropa pada umumnya tersebut, paling tidak ada dua
pelajaran yang berarti bagi kita.
Pertama, sebuah kebijakan tak saja mengandung
unsur teknokratis, tetapi juga legitimasi politik. Ketakmampuan menjaring
dukungan politik, dengan segera akan menegasi alasan-alasan teknokratis. Hal
ini relevan dengan kebijakan bahan bakar minyak (BBM). Penolakan kebijakan
tersebut bukan semata-mata karena kelemahan argumen teknokratis, melainkan juga
akibat lemahnya legitimasi politik.
Kedua, krisis biasanya melahirkan perubahan
mendasar. Ketika krisis Asia 1997/1998, rezim berkuasa yang dominan adalah
intervensionis sehingga pada masa pascakrisis perubahan mengarah pada prinsip
hukum pasar. Sebaliknya, di kawasan Eropa dan AS, selama ini ekonomi dikelola
dengan mengedepankan prinsip pasar. Ketika krisis datang, masyarakat mencari
jawaban pada bentuk-bentuk campur tangan pemerintah.
Terasa ada kaitan kuat antara krisis dan
perubahan paradigma ekonomi sehingga perubahan pada saat situasi normal menjadi
sulit dilakukan. Padahal, guna mengantisipasi krisis, justru diperlukan
serangkaian perubahan saat situasi ekonomi sedang baik. Jika perubahan
dilakukan saat krisis, semua sudah terlambat. Ujian sebuah pemerintahan justru
terletak pada kemampuannya mengelola perubahan pada saat booming perekonomian. Di situlah letak paradoks kebijakan ekonomi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar