Rabu, 09 Mei 2012

Kemenangan Kaum Sosialis


Kemenangan Kaum Sosialis
A Prasetyantoko; Ketua LPPM Unika Atma Jaya, Jakarta;
Alumnus École Normale Supérieure (ENS), Lyon, Perancis
SUMBER :  KOMPAS, 09 Mei 2012


Meski sudah diprediksi, tetap saja kemenangan François Hollande sebagai Presiden Perancis menimbulkan guncangan. Pasar keuangan bereaksi negatif atas kemenangan kelompok sosialis ini.

Nilai tukar euro, yang dipakai 17 negara Uni Eropa, langsung merosot di pembukaan pasar-pasar Asia. Para investor buru-buru membuang euro dan berlari ke mata uang lain, terutama dollar AS.

Memang bandul pendulum sedang berubah arah. Harian terkemuka Perancis, Libération, menulis dengan judul ”Le Jour de Gauche est Arrivé” atau hari (kemenangan) kelompok kiri telah tiba. Kemenangan Partai Sosialis (PS) sudah dinanti sejak 31 tahun terakhir. Francois Mitterrand adalah presiden terakhir dari kelompok kiri (1981). Mungkin benar kata Schumpeter, saat krisis hebat, orang jadi rindu perubahan dramatis.

Hollande mengantongi kemenangan 51,7 persen suara secara nasional. Bahkan, secara mengejutkan, di Paris, Sarkozy hanya berhasil mengumpulkan 44,40 persen suara, ketinggalan cukup jauh dari Hollande (55,66 persen). Selama ini Paris selalu jadi tumpuan kemenangan kelompok kanan tengah (UMP). Kemenangan PS di Paris merupakan kemenangan historis dan dirayakan dengan sangat meriah di jantung kota Paris: Lapangan Bastille.

Dilema Eropa

Sebenarnya, kemenangan kelompok kiri di Perancis tak istimewa. Di beberapa negara lain, seperti Belanda, Yunani, Spanyol, bahkan Inggris, kelompok kiri cenderung naik daun. Namun, kemenangan sosialis di Perancis agak mengkhawatirkan masa depan Uni Eropa, mengingat Perancis motor penyelamatan Eropa. Perancis sangat dekat dengan Jerman dalam urusan krisis Eropa, sampai-sampai muncul istilah Merkozy (Merkel-Sarkozy).

The Economist (4/5) menulis editorial, ”The Rather Dangerous Monsieur Hollande”. Ada kekhawatiran, perubahan orientasi kebijakan di Perancis akan mengacaukan proyek penyelamatan Eropa. Lebih luas lagi, perdebatan antara pendekatan pengetatan anggaran dan ekspansi ekonomi demi menyokong pertumbuhan mulai dipertentangkan. Kemenangan kelompok kiri di sejumlah negara Eropa itu sekaligus menandai perlawanan masyarakat terhadap program penghematan.

Kesahihan kebijakan pengetatan anggaran untuk melawan krisis, seperti pemotongan asuransi sosial, tunjangan pensiun, dan tunjangan kepada penganggur mulai dipertanyakan. Kebijakan ini dianggap prosiklus (procycle policy) atau justru menjerumuskan ekonomi pada fase krisis yang lebih dalam. Joseph Stiglitz termasuk dalam pengkritik kebijakan penghematan. Eropa justru membutuhkan pertumbuhan lebih tinggi. Pemerintah, terutama Jerman, diharapkan melakukan banyak ekspansi anggaran di bidang infrastruktur, transportasi massal, dan proyek-proyek yang banyak menyerap tenaga kerja.

Sebenarnya, Amerika Serikat saat menghadapi krisis 1930-an juga mengalami hal sama. Mereka banyak membangun jalan, perumahan, dan berbagai infrastruktur lain. Namun, pola kebijakan ekspansif tersebut justru menjadi salah satu benih dari krisis perumahan dan properti, terutama dipicu oleh krisis subprime mortgage 2007/2008.

Sejatinya, krisis adalah sebuah ritme siklikal yang pasti berulang. Hanya mekanisme dan dinamikanya yang berbeda. Karena secara alamiah koreksi dan perubahan biasanya baru dilakukan setelah gejolak (krisis) terjadi. Maka, sebenarnya, mempertentangkan orientasi kebijakan ekspansif yang mendorong pertumbuhan dengan penghematan sebagai langkah penyelamatan fiskal tak sepenuhnya benar.

Hanya saja, dalam demokrasi tak ada istilah benar-salah atau baik-buruk. Yang ada, kebijakan yang dapat dukungan publik lebih banyak dan tidak. Kini, dukungan publik di Eropa sedang mengarah pada pola ekspansif. Alasannya sederhana: masyarakat tak mau berbagai fasilitas yang sudah dinikmati selama ini hilang.

Implikasi Kebijakan

Menjelang pemilihan presiden, harian Le Monde memuat tabulasi program PS (Hollande) dan UMP (Sarkozy): mulai dari soal pendidikan, perumahan, ekologi, pajak, hingga daya saing ekonomi. Sesuai tradisi, sebelum dilakukan pemilu, diadakan debat antarcalon. Agak mengejutkan, Hollande bisa mengimbangi retorika Sarkozy yang dikenal ganas.
Di kalangan sosialis sendiri, Hollande kalah pamor dengan nama-nama besar, seperti Lionel Jospin dan Dominique Strauss-Kahn. Kalau saja Strauss-Kahn tidak terganjal kasus seksual, dipastikan dia akan maju sebagai calon presiden dari kubu Sosialis. Bahkan, dalam Pemilu 2007, Hollande tersingkir dari mantan istrinya, Ségolène Royal, untuk mewakili PS menjadi calon presiden. Wajar jika Sarkozy menganggap remeh Hollande.

Agak mudah dipahami penolakan masyarakat luas terhadap program Sarkozy yang berhaluan kanan (nasionalis) moderat. Mereka menolak program pengetatan anggaran serta disiplin fiskal. Namun, agak mengejutkan, kelompok menengah juga tak suka dengan Sarkozy. Agaknya, kaum borjuis Perancis ini tak menyukai gaya presiden mereka yang dikenal kasar (méchant), tak mencerminkan gaya ningrat Perancis.

Secara lugas, Hollande menyatakan akan menghapus Perancis sebagai surga para pemilik modal, baik melalui peraturan yang ketat terhadap perbankan dan investor keuangan maupun dengan pajak hingga 75 persen terhadap kelompok kaya. Sementara bagi para pekerja, dia akan mengembalikan umur pensiun jadi 60 tahun, setelah diubah Sarkozy jadi 62 tahun. Lebih cepat usia pensiun, lebih cepat para pencari kerja mendapatkan pos. Hollande juga berniat menegosiasikan traktat Eropa yang mengatur defisit terlalu ketat, di bawah 3 persen dari PDB.

Di mata banyak pengamat, program PS dinilai ambisius. Namun, itulah faktanya. Masyarakat memilih program-program populis yang di mata para investor keuangan sangat berbahaya. Belajar dari proses politik di Perancis dan Eropa pada umumnya tersebut, paling tidak ada dua pelajaran yang berarti bagi kita.

Pertama, sebuah kebijakan tak saja mengandung unsur teknokratis, tetapi juga legitimasi politik. Ketakmampuan menjaring dukungan politik, dengan segera akan menegasi alasan-alasan teknokratis. Hal ini relevan dengan kebijakan bahan bakar minyak (BBM). Penolakan kebijakan tersebut bukan semata-mata karena kelemahan argumen teknokratis, melainkan juga akibat lemahnya legitimasi politik.

Kedua, krisis biasanya melahirkan perubahan mendasar. Ketika krisis Asia 1997/1998, rezim berkuasa yang dominan adalah intervensionis sehingga pada masa pascakrisis perubahan mengarah pada prinsip hukum pasar. Sebaliknya, di kawasan Eropa dan AS, selama ini ekonomi dikelola dengan mengedepankan prinsip pasar. Ketika krisis datang, masyarakat mencari jawaban pada bentuk-bentuk campur tangan pemerintah.

Terasa ada kaitan kuat antara krisis dan perubahan paradigma ekonomi sehingga perubahan pada saat situasi normal menjadi sulit dilakukan. Padahal, guna mengantisipasi krisis, justru diperlukan serangkaian perubahan saat situasi ekonomi sedang baik. Jika perubahan dilakukan saat krisis, semua sudah terlambat. Ujian sebuah pemerintahan justru terletak pada kemampuannya mengelola perubahan pada saat booming perekonomian. Di situlah letak paradoks kebijakan ekonomi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar