Perang Dingin Baru
Asrudin; Pengamat
Hubungan Internasional
SUMBER
: KOMPAS,
09 Mei 2012
Istilah ”Perang Dingin” pertama kali
diperkenalkan Bernard Baruch dan Walter Lippman, 1947, untuk menggambarkan
persaingan Amerika Serikat dengan Uni Soviet kala itu.
Kedua negara yang berstatus superpower karena
telah memenangi perang itu berbeda pendapat dalam cara untuk membangun wilayah
Eropa pascaperang. Akibatnya, mereka bersaing secara ideologi, militer,
teknologi, industri, dan sebagainya untuk meluaskan pengaruhnya di Eropa
ataupun dunia.
Meskipun persaingan antara AS dan US ini
tidak pernah sampai pada perang terbuka, telah terjadi dua perang dari negara
”pengikut”-nya (proxy war), baik dalam Perang Korea (Korea Utara yang mewakili
US dan Korea Selatan yang mewakili AS) maupun Perang Vietnam (Vietnam Utara
mewakili US dan Vietnam Selatan mewakili AS). Perang Dingin juga telah
menyebabkan sejumlah krisis, seperti di Kuba dan Timur Tengah, serta pembagian
Jerman menjadi dua wilayah antara Barat dan Timur.
Perang Dingin secara resmi berakhir pada
akhir 1980-an ketika Pemimpin US Mikhail Gorbachev meluncurkan program
reformasi: perestroika dan glasnost. Secara konstan, US pun kehilangan kekuatan
dan kekuasaan terhadap Eropa Timur dan banyak wilayah lainnya. Akhirnya
negaranya sendiri dibubarkan pada 1991.
Praktis sejak runtuhnya US, dunia memasuki
fase yang disebut Francis Fukuyama sebagai kemenangan universal demokrasi
liberal yang sangat diidamkan. Hal ini yang kemudian melahirkan sistem yang
berbeda dari bipolaritas (AS-US) dengan kemunculan beberapa negara berkekuatan
besar meski AS tetap sebagai kekuatan paling dominan di dalam sistem tersebut.
Namun, sebagaimana dikatakan oleh Kenneth
Waltz (1986), ilmuwan neo-realis hubungan internasional terkemuka, dalam politik
internasional di mana sistem berjalan anarkis, perimbangan kekuatan akan terus
bekerja mengiringi negara yang paling dominan. Itu artinya setiap negara akan
terus berupaya agar bisa mengimbangi kekuatan AS.
Negara-negara yang memiliki kekuatan terbatas
dan lemah akan cenderung mengaliansikan dirinya dengan negara-negara
berkekuatan besar agar dapat mempertahankan otonomi maksimumnya dari dominasi
AS.
Kekuatan Baru
Saat ini apa yang dikatakan Waltz mulai
terbukti. Dominasi AS terlihat terus memudar seiring dengan tampilnya kembali
pengaruh Rusia (dulu US) dan China dalam panggung politik internasional.
Bahkan, kedua negara itu dinilai banyak pengamat sebagai kekuatan pengimbang AS
yang paling potensial. Boleh jadi peta politik internasional telah kembali ke
pola masa lalu, di mana AS kini terlibat Perang Dingin dengan Rusia dan
sekutu-sekutu terdekatnya, seperti China, Iran, dan Korea Utara.
Ada dua indikator sebagai tolak ukur Perang
Dingin baru. Indikator pertama mengenai latihan perang gabungan antara Rusia
dan China selama enam hari di Laut Kuning, sebelah Timur Pantai China, 22 April
lalu.
Latihan perang ini tergolong paling besar
yang melibatkan kedua negara. Dalam latihan ini Beijing mengerahkan 4.000
tentara, 16 kapal yang terdiri dari 5 kapal perusak, 5 fregat, 4 kapal perang,
1 kapal pendukung, dan 1 kapal yang berfungsi sebagai rumah sakit. Beijing juga
menurunkan 13 pesawat tempur dan 5 helikopter pengangkut. Pihak Moskwa
mengerahkan empat kapal perang yang terdiri dari kapal penjelajah kelas Slava
dan Varyag. Juga 3 kapal perusak kelas Udaloy, ditambah 3 kapal pendukung
Latihan perang ini dilakukan sepekan setelah
AS dan Filipina memulai latihan perang di Laut China Selatan. Tidak hanya itu,
banyak analis yang mengatakan, latihan perang Rusia-China adalah bentuk
provokasi atas latihan perang yang kebetulan dilakukan secara bersamaan oleh
Korea Selatan dan AS.
Indikator kedua adalah rencana Rusia
menghancurkan sistem pertahanan misil Eropa yang dibentuk oleh AS karena
mengancam fasilitas nuklir miliknya. Rencana pertahanan rudal AS di Eropa
adalah topik paling sulit dalam hubungan AS-Rusia bertahun-tahun.
Jumat (4/5) lalu, Kepala Staf Umum Rusia
Nikolai Makarov mengatakan, keputusan untuk menggunakan kekuatan destruktif
akan diambil jika situasi terus memburuk. Celakanya, AS justru tetap akan
membangun sistem pertahanan itu meski Rusia menolak. Hal ini diperburuk dengan
keengganan AS memberikan jaminan keamanan tertulis kepada Rusia bahwa
misil-misil itu tidak ditujukan kepada Rusia.
Kedua indikator itu cukup untuk menunjukkan
rivalitas klasik Perang Dingin antara AS di satu sisi dan Rusia serta China di
sisi lain. Belum lagi krisis Korea dan Iran yang juga melibatkan ketiga negara
superpower tersebut.
Sikap Indonesia
Menyikapi situasi politik internasional
semacam masa Perang Dingin—di mana setiap negara yang lemah dipaksa mendukung
salah satu dari negara superpower yang berseteru—penting bagi Indonesia untuk
menerapkan kembali doktrin politik luar negeri bebas aktif. Doktrin ”A Million Friends, Zero Enemies” sebagai
landasan politik luar negeri Indonesia saat ini sudah tidak lagi sesuai dengan
kepentingan nasional.
Jangankan menghadapi negara superpower,
seperti AS, Rusia, dan China, menghadapi kasus pancung Ruyati di Arab Saudi dan
pelanggaran kedaulatan yang sering dilakukan Malaysia saja Indonesia seperti
tak bernyali.
Mengembalikan doktrin politik bebas aktif
paling mendesak agar Indonesia, sebagaimana dikatakan Mohammad Hatta pada 2
September 1948 di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, tidak menjadi
obyek pertarungan negara-negara superpower,
tetapi menjadi subyek yang menentukan sikap sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar