Kemandirian & Kapitalisasi Industri Pertahanan
Alexandra Retno Wulan; Peneliti
Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS
SUMBER : SINDO, 08
Mei 2012
Industri
pertahanan Indonesia mungkin tidak sedang dalam kondisi terbaiknya. Hampir dipastikan
industri pertahanan dan industri strategis yang ada kini tidak dapat menyokong
tujuan kemandirian Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemenuhan
kebutuhannya terutama dalam konteks alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Berbagai
inisiasi telah dilakukan untuk merevitalisasi industri pertahanan dan strategis
Indonesia, namun kerumitan pembangunan industri pertahanan dan strategis yang
sehat dapat dilihat dari dua sudut pandang utama. Pertama, dilihat dari sudut
pandang permintaan (demand).TNI
merupakan satu satunya pihak domestik yang berfungsi sebagai konsumen dari
industri pertahanan nasional.
Selama ini berbagai masalah muncul baik dari segi keterbatasan anggaran, mekanisme birokrasi yang rumit, maupun tingkat kepercayaan TNI yang rendah terhadap kualitas produksi industri pertahanan nasional yang mengakibatkan lemahnya industri pertahanan Indonesia. Kedua, dari sudut pandang penawaran (supply). Industri pertahanan Indonesia pada umumnya berada dalam kondisi tidak sehat dan bermasalah baik dari segi finansial maupun manajerial sehingga akhirnya tidak cukup kompetitif dibanding industri pertahanan dari negara lain.
Artikel ini secara khusus akan melihat persoalan dari segi penawaran dan bertujuan untuk melihat kembali kondisi industri pertahanan dan strategis Indonesia serta berbagai upaya pembinaan dari pemerintah. Dengan demikian, dapat ditemukan beberapa masalah mendasar kemudian dapat merumuskan opsi-opsi yang dapat diambil pemerintah dalam proses revitalisasi industri pertahanan untuk memperbaiki kondisi dari segi penawaran.
Manajerial dan Finansial
Sejak Tim Pengembangan Industri Hankam (TPIH) merekomendasikan pendirian industri hankam, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 40/1980,hingga tahun 1990-an, Indonesia memiliki beberapa industri yang dapat dikategorikan dalam industri pertahanan dan strategis di bawah pembinaan Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). Industriindustri tersebut adalah IPTN, PAL,PINDAD,Dahana,Krakatau Steel, INKA, INTI, Barata, Boma Bisma Indra (BBI), serta Lembaga Elektronika Nasional.
Saat ini daftar itu bertambah dengan tiga perusahaan perkapalan yaitu Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS), Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (DKB), serta Industri Kapal Indonesia (IKI). Dilihat dari segi manajerial dan finansial, secara keseluruhan sesungguhnya industri strategis dan pertahanan Indonesia dapat dikatakan memiliki performa yang cukup baik. Rasio profit pada 1985 berkisar 0,5–3,7%.
Dilihat dari indikator likuiditas juga tidak terlalu buruk, pada 1982 rasio likuiditas industri-industri ini secara gabungan mencapai angka 701%. Namun, apabila dilihat secara individual,sebagian besar perusahaan di industri pertahanan dan strategis ini memang bermasalah secara finansial dan manajerial terutama sejak krisis tahun 1998 dan Indonesia di bawah tekanan IMF.
Dilihat dari segi finansial, data terakhir menunjukkan bahwa perusahaan dengan profit terbesar adalah PT Dahana. Selain itu, perusahaan dengan kondisi sehat dan memiliki margin keuntungan yang cukup signifikan adalah PT Pindad, PT LEN Industri, dan PT INTI. Beberapa perusahaan lain seperti PT INKA, Krakatau Steel, PT Barata, DPS, dan DKB mulai menorehkan laba dan menunjukkan potensi menuju perusahaan sehat secara finansial.
Sementara BBI, IKI, PAL, dan Dirgantara Indonesia masih memiliki status sebagai perusahaan tidak sehat dan merugi secara finansial. Inisiasi dan komitmen Indonesia untuk membangun industri pertahanannya adalah sebuah keniscayaan. Sebagai langkah awal, pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi untuk mendasari kebijakan revitalisasi industri pertahanan dan strategis.
Peraturan Presiden Nomor 42/2010 membentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang bertugas untuk merumuskan kebijakan, mengoordinasikan pelaksanaan, mengoordinasikan kerja sama luar negeri, serta melaksanakan pemantauan dan evaluasi dari pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan industri pertahanan. Selain itu, dua peraturan menteri pertahanan juga dikeluarkan,Permenhan Nomor 12/ 2010 dan Permenhan Nomor 24/2010, untuk mengatur tata kerja organisasi KKIP dan memberikan peta jalan (roadmap) jangka panjang untuk proses revitalisasi industri pertahanan dan strategis Indonesia.
Konsolidasi
Dari segi perbaikan kinerja finansial dan neraca keuangan, satu satunya pilihan yang harus dipertimbangkan KKIP adalah konsolidasi industri strategis dan pertahanan Indonesia.Kebijakan ini juga diambil Amerika Serikat yang mengonsolidasikan industri pertahanannya dengan melakukan merger beberapa perusahaan menjadi Lockheed Martin, Northrop Grumman, Raytheon, dan Boeing.
Mengingat kinerja keuangan industri domestik Indonesia yang cukup baik secara gabungan, konsekuensi logis untuk memastikan industri yang sehat adalah melakukan konsolidasi industri. Salah satu alternatif yang bisa ditawarkan adalah konsolidasi industri strategis dan konsolidasi industri pertahanan. Perusahaan yang bergerak di bidang yang lebih dekat dengan produksi alutsista ataupun almatsus seperti Pindad, Dahana, LEN, INTI, dan DI bisa digabungkan menjadi satu industri penerbangan dan pertahanan Indonesia.
Sementara perusahaan yang bergerak di bidang strategis dan perkapalan seperti PAL, DPS, IKI, BBI Barata, DKB, dan INKA dapat bergabung menjadi sebuah industri alat berat dan perkapalan. Untuk perbaikan dari sisi manajerial,terdapat beberapa opsi kerangka industrial yang harus diciptakan Indonesia dalam rangka revitalisasi industrinya. Opsi ini akan berpengaruh terhadap fungsi dan program kerja KKIP selanjutnya.
Pilihan pertama berbentuk autarki yang mempunyai implikasi KKIP harus menciptakan konglomerasi global. Pilihan kedua berbentuk industri ceruk (niche) yang memberikan implikasi KKIP harus mendorong keuntungan komparasi dari industri-industri domestik. Pilihan ketiga adalah penyokong industri pertahanan global. Pilihan yang cukup mungkin dikembangkan KKIP adalah pilihan kedua maupun ketiga, tetapi ketiga pilihan tersebut tetap membutuhkan intervensi pemerintah yang cukup besar.
Salah satu intervensi yang harus diupayakan adalah besaran anggaran untuk riset dan pengembangan sehingga beban dari masing-masing industri bisa dikurangi untuk memastikan kualitas serta berimbangnya neraca keuangan masing-masing industri. Industri yang sehat adalah prasyarat utama pengembangan industri pertahanan Indonesia yang mandiri dan karena sifatnya yang strategis, pemerintah melalui KKPI ikut bertanggung jawab memastikan kesehatan industri-industri tersebut. ●
Selama ini berbagai masalah muncul baik dari segi keterbatasan anggaran, mekanisme birokrasi yang rumit, maupun tingkat kepercayaan TNI yang rendah terhadap kualitas produksi industri pertahanan nasional yang mengakibatkan lemahnya industri pertahanan Indonesia. Kedua, dari sudut pandang penawaran (supply). Industri pertahanan Indonesia pada umumnya berada dalam kondisi tidak sehat dan bermasalah baik dari segi finansial maupun manajerial sehingga akhirnya tidak cukup kompetitif dibanding industri pertahanan dari negara lain.
Artikel ini secara khusus akan melihat persoalan dari segi penawaran dan bertujuan untuk melihat kembali kondisi industri pertahanan dan strategis Indonesia serta berbagai upaya pembinaan dari pemerintah. Dengan demikian, dapat ditemukan beberapa masalah mendasar kemudian dapat merumuskan opsi-opsi yang dapat diambil pemerintah dalam proses revitalisasi industri pertahanan untuk memperbaiki kondisi dari segi penawaran.
Manajerial dan Finansial
Sejak Tim Pengembangan Industri Hankam (TPIH) merekomendasikan pendirian industri hankam, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 40/1980,hingga tahun 1990-an, Indonesia memiliki beberapa industri yang dapat dikategorikan dalam industri pertahanan dan strategis di bawah pembinaan Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). Industriindustri tersebut adalah IPTN, PAL,PINDAD,Dahana,Krakatau Steel, INKA, INTI, Barata, Boma Bisma Indra (BBI), serta Lembaga Elektronika Nasional.
Saat ini daftar itu bertambah dengan tiga perusahaan perkapalan yaitu Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS), Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (DKB), serta Industri Kapal Indonesia (IKI). Dilihat dari segi manajerial dan finansial, secara keseluruhan sesungguhnya industri strategis dan pertahanan Indonesia dapat dikatakan memiliki performa yang cukup baik. Rasio profit pada 1985 berkisar 0,5–3,7%.
Dilihat dari indikator likuiditas juga tidak terlalu buruk, pada 1982 rasio likuiditas industri-industri ini secara gabungan mencapai angka 701%. Namun, apabila dilihat secara individual,sebagian besar perusahaan di industri pertahanan dan strategis ini memang bermasalah secara finansial dan manajerial terutama sejak krisis tahun 1998 dan Indonesia di bawah tekanan IMF.
Dilihat dari segi finansial, data terakhir menunjukkan bahwa perusahaan dengan profit terbesar adalah PT Dahana. Selain itu, perusahaan dengan kondisi sehat dan memiliki margin keuntungan yang cukup signifikan adalah PT Pindad, PT LEN Industri, dan PT INTI. Beberapa perusahaan lain seperti PT INKA, Krakatau Steel, PT Barata, DPS, dan DKB mulai menorehkan laba dan menunjukkan potensi menuju perusahaan sehat secara finansial.
Sementara BBI, IKI, PAL, dan Dirgantara Indonesia masih memiliki status sebagai perusahaan tidak sehat dan merugi secara finansial. Inisiasi dan komitmen Indonesia untuk membangun industri pertahanannya adalah sebuah keniscayaan. Sebagai langkah awal, pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi untuk mendasari kebijakan revitalisasi industri pertahanan dan strategis.
Peraturan Presiden Nomor 42/2010 membentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang bertugas untuk merumuskan kebijakan, mengoordinasikan pelaksanaan, mengoordinasikan kerja sama luar negeri, serta melaksanakan pemantauan dan evaluasi dari pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan industri pertahanan. Selain itu, dua peraturan menteri pertahanan juga dikeluarkan,Permenhan Nomor 12/ 2010 dan Permenhan Nomor 24/2010, untuk mengatur tata kerja organisasi KKIP dan memberikan peta jalan (roadmap) jangka panjang untuk proses revitalisasi industri pertahanan dan strategis Indonesia.
Konsolidasi
Dari segi perbaikan kinerja finansial dan neraca keuangan, satu satunya pilihan yang harus dipertimbangkan KKIP adalah konsolidasi industri strategis dan pertahanan Indonesia.Kebijakan ini juga diambil Amerika Serikat yang mengonsolidasikan industri pertahanannya dengan melakukan merger beberapa perusahaan menjadi Lockheed Martin, Northrop Grumman, Raytheon, dan Boeing.
Mengingat kinerja keuangan industri domestik Indonesia yang cukup baik secara gabungan, konsekuensi logis untuk memastikan industri yang sehat adalah melakukan konsolidasi industri. Salah satu alternatif yang bisa ditawarkan adalah konsolidasi industri strategis dan konsolidasi industri pertahanan. Perusahaan yang bergerak di bidang yang lebih dekat dengan produksi alutsista ataupun almatsus seperti Pindad, Dahana, LEN, INTI, dan DI bisa digabungkan menjadi satu industri penerbangan dan pertahanan Indonesia.
Sementara perusahaan yang bergerak di bidang strategis dan perkapalan seperti PAL, DPS, IKI, BBI Barata, DKB, dan INKA dapat bergabung menjadi sebuah industri alat berat dan perkapalan. Untuk perbaikan dari sisi manajerial,terdapat beberapa opsi kerangka industrial yang harus diciptakan Indonesia dalam rangka revitalisasi industrinya. Opsi ini akan berpengaruh terhadap fungsi dan program kerja KKIP selanjutnya.
Pilihan pertama berbentuk autarki yang mempunyai implikasi KKIP harus menciptakan konglomerasi global. Pilihan kedua berbentuk industri ceruk (niche) yang memberikan implikasi KKIP harus mendorong keuntungan komparasi dari industri-industri domestik. Pilihan ketiga adalah penyokong industri pertahanan global. Pilihan yang cukup mungkin dikembangkan KKIP adalah pilihan kedua maupun ketiga, tetapi ketiga pilihan tersebut tetap membutuhkan intervensi pemerintah yang cukup besar.
Salah satu intervensi yang harus diupayakan adalah besaran anggaran untuk riset dan pengembangan sehingga beban dari masing-masing industri bisa dikurangi untuk memastikan kualitas serta berimbangnya neraca keuangan masing-masing industri. Industri yang sehat adalah prasyarat utama pengembangan industri pertahanan Indonesia yang mandiri dan karena sifatnya yang strategis, pemerintah melalui KKPI ikut bertanggung jawab memastikan kesehatan industri-industri tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar