Kebangkitan Asia Bisa Terhenti?
Brahma Chellaney; Guru Besar Studi Strategis Pada
Center for Policy Research di New Delhi, Pengarang Buku Asian Juggernaut and
The Water: Asia's New Battleground
SUMBER : KORAN
TEMPO, 07 Mei 2012
Suatu
tema favorit dalam debat internasional sekarang ini adalah apakah kebangkitan
Asia itu menandai menurunnya pengaruh Barat. Tapi fokus pada malaise ekonomi
yang sekarang melanda Eropa dan Amerika Serikat telah mengalihkan perhatian
dunia dari soal itu--banyaknya tantangan serius yang ragu terhadap
keberlanjutan keberhasilan Asia itu.
Yang
pasti, pergeseran kekuatan global yang terjadi saat ini terutama dikaitkan
dengan kebangkitan fenomenal Asia, kecepatan dan skala kebangkitan yang tidak
ada bandingannya dalam sejarah dunia ini. Dengan pertumbuhan ekonomi yang
tercepat di dunia, belanja militer yang meningkat paling cepat, persaingan
merebut sumber daya yang paling sengit, dan hot spot atau kawasan-kawasan panas
yang paling serius, Asia jelas memegang kunci tata dunia baru di masa depan.
Tapi
Asia menghadapi kendala yang berat. Ia harus menangani sengketa-sengketa
teritorial dan maritim yang serius, seperti di Laut Cina Selatan;
warisanwarisan penuh bahaya yang membebani hubungan antar-negara; nasionalisme
yang semakin berkobar; ekstremisme agama yang terus meningkat; dan persaingan
yang tajam memperebutkan sumbersumber air dan energi.
Lagi
pula, integrasi politik Asia sangat tertinggal jauh di belakang integrasi
ekonominya. Dan, yang makin mempersulit keadaan, ia tidak memiliki kerangka
pengaturan keamanan. Mekanisme konsultasi regional tetap lemah. Perbedaan terus
berlangsung mengenai apakah suatu masyarakat atau arsitektur keamanan yang akan
dibentuk itu harus membentang ke seluruh Asia, atau dibatasi hanya pada “Asia
Timur” yang tidak jelas batasannya itu.
Salah
satu keprihatinan utama adalah bahwa, berbeda dengan perang-perang berdarah
yang terjadi di Eropa pada paruh pertama abad ke-20, yang tidak terpikirkan
bakal terjadi lagi di sana sekarang, perang-perang yang terjadi di Asia pada
paruh kedua abad ke-20 cuma menegaskan persaingan yang ada. Beberapa perang
antar-negara telah terjadi di Asia sejak 1950, ketika mulai pecahnya Perang
Korea dan aneksasi Tibet tanpa menyelesaikan sengketa-sengketa yang
mendasarinya.
Untuk
mengambil contoh yang paling signifikan, lihat saja bagaimana Cina melakukan
intervensi militer, walaupun ia waktu itu masih miskin dan menghadapi persoalan
internal yang berat. Suatu laporan yang diterbitkan Pentagon pada 2010 memuat
daftar tindakan memukuldulu Cina pada 1950, 1962, 1969, dan 1979 atas nama
pertahanan strategis. Kemudian juga tindakan yang dilakukan Cina merebut
Kepulauan Paracel dari tangan Vietnam pada 1974, dan didudukinya Karang
Mischief di Kepulauan Spratly pada 1995 di tengah-tengah protes keras oleh
Filipina. Sejarah membantu menjelaskan mengapa kebangkitan militer Cina yang
cepat itu telah menimbulkan kekhawatiran di Asia.
Sesungguhnya,
sejak Jepang berkembang menjadi kekuatan dunia, di bawah Kaisar Meiji (1867-1912),
belum ada lagi kekuatan non-Barat yang muncul dengan potensi seperti yang
dimiliki Jepang saat itu dalam memberi bentuk pada tata global. Tapi ada beda
yang penting: kebangkitan Jepang ketika itu diikuti oleh menurunnya
peradaban-peradaban Asia lainnya. Bukankah menjelang abad ke-19, orang-orang
Eropa telah menguasai banyak bagian Asia, sehingga tidak meninggalkan ruang
bagi kekuatan Asia lainnya untuk mengekang ekspansi Jepang.
Sekarang,
Cina bangkit seiring dengan negara-negara lainnya yang penting di Asia,
termasuk Korea Selatan, Vietnam, India, dan Indonesia. Walaupun Cina sekarang
telah menggantikan Jepang sebagai ekonomi kedua terbesar di dunia, Jepang tetap
merupakan negara yang kuat untuk masa depan yang dekat ini. Berdasarkan
pendapatan per kapita, Jepang masih sembilan kali lebih kaya daripada Cina, dan
Jepang memiliki angkatan laut terbesar serta industri teknologi tinggi paling
maju di Asia.
Ketika
Jepang muncul sebagai kekuatan dunia, penaklukan mulai terjadi, sedangkan
dorongan ekspansionis Cina dalam beberapa hal terbendung oleh negara-negara
Asia lainnya. Secara militer, Cina tidak berada dalam posisi mampu merebut
wilayah-wilayah yang diincarnya.
Tapi
belanja militernya telah meningkat hampir dua kali cepatnya pertumbuhan PDB
negeri itu. Dan dengan mencari-cari sengketa teritorial dengan negara-negara
tetangganya dan menjalankan kebijakan luar negeri yang didukung kekuatan
militer, para pemimpin Cina telah memaksa negara-negara Asia lainnya untuk
merapat lebih dekat kepada AS dan sesama mereka.
Sebenarnya
Cina tampaknya berada pada jalur yang sama yang membuat Jepang menjadi negara
yang militeristik dan agresif, dengan konsekuensi tragis bagi kawasan ini—dan
bagi Jepang.
Restorasi
Meiji menciptakan militer yang kuat di bawah slogan: “Perkaya negeri dan
perkuat militer.” Militer akhirnya menjadi begitu kuat, sehingga ia bisa
mendiktekan kemauannya atas pemerintahan sipil. Hal yang sama bisa terjadi di
Cina, di mana Partai Komunis semakin terkesima oleh militer demi mempertahankan
monopoli kekuasaan dalam genggamannya.
Lebih
luas lagi, dinamika kekuatan Asia mungkin akan tetap cair, dengan
aliansialiansi yang baru atau bergeser, dan kemampuan militer yang diperkuat
terus merupakan tantangan terhadap stabilitas regional. Misalnya, sementara
Cina, India, dan Jepang melakukan manuver untuk memperoleh keunggulan
strategis, mereka akan mengubah hubungan bersama mereka dengan bentuk
pengaturan strategi yang lebih erat antara India dan Jepang, dan persaingan
yang makin tajam antara mereka dan Cina.
Masa
depan tidak bakal menjadi milik Asia semata-mata, karena ia merupakan benua
paling besar, paling banyak penduduknya, dan paling cepat perkembangannya di
dunia. Besar tidak berarti merupakan aset. Secara historis, negara-negara
dengan orientasi strategislah yang telah menguasai kekuatan global.
Sebenarnya,
dengan jumlah penduduk yang lebih kecil, Asia bakal memiliki keseimbangan yang
lebih baik antara besarnya jumlah penduduk dan ketersediaan sumber daya alam,
termasuk air, pangan, dan energi. Di Cina, misalnya, kelangkaan air diakui
secara resmi telah mengorbankan produksi industri senilai US$ 28 miliar setiap
tahun. Walaupun Cina, tidak seperti ekonomi-ekonomi Asia lainnya, termasuk
India, Korea Selatan, dan Singapura, tidak masuk daftar PBB sebagai negara yang
menghadapi tekanan masalah air.
Di
samping meningkatnya tantangan politik dan sumber daya alam, Asia telah membuat
kesalahan terlalu memberikan tekanan pada pertumbuhan PDB dengan mengabaikan
indeks-indeks pembangunan lainnya. Akibatnya, Asia menjadi semakin tidak
setara, korupsi merebak, ketidakpastian meningkat, dan kerusakan lingkungan
menjadi masalah yang semakin serius.
Buruknya
pula, sementara banyak negara Asia telah mengadopsi nilai-nilai ekonomi Barat,
mereka menolak nilai-nilai politiknya.
Jadi, jangan salah. Tantangan yang dihadapi
Asia jauh lebih berat daripada yang dihadapi Eropa, yang mewujudkan pembangunan
yang menyeluruh lebih daripada bagian-bagian dunia lainnya. Kendati aura
ketidakterelakkannya, belum pasti bahwa Asia, dengan tantangan internalnya yang
mendesak, bakal mampu menjadi ujung tombak pertumbuhan global dan memberi
bentuk pada tata dunia baru. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar