TKNM & Sejarah Gerakan Pembela Islam
JJ Rizal; Sejarawan
SUMBER : SINDO, 08
Mei 2012
Pada
11 Januari 1918 di Surakarta dalam surat kabar Djawi Hiswara muncul tulisan:
“Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. Gin dan kadang soeka mengisap
opioem”. Kehebohan pun terjadi. Penulis
itu Djojodikoro dan pemimpin surat kabar itu Martodharsono, seorang anak didik
Haji Samanhudi, tokoh Sjarekat Islam (SI) menjadi pusat cercaan. Di Surabaya,
HOS Tjokroaminoto merongos jengkel tak terhingga. Sosok yang dianggap Ratu Adil
masyarakat Jawa ini mencap pemerintah kolonial tidak memedulikan Islam.
Pemerintah hanya bisa diam termangu, sementara kemaksiatan dan perbuatan yang menghina Islam merajalela. Tjokro berargumen, umat Islam di Hindia Belanda berada dalam serangan yang serius dari dekadensi moral, sekularisme, dan ketidaksenonohan Barat lantaran politik liberal. Karena itu,tak selang lama, pada akhir Januari tahun itu juga Tjokro mengajak tokoh Arab terkemuka,
Hasan bin Semit,yang menjadi pemimpin Al Irsyad Surabaya dan Komisaris Central Sjarekat Islam (CSI) mengadakan pertemuan maraton SI secara besar-besaran diSurabaya untuk membahas masalah Djawi Hiswara. Mereka menuntut suatu pembelaan atas Islam dan agar pemerintah kolonial serta sunan menangkap mereka yang terkait dengan kasus Djawi Hiswara.
Tak cukup hanya itu,Tjokro awal Februari 1918 di Surabaya juga mendirikan Tentara Kandjeng Nabi Moehammad (TKNM). “Untuk mempertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan kaoem moeslimin,” kata Tjokro.Kepada procureurgeneraal, Tjokro mengaku bahwa ia mendirikan TKNM karena SI sudah tidak menarik lagi di kalangan masyarakat, khususnya orang Arab.
Padahal ia perlu menggandeng orangorang Arab sebagai jembatan menghimpun ‘kaum putihan’ serta mengumpulkan dana guna menyiapkan kekuatan para militer yang siap membawa ketakutan kepada siapa saja yang dianggap mencemarkan Islam. Takashi Shiraishi dalam An Age in Motion (1990) mengungkapkan bahwa itulah saat Indonesia untuk pertama kali diperkenalkan kepada sebuah barisan yang tersusun sebagai suatu ketentaraan islamis yang militan dan memang diarahkan untuk memerangi orang atau kelompok yang dianggap sekuler.
TKNM secara cepat berhasil mempropagandakan diri sebagai laskar pembela Islam yang memukau. Misalnya saja vergaderingTKNM di Surabaya pada 6 Februari berhasil meraup dana lebih 3000 gulden. Reli protes yang diadakan serentak pada 24 Februari di 42 tempat di seluruh Jawa dan Sumatra dihadiri lebih 150.000 orang dan berhasil meraih lebih 10.000 gulden. Subkomite TKNM pun didirikan hampir di seluruh Jawa, tapi nyata sekali bahwa sebagai milisi TKNM tak pernah lebih jauh kegiatannya, selain melakukan arak-arakan besar.
Aksi itu dilaporkan Comite voor Javaansch Nationalisme memanaskan suasana kefanatikan agama sebelum akhirnya bermuara pada rapat umum alias vergadering dan mengumpulkan iuran. Ada memang protes-protes kepada pemerintah, tapi semua diakhiri dengan mengirim kawat yang bersahabat kepada gubernur jenderal dan sunan.TKNM bekerja sebagai organ Islam yang loyal kepada kuasa kolonial.
George D Larson dalam Prelude to Revolution (1987) mengungkapkan, HM Misbach, pedagang batik yang saleh dan sohor sebagai “Haji Merah”, adalah salah satu tokoh yang segera tertarik pada militansi TKNM. Ia bersama para pedagang batik di Surakarta bergabung dan menjadi penyumbang dana terbesar. Ia bahkan bersama seorang haji penasihat CSI jadi promotor pendirian subkomite TKNM di Solo pada 22 Februari 1918.
Tetapi, pada pertengahan 1918, Misbach dan kawan-kawannya kecewa karena pegawai keagamaan dalam TKNM seperti ustaz, kiai, guru ngaji, dan orang-orang Arab itu tidak ada yang dapat disebut progresif, apalagi militan. Sikap progresif serta militan yang ditunjukkan hanya kedok agar dapat “bersukaria dari hari ke hari menyate uang iuran anggota”. Terkait dengan hal itu, Mr Zahid dalam Islam Bergerak,10 Juni 1918, menulis bahwa pemimpin TKNM mengkhianati tujuan membela Islam dan memanipulasikannya.
Baginya, kiai, ustaz, guru, dan orangorang Arab yang memimpin TKNM itu tidak ada bedanya dengan Martodharsono dan Djojodikoro yang sudah menodai nabi dan Islam.Semua itu akhirnya menambah kejengkelan Misbach dan kawan-kawannya yang sebelumnya juga merasa dikhianati Tjokro. Secara diam-diam Tjokro menghentikan kampanye anti-Martodharsono, anti-Djojodikoro, dan anti-Djawi Hiswara-nya,seraya berasyik-masyuk dengan kekuasaan kolonial sembari makan dana TKNM.
Sampai di situ,bagi Misbach dan kawan-kawannya,TKNM tinggal menjadi alat Tjokro dan para ustaz, kiai, guru ngaji, serta orang-orang Arab yang dekaden dan menjual diri kepada sultan serta penguasa kolonial. TKNM hanya gerombolan besar yang tak bisa membuktikan keislaman mereka dalam tingkah laku alias “Islam gadoengan”, bukan “Islam sedjati”,cuma “Islam lamisan”.
Karena itu, Misbach bersama pedagang batik muslim di Solo seperti Koesen, Harsoloemekso, dan Darsosamito membentuk Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV).SATV segera menarik generasi santri yang lebih muda serta progresif. Sebagaimana tersirat dari namanya, tujuan SATV adalah “memperkuat kebenaran dan memajukan Islam” melalui perbuatan yang sesuai dengan kata-kata.
Perbuatan dan upaya “menggerakkan Islam” inilah yang terpenting,menurut Misbach. Konsep SATV itu dituangkan Misbach dalam “Sroean Kita” yang dipublikasikan di Medan Moeslimin (1918) yang dipimpinnya. Adalah menarik cara Misbach menetralisasi semangat anti-Kristen yang pertama kali diperkenalkan dan dimasukkan dalam dunia pergerakan oleh TKNM di Solo. Baginya, hal ini telah menimbulkan keguncangan di Surakarta sebab dalam salah satu vergadering, di hadapan lebih 20.000 orang muslim yang saleh di Sriwedari pada 24 Februari 1918 sebagai sekretaris TKNM,
Poerwodihardjo menyerukan agar para anggota tak hanya memerangi kaum sekuler,juga bersikap anti-Kristen. Poerwodihardjo menyemburkan sentimen- sentimen anti-Kristen dan mengarahkan para anggota masuk dalam perjuangan melawan kegiatan misionaris Kristen. Adalah benar misionaris Kristen itu berlaku curang pada kaum muslim dan merusak Islam sehingga umatnya tetap lemah.
Tetapi, ada kekuatan yang jauh lebih dahsyat dalam melakukan kecurangan, lebih hebat dalam merusak, dan begitu lama melemahkan umat Islam yaitu kaum kapitalis dan pemerintah kolonial Belanda. Karena itu, baginya, salah jika seorang Islam sejati ingin berperang melawan aktivitas misionaris Kristen tanpa secara habis-habisan melawan kapitalis dan pemerintah yang zalim.
Demikianlah jika menengok Medan Moeslimin, tampaklah betapa surat kabar ini membelakangkan sikap anti-Kristen meskipun surat kabar ini terbit untuk menanggapi terbitnya jurnal misionaris Kristen, Mardi Rahardjo. Pada nomor pertamanya, Medan Moeslimin bahkan memuat artikel yang mengajak kaum muslimin untuk “memadjoekan Islam” dengan mengikut seperti yang dilakukan misionaris Kristen yaitu menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah- sekolah dan klinik, serta mengadakan pertemuan-pertemuan. Akhirnya, bagi Misbach, anti-Kristen dan sekularisasi itu bukanlah menarik garis antara mereka yang Kristen dan yang Islam, antara yang Islam dan yang sekuler,melainkan antara mereka yang “Islam sedjati”dan “Islam gadoengan”, sebab sesungguhnya jihad buat Misbach tak jarang adalah memerangi orang-orang Islam sendiri yang seperti Martodharsono dan Djojodikoro serta mereka yang di TKNM yang dengan memilih bentuk milisi secara prinsip telah menyediakan alasan atas sejumlah aksi vigilante alias mengambil tindakan hukum menurut versi sendiri terhadap pihak-pihak yang dianggap mencemarkan Islam dan berakhir pada prilaku yang bertentangan dengan prinsip amar ma’ruf nahi mungkar.Misbach pun mewanti-wanti, mereka semua itu akan terus ada, dan setiap orang “Islam sedjati” kapan pun dan di mana pun harus “lebih berani”serta punya prinsip kuat bahwa yang “menyelewengkan agama Islam, jang wadjib kita binasaken”. ●
Pemerintah hanya bisa diam termangu, sementara kemaksiatan dan perbuatan yang menghina Islam merajalela. Tjokro berargumen, umat Islam di Hindia Belanda berada dalam serangan yang serius dari dekadensi moral, sekularisme, dan ketidaksenonohan Barat lantaran politik liberal. Karena itu,tak selang lama, pada akhir Januari tahun itu juga Tjokro mengajak tokoh Arab terkemuka,
Hasan bin Semit,yang menjadi pemimpin Al Irsyad Surabaya dan Komisaris Central Sjarekat Islam (CSI) mengadakan pertemuan maraton SI secara besar-besaran diSurabaya untuk membahas masalah Djawi Hiswara. Mereka menuntut suatu pembelaan atas Islam dan agar pemerintah kolonial serta sunan menangkap mereka yang terkait dengan kasus Djawi Hiswara.
Tak cukup hanya itu,Tjokro awal Februari 1918 di Surabaya juga mendirikan Tentara Kandjeng Nabi Moehammad (TKNM). “Untuk mempertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan kaoem moeslimin,” kata Tjokro.Kepada procureurgeneraal, Tjokro mengaku bahwa ia mendirikan TKNM karena SI sudah tidak menarik lagi di kalangan masyarakat, khususnya orang Arab.
Padahal ia perlu menggandeng orangorang Arab sebagai jembatan menghimpun ‘kaum putihan’ serta mengumpulkan dana guna menyiapkan kekuatan para militer yang siap membawa ketakutan kepada siapa saja yang dianggap mencemarkan Islam. Takashi Shiraishi dalam An Age in Motion (1990) mengungkapkan bahwa itulah saat Indonesia untuk pertama kali diperkenalkan kepada sebuah barisan yang tersusun sebagai suatu ketentaraan islamis yang militan dan memang diarahkan untuk memerangi orang atau kelompok yang dianggap sekuler.
TKNM secara cepat berhasil mempropagandakan diri sebagai laskar pembela Islam yang memukau. Misalnya saja vergaderingTKNM di Surabaya pada 6 Februari berhasil meraup dana lebih 3000 gulden. Reli protes yang diadakan serentak pada 24 Februari di 42 tempat di seluruh Jawa dan Sumatra dihadiri lebih 150.000 orang dan berhasil meraih lebih 10.000 gulden. Subkomite TKNM pun didirikan hampir di seluruh Jawa, tapi nyata sekali bahwa sebagai milisi TKNM tak pernah lebih jauh kegiatannya, selain melakukan arak-arakan besar.
Aksi itu dilaporkan Comite voor Javaansch Nationalisme memanaskan suasana kefanatikan agama sebelum akhirnya bermuara pada rapat umum alias vergadering dan mengumpulkan iuran. Ada memang protes-protes kepada pemerintah, tapi semua diakhiri dengan mengirim kawat yang bersahabat kepada gubernur jenderal dan sunan.TKNM bekerja sebagai organ Islam yang loyal kepada kuasa kolonial.
George D Larson dalam Prelude to Revolution (1987) mengungkapkan, HM Misbach, pedagang batik yang saleh dan sohor sebagai “Haji Merah”, adalah salah satu tokoh yang segera tertarik pada militansi TKNM. Ia bersama para pedagang batik di Surakarta bergabung dan menjadi penyumbang dana terbesar. Ia bahkan bersama seorang haji penasihat CSI jadi promotor pendirian subkomite TKNM di Solo pada 22 Februari 1918.
Tetapi, pada pertengahan 1918, Misbach dan kawan-kawannya kecewa karena pegawai keagamaan dalam TKNM seperti ustaz, kiai, guru ngaji, dan orang-orang Arab itu tidak ada yang dapat disebut progresif, apalagi militan. Sikap progresif serta militan yang ditunjukkan hanya kedok agar dapat “bersukaria dari hari ke hari menyate uang iuran anggota”. Terkait dengan hal itu, Mr Zahid dalam Islam Bergerak,10 Juni 1918, menulis bahwa pemimpin TKNM mengkhianati tujuan membela Islam dan memanipulasikannya.
Baginya, kiai, ustaz, guru, dan orangorang Arab yang memimpin TKNM itu tidak ada bedanya dengan Martodharsono dan Djojodikoro yang sudah menodai nabi dan Islam.Semua itu akhirnya menambah kejengkelan Misbach dan kawan-kawannya yang sebelumnya juga merasa dikhianati Tjokro. Secara diam-diam Tjokro menghentikan kampanye anti-Martodharsono, anti-Djojodikoro, dan anti-Djawi Hiswara-nya,seraya berasyik-masyuk dengan kekuasaan kolonial sembari makan dana TKNM.
Sampai di situ,bagi Misbach dan kawan-kawannya,TKNM tinggal menjadi alat Tjokro dan para ustaz, kiai, guru ngaji, serta orang-orang Arab yang dekaden dan menjual diri kepada sultan serta penguasa kolonial. TKNM hanya gerombolan besar yang tak bisa membuktikan keislaman mereka dalam tingkah laku alias “Islam gadoengan”, bukan “Islam sedjati”,cuma “Islam lamisan”.
Karena itu, Misbach bersama pedagang batik muslim di Solo seperti Koesen, Harsoloemekso, dan Darsosamito membentuk Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV).SATV segera menarik generasi santri yang lebih muda serta progresif. Sebagaimana tersirat dari namanya, tujuan SATV adalah “memperkuat kebenaran dan memajukan Islam” melalui perbuatan yang sesuai dengan kata-kata.
Perbuatan dan upaya “menggerakkan Islam” inilah yang terpenting,menurut Misbach. Konsep SATV itu dituangkan Misbach dalam “Sroean Kita” yang dipublikasikan di Medan Moeslimin (1918) yang dipimpinnya. Adalah menarik cara Misbach menetralisasi semangat anti-Kristen yang pertama kali diperkenalkan dan dimasukkan dalam dunia pergerakan oleh TKNM di Solo. Baginya, hal ini telah menimbulkan keguncangan di Surakarta sebab dalam salah satu vergadering, di hadapan lebih 20.000 orang muslim yang saleh di Sriwedari pada 24 Februari 1918 sebagai sekretaris TKNM,
Poerwodihardjo menyerukan agar para anggota tak hanya memerangi kaum sekuler,juga bersikap anti-Kristen. Poerwodihardjo menyemburkan sentimen- sentimen anti-Kristen dan mengarahkan para anggota masuk dalam perjuangan melawan kegiatan misionaris Kristen. Adalah benar misionaris Kristen itu berlaku curang pada kaum muslim dan merusak Islam sehingga umatnya tetap lemah.
Tetapi, ada kekuatan yang jauh lebih dahsyat dalam melakukan kecurangan, lebih hebat dalam merusak, dan begitu lama melemahkan umat Islam yaitu kaum kapitalis dan pemerintah kolonial Belanda. Karena itu, baginya, salah jika seorang Islam sejati ingin berperang melawan aktivitas misionaris Kristen tanpa secara habis-habisan melawan kapitalis dan pemerintah yang zalim.
Demikianlah jika menengok Medan Moeslimin, tampaklah betapa surat kabar ini membelakangkan sikap anti-Kristen meskipun surat kabar ini terbit untuk menanggapi terbitnya jurnal misionaris Kristen, Mardi Rahardjo. Pada nomor pertamanya, Medan Moeslimin bahkan memuat artikel yang mengajak kaum muslimin untuk “memadjoekan Islam” dengan mengikut seperti yang dilakukan misionaris Kristen yaitu menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah- sekolah dan klinik, serta mengadakan pertemuan-pertemuan. Akhirnya, bagi Misbach, anti-Kristen dan sekularisasi itu bukanlah menarik garis antara mereka yang Kristen dan yang Islam, antara yang Islam dan yang sekuler,melainkan antara mereka yang “Islam sedjati”dan “Islam gadoengan”, sebab sesungguhnya jihad buat Misbach tak jarang adalah memerangi orang-orang Islam sendiri yang seperti Martodharsono dan Djojodikoro serta mereka yang di TKNM yang dengan memilih bentuk milisi secara prinsip telah menyediakan alasan atas sejumlah aksi vigilante alias mengambil tindakan hukum menurut versi sendiri terhadap pihak-pihak yang dianggap mencemarkan Islam dan berakhir pada prilaku yang bertentangan dengan prinsip amar ma’ruf nahi mungkar.Misbach pun mewanti-wanti, mereka semua itu akan terus ada, dan setiap orang “Islam sedjati” kapan pun dan di mana pun harus “lebih berani”serta punya prinsip kuat bahwa yang “menyelewengkan agama Islam, jang wadjib kita binasaken”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar