Rabu, 23 Mei 2012

Kekerasan dan Citra Indonesia

Kekerasan dan Citra Indonesia
Musa Maliki ; Dosen Hubungan Internasional,
Universitas Paramadina dan Universitas al-Azhar
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 22 Mei 2012


Isu kekerasan, khususnya kekerasan atas nama agama, terus menjadi pemberitaan media massa, baik di Indonesia maupun dunia. Hal itu terjadi karena kekerasan atas nama agama terus meningkat tajam di sebagian wilayah Indonesia sejak 2010 hingga saat ini.

Sedikitnya terdapat 59 kasus kekerasan atas nama agama pada 2009. Jumlah ini meningkat menjadi 81 pada 2010. Pada 2011 sampai kini jumlahnya terus meningkat tajam melampaui tahun-tahun sebelumnya, seperti kejadian di Purwokerto (Jawa Tengah), Puncak, Bogor (Jawa Barat), Jakarta, perusakan pada pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, warga Millah Abraham di Aceh dan Medan, serta kasus pengusiran warga penganut Syiah di Sampang Madura beberapa bulan lalu.

Kasus-kasus itu dimotori gerakan yang menamai dirinya Front Pembela Islam (FPI) dan beberapa ormas sejenis lainnya, seperti front Betawi Rembug (FBR), dan majelis Mujahidin Jogja.

Belum lama ini kasus kekerasan atas nama agama kembali terjadi dengan ditolaknya kedatangan seorang feminis asal Kanada, Irshad Manji ke Indonesia. Kedatangannya ke Jakarta dan Yogyakarta ditolak keras oleh FPI, FBR, dan majelis Mujahidin.

Kekerasan yang dilakukan oleh ormas-ormas tersebut di Pasar Minggu Jakarta dan Rektor UGM telah menggagalkan diskusi terbatas dengan Manji atas bukunya yang berjudul Allah, Liberty, and Love.

Seperti diketahui Manji adalah salah satu intelektual Kanada terkemuka dan cukup memiliki pengaruh di dunia internasional. Dikhawatirkan dengan terjadinya penolakan dan kekerasan terhadap aktivitasnya, akan berakibat kepada efek publisitas secara internasional dan media internasional akan memberitakan kisah ini sebagai sebuah tragedi, melanggar HAM, dan penilaian akan demokrasi Indonesia yang masih setengah-setengah.

Bagaimana sebaiknya pemerintah Indonesia menyikapi hal itu, di kala diplomasi publik Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya mempromosikan diri sebagai negara muslim (moderat) demokratis terbesar di dunia.

Diplomasi Publik

Para praktisi Hubungan Internasional sepakat mendefinisikan diplomasi publik sebagai suatu usaha untuk memperjuangkan kepentingan nasional dengan cara menginformasikan masyarakat internasional (MI). Tujuannya untuk memengaruhi MI melalui ruang budaya dan komunikasi, sehingga citra tentang suatu negara yang salah dapat diluruskan.

Diplomasi publik ini merupakan diplomasi level kedua yang melampaui diplomasi tradisional yang hanya mengandalkan percakapan para elite diplomat.

Diplomasi publik bertujuan membantu diplomasi tradisional untuk memengaruhi masyarakat luar negeri agar tercipta persepsi yang positif kepada negara yang menjalankan diplomasi publik tersebut. Diplomasi publik ini umumnya memiliki karakteristik transparansi dan dijalankan oleh pemerintah ke masyarakat, dan mempunyai isu yang terkait dengan kebijakan suatu negara.

Dimensi diplomasi publik ini penting dilakukan karena: pertama, komunikasi harian yang diharapkan untuk menangkal informasi-informasi yang dimungkinkan terdistorsi. Kedua, komunikasi strategis yang diharapkan menciptakan citra tertentu dengan kebijakan tertentu.

Ketiga, mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang berkesinambungan dengan individu-individu penting dalam program tertentu seperti kerja sama dalam sharing knowledge untuk saling memahami melalui pertukaran dosen, intelektual maupun mengundang pembicara kuliah umum di diskusi-diskusi ilmiah.

Diplomasi publik mempercayai bahwa kekuatan politik-militer dan tekanan dengan kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Diplomasi publik mengarah pada arus informasi dalam-luar, nasional-internasional-lokal-dunia sebagai soft power: nilai, budaya dan ideologi (Nancy Snow, 2009:3). Pelaksanaan soft power ini tentunya dilaksanakan dengan komunikasi yang jujur dan transparan (Hassan Wirayuda, 2008).

Jadi, fungsi diplomasi publik Indonesia yang dibakukan secara formal pada 2002 untuk menjalankan misi berdasar atas suatu sikap terbuka dan berintegritas tinggi dalam menunjukkan orisinalitas keindonesiaan.

Dalam hal ini, diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Indonesia mempunyai dua tujuan, pertama menampilkan wajah Indonesia baru yang moderat, demokratis dan progresif dan kedua, membangun konstituen diplomasi melalui kerja sama dan merangkul semua kalangan seperti ulama, cendekiawan dan masyarakat umum.

Untuk itu, di saat Indonesia sedang membangun diplomasi publik untuk mencitrakan diri sebagai negara yang moderat, demokratis, dan progresif, sejatinya masyarakat dan ormas lebih terbuka dalam memandang suatu pandangan berpikir yang berbeda. Kasus Irshad Manji seharusnya direspons dengan arif, tanpa mesti membubarkan diskusi atas bukunya.

Jika terdapat ketidaksepahaman atas isi buku Manji, seharusnya momen diskusi itu djadikan wadah yang demokratis untuk menyuarakan ketidaksepakatan dan bukan dengan cara-cara kekerasan seperti yang terjadi di Salihara dan UGM. Jika itu dapat dilakukan, tentu ini akan baik bagi budaya demokrasi Indonesia dan citra Indonesia di mata dunia internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar