Kekerasan
dan Citra Indonesia
Musa
Maliki ; Dosen Hubungan Internasional,
Universitas Paramadina dan Universitas al-Azhar
SUMBER
: SINAR
HARAPAN, 22 Mei 2012
Isu kekerasan, khususnya kekerasan atas nama
agama, terus menjadi pemberitaan media massa, baik di Indonesia maupun dunia.
Hal itu terjadi karena kekerasan atas nama agama terus meningkat tajam di
sebagian wilayah Indonesia sejak 2010 hingga saat ini.
Sedikitnya terdapat 59 kasus kekerasan atas
nama agama pada 2009. Jumlah ini meningkat menjadi 81 pada 2010. Pada 2011
sampai kini jumlahnya terus meningkat tajam melampaui tahun-tahun sebelumnya,
seperti kejadian di Purwokerto (Jawa Tengah), Puncak, Bogor (Jawa Barat),
Jakarta, perusakan pada pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, warga Millah Abraham di
Aceh dan Medan, serta kasus pengusiran warga penganut Syiah di Sampang Madura
beberapa bulan lalu.
Kasus-kasus itu dimotori gerakan yang menamai
dirinya Front Pembela Islam (FPI) dan beberapa ormas sejenis lainnya, seperti
front Betawi Rembug (FBR), dan majelis Mujahidin Jogja.
Belum lama ini kasus kekerasan atas nama
agama kembali terjadi dengan ditolaknya kedatangan seorang feminis asal Kanada,
Irshad Manji ke Indonesia. Kedatangannya ke Jakarta dan Yogyakarta ditolak
keras oleh FPI, FBR, dan majelis Mujahidin.
Kekerasan yang dilakukan oleh ormas-ormas
tersebut di Pasar Minggu Jakarta dan Rektor UGM telah menggagalkan diskusi
terbatas dengan Manji atas bukunya yang berjudul Allah, Liberty, and Love.
Seperti diketahui Manji adalah salah satu
intelektual Kanada terkemuka dan cukup memiliki pengaruh di dunia
internasional. Dikhawatirkan dengan terjadinya penolakan dan kekerasan terhadap
aktivitasnya, akan berakibat kepada efek publisitas secara internasional dan
media internasional akan memberitakan kisah ini sebagai sebuah tragedi,
melanggar HAM, dan penilaian akan demokrasi Indonesia yang masih
setengah-setengah.
Bagaimana sebaiknya pemerintah Indonesia
menyikapi hal itu, di kala diplomasi publik Indonesia saat ini sedang
gencar-gencarnya mempromosikan diri sebagai negara muslim (moderat) demokratis
terbesar di dunia.
Diplomasi Publik
Para praktisi Hubungan Internasional sepakat
mendefinisikan diplomasi publik sebagai suatu usaha untuk memperjuangkan kepentingan
nasional dengan cara menginformasikan masyarakat internasional (MI). Tujuannya
untuk memengaruhi MI melalui ruang budaya dan komunikasi, sehingga citra
tentang suatu negara yang salah dapat diluruskan.
Diplomasi publik ini merupakan diplomasi
level kedua yang melampaui diplomasi tradisional yang hanya mengandalkan
percakapan para elite diplomat.
Diplomasi publik bertujuan membantu diplomasi
tradisional untuk memengaruhi masyarakat luar negeri agar tercipta persepsi
yang positif kepada negara yang menjalankan diplomasi publik tersebut.
Diplomasi publik ini umumnya memiliki karakteristik transparansi dan dijalankan
oleh pemerintah ke masyarakat, dan mempunyai isu yang terkait dengan kebijakan
suatu negara.
Dimensi diplomasi publik ini penting dilakukan
karena: pertama, komunikasi harian yang diharapkan untuk menangkal
informasi-informasi yang dimungkinkan terdistorsi. Kedua, komunikasi strategis
yang diharapkan menciptakan citra tertentu dengan kebijakan tertentu.
Ketiga, mengembangkan dan mempertahankan
hubungan yang berkesinambungan dengan individu-individu penting dalam program
tertentu seperti kerja sama dalam sharing knowledge untuk saling memahami
melalui pertukaran dosen, intelektual maupun mengundang pembicara kuliah umum
di diskusi-diskusi ilmiah.
Diplomasi publik mempercayai bahwa kekuatan
politik-militer dan tekanan dengan kekerasan tidak menyelesaikan masalah.
Diplomasi publik mengarah pada arus informasi dalam-luar,
nasional-internasional-lokal-dunia sebagai soft power: nilai, budaya dan
ideologi (Nancy Snow, 2009:3). Pelaksanaan soft power ini tentunya dilaksanakan
dengan komunikasi yang jujur dan transparan (Hassan Wirayuda, 2008).
Jadi, fungsi diplomasi publik Indonesia yang
dibakukan secara formal pada 2002 untuk menjalankan misi berdasar atas suatu
sikap terbuka dan berintegritas tinggi dalam menunjukkan orisinalitas
keindonesiaan.
Dalam hal ini, diplomasi Publik Kementerian
Luar Negeri Indonesia mempunyai dua tujuan, pertama menampilkan wajah Indonesia
baru yang moderat, demokratis dan progresif dan kedua, membangun konstituen
diplomasi melalui kerja sama dan merangkul semua kalangan seperti ulama,
cendekiawan dan masyarakat umum.
Untuk itu, di saat Indonesia sedang membangun
diplomasi publik untuk mencitrakan diri sebagai negara yang moderat,
demokratis, dan progresif, sejatinya masyarakat dan ormas lebih terbuka dalam
memandang suatu pandangan berpikir yang berbeda. Kasus Irshad Manji seharusnya
direspons dengan arif, tanpa mesti membubarkan diskusi atas bukunya.
Jika terdapat ketidaksepahaman atas isi buku
Manji, seharusnya momen diskusi itu djadikan wadah yang demokratis untuk
menyuarakan ketidaksepakatan dan bukan dengan cara-cara kekerasan seperti yang
terjadi di Salihara dan UGM. Jika itu dapat dilakukan, tentu ini akan baik bagi
budaya demokrasi Indonesia dan citra Indonesia di mata dunia internasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar