Dinasti
Politik Cikeas
Ismatillah
A Nu’ad ; Peneliti Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
SUMBER
: REPUBLIKA,
22 Mei 2012
Petinggi
Partai Demokrat akhirnya secara terbuka menyebut siapa calon Partai Demokrat
yang akan diusung dalam pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 mendatang. Misalnya,
Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Melani Leimena Suharli, yang menegaskan
Ani Yudhoyono berpotensi besar sebagai Capres 2014.
Publik
tentu masih ingat, dalam Kuliah Kepresidenan SBY dalam acara Young Leader Forum (YLF), di Jakarta,
mengundang perdebatan terkait apakah SBY akan membuktikan bahwa dia tak akan
membangun dinasti politik. Memang istri dan anak-anaknya tak akan mencalonkan
diri, tapi pertanyaannya bagaimana jika dicalonkan?
Pertanyaan
lain, misalnya, meski SBY telah menegaskan diri tak akan mencalonkan lagi
sebagaimana amanat konstitusi, namun dia tak pernah menggaransi apakah
keluarganya juga akan mengikuti jejak yang sama. Misalnya, mencuatnya kembali
isu bahwa Ani Yudhoyono tampaknya akan terjun (atau di terjunkan) ke dunia
politik untuk mencalonkan diri sebagai Presiden menjadi tanda tanya besar.
Iklim demokrasi yang baru mulai terbangun pun, dengan korban mahasiswa dan
masyarakat sipil itu, akan kem bali set
back ke belakang.
Ruhut
Sitompul, misalnya, pernah memulai wacana capres bagi dinasti Cikeas untuk
pemilu 2014. Berbekal dari hasil survei, Ruhut menyebut Ani Yudhoyono memiliki
peluang yang strategis bila menjadi capres karena memiliki tingkat popularitas
yang tinggi. Bersamaan itu pula ia menyebut Puan Maharani, sebagai calon layak
mendampingi Ani sebagai cawapres.
Jika
formasi Ani-Puan jadi diusung Demokrat-PDIP maka jelas ini akan membunuh
demokrasi. Usaha-usaha seperti ini disebut akan menjerumuskan demokrasi ke
dalam jurang bernama dinasti politik. Sebuah suksesi kekuasaan berdasarkan
keluarga, ikatan darah atau garis keturunan, itu tentu tidak sehat bagi proses
pendewasaan dan pembelajaran demokrasi bagi masyarakat Indonesia. Sebaiknya
dinasti politik Cikeas memberikan kesempatan pada putra-putri terbaik bangsa
ini untuk memimpin Indonesia paska SBY nanti.
Dalam
historiografi politik modern, dinasti politik memang banyak terjadi di belahan
dunia. Sejarah mencatat bukan hanya negara berbasis kerajaan dan otoritarian
yang memiliki dinasti politik. Negara dengan sistem suksesi ke pemimpinan yang
demokratis juga mengenal dinasti politik. Di Amerika Serikat sendiri, misalnya,
dinasti politik Kennedy, Bush, dan Clinton mewarnai perjalanan demokrasi
Amerika. Di Filipina ada dinasti Marcos, Aquino, dan Arroyo, sementara di India
ada dinasti Gandhi dan Nehru, Pakistan ada dinasti Bhutto, dan sebagainya.
Dampak negatif dinasti politik yang paling sering kita dengar adalah nepotisme,
di mana hubungan keluarga membuat orang yang tidak kompeten dapat memiliki
kekuasaan.
Akibat
praktik nepotisme yang ber kembang dan menjadi hegemoni, muaranya terjadi
praktik korupsi dan bentuk konspirasi lainnya yang berujung pada penumpukan
kekuasaan. Demikian pula nepotisme dengan sendirinya menutup ruang kekuasaan
masyarakat yang mempunyai hak dipilih dan memilih dalam sistem demokrasi.
Bahkan, demokrasi waktu itu bisa dikatakan mati suri.
Walaupun
antara nepotisme dan politik dinasti terdapat kesamaan dalam menyandarkan
kekuasaan, keduanya mempunyai proses dan kemungkinan efek yang berbeda satu
sama lain. Dalam kategori nepotisme, kekuasaan biasanya diperoleh melalui
pengangkatan (ditunjuk) oleh penguasa dengan tujuan me nancapkan hegemoni
sehingga memper mudah negosiasi serta berbagai rencana politik lainnya.
Sedangkan dalam politik dinasti, proses untuk mencapai kekua saan tetap
mengikuti mekanisme demok rasi melalui sistem partai yang secara internal
mempunyai rule of the game sesuai partai bersangkutan.
Politik
dinasti mengandaikan kepemimpinan berada pada tangan segelintir orang yang
masih mempunyai hubungan kekerabatan. Dinasti politik ditandai dengan
tersebarnya jejaring kekuasaan melalui trah politik pendahulunya de ngan cara
penunjukan anak, istri, paman, dan semacamnya untuk menduduki pos-pos strategis
dalam partai (lembaga) politik. Biasanya ini adalah cara agar sanak famili
tersebut bisa dengan mudah meraih jabatan publik.
Dalam
lembaga politik seperti partai mereka yang masih mempunyai hubungan dekat acap
kali mendapatkan keisti mewaan untuk menempati pelbagai posisi penting dalam
puncak hirarki kelembagaan organisasi. Di sisi lain ada juga praktik dinasti
politik dengan melakukan pemecahan kongsi kekuatan politik dalam keluarga.
Tak
bisa dipungkiri praktik politik dinasti dalam banyak kasus membahayakan
demokrasi. Politik dinasti membuka ruang yang cukup menganga akan potensi
menancapnya pengaruh politik untuk kepentingan keluarga. Dinasti politik bisa
menjadi absolut manakala ruang kritik kemudian tertutup rapat sehingga mekanisme
keputusan dan re gu lasi yang dibuat cenderung ekslusif.
Dalam
praktik kenegaraan kondisi ini pada gilirannya membuat negara menjadi kaku dan
otoriter sebab arah pemerintahan hanya bertumpu pada kepentingan keluarga dan
kroni-kroninya. Di sisi lain politik dinasti semakin menjadi ancaman manakala
seseorang yang menerima mandat kekuasaan dari keluarganya ternyata tidak
mempunyai kompetensi yang memadai.
Di
masa depan untuk bisa menjadi pemimpin tentu dibutuhkan persyaratan lebih
berat, tidak bisa hanya dengan mengandalkan ketokohan dan dinasti politik.
Dalam sejarah republik, para pendiri bangsa yang egaliter membuang cara pandang
feodal yang membuat para elite dan keluarga kaya-penguasa memandang diri dan
keluarga mereka sebagai makhluk-makhluk istimewa yang berbeda derajatnya.
Intinya,
sejauh kita masih bermaksud meneruskan republik warisan pendiri bangsa, politik
dinasti belum dapat kita terima. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar