Rabu, 23 Mei 2012

Dinasti Politik Cikeas


Dinasti Politik Cikeas
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
SUMBER :  REPUBLIKA, 22 Mei 2012


Petinggi Partai Demokrat akhirnya secara terbuka menyebut siapa calon Partai Demokrat yang akan diusung dalam pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 mendatang. Misalnya, Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Melani Leimena Suharli, yang menegaskan Ani Yudhoyono berpotensi besar sebagai Capres 2014.

Publik tentu masih ingat, dalam Kuliah Kepresidenan SBY dalam acara Young Leader Forum (YLF), di Jakarta, mengundang perdebatan terkait apakah SBY akan membuktikan bahwa dia tak akan membangun dinasti politik. Memang istri dan anak-anaknya tak akan mencalonkan diri, tapi pertanyaannya bagaimana jika dicalonkan?

Pertanyaan lain, misalnya, meski SBY telah menegaskan diri tak akan mencalonkan lagi sebagaimana amanat konstitusi, namun dia tak pernah menggaransi apakah keluarganya juga akan mengikuti jejak yang sama. Misalnya, mencuatnya kembali isu bahwa Ani Yudhoyono tampaknya akan terjun (atau di terjunkan) ke dunia politik untuk mencalonkan diri sebagai Presiden menjadi tanda tanya besar. Iklim demokrasi yang baru mulai terbangun pun, dengan korban mahasiswa dan masyarakat sipil itu, akan kem bali set back ke belakang.

Ruhut Sitompul, misalnya, pernah memulai wacana capres bagi dinasti Cikeas untuk pemilu 2014. Berbekal dari hasil survei, Ruhut menyebut Ani Yudhoyono memiliki peluang yang strategis bila menjadi capres karena memiliki tingkat popularitas yang tinggi. Bersamaan itu pula ia menyebut Puan Maharani, sebagai calon layak mendampingi Ani sebagai cawapres.

Jika formasi Ani-Puan jadi diusung Demokrat-PDIP maka jelas ini akan membunuh demokrasi. Usaha-usaha seperti ini disebut akan menjerumuskan demokrasi ke dalam jurang bernama dinasti politik. Sebuah suksesi kekuasaan berdasarkan keluarga, ikatan darah atau garis keturunan, itu tentu tidak sehat bagi proses pendewasaan dan pembelajaran demokrasi bagi masyarakat Indonesia. Sebaiknya dinasti politik Cikeas memberikan kesempatan pada putra-putri terbaik bangsa ini untuk memimpin Indonesia paska SBY nanti.

Dalam historiografi politik modern, dinasti politik memang banyak terjadi di belahan dunia. Sejarah mencatat bukan hanya negara berbasis kerajaan dan otoritarian yang memiliki dinasti politik. Negara dengan sistem suksesi ke pemimpinan yang demokratis juga mengenal dinasti politik. Di Amerika Serikat sendiri, misalnya, dinasti politik Kennedy, Bush, dan Clinton mewarnai perjalanan demokrasi Amerika. Di Filipina ada dinasti Marcos, Aquino, dan Arroyo, sementara di India ada dinasti Gandhi dan Nehru, Pakistan ada dinasti Bhutto, dan sebagainya. Dampak negatif dinasti politik yang paling sering kita dengar adalah nepotisme, di mana hubungan keluarga membuat orang yang tidak kompeten dapat memiliki kekuasaan.

Akibat praktik nepotisme yang ber kembang dan menjadi hegemoni, muaranya terjadi praktik korupsi dan bentuk konspirasi lainnya yang berujung pada penumpukan kekuasaan. Demikian pula nepotisme dengan sendirinya menutup ruang kekuasaan masyarakat yang mempunyai hak dipilih dan memilih dalam sistem demokrasi. Bahkan, demokrasi waktu itu bisa dikatakan mati suri.

Walaupun antara nepotisme dan politik dinasti terdapat kesamaan dalam menyandarkan kekuasaan, keduanya mempunyai proses dan kemungkinan efek yang berbeda satu sama lain. Dalam kategori nepotisme, kekuasaan biasanya diperoleh melalui pengangkatan (ditunjuk) oleh penguasa dengan tujuan me nancapkan hegemoni sehingga memper mudah negosiasi serta berbagai rencana politik lainnya. Sedangkan dalam politik dinasti, proses untuk mencapai kekua saan tetap mengikuti mekanisme demok rasi melalui sistem partai yang secara internal mempunyai rule of the game sesuai partai bersangkutan.

Politik dinasti mengandaikan kepemimpinan berada pada tangan segelintir orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan. Dinasti politik ditandai dengan tersebarnya jejaring kekuasaan melalui trah politik pendahulunya de ngan cara penunjukan anak, istri, paman, dan semacamnya untuk menduduki pos-pos strategis dalam partai (lembaga) politik. Biasanya ini adalah cara agar sanak famili tersebut bisa dengan mudah meraih jabatan publik.

Dalam lembaga politik seperti partai mereka yang masih mempunyai hubungan dekat acap kali mendapatkan keisti mewaan untuk menempati pelbagai posisi penting dalam puncak hirarki kelembagaan organisasi. Di sisi lain ada juga praktik dinasti politik dengan melakukan pemecahan kongsi kekuatan politik dalam keluarga.

Tak bisa dipungkiri praktik politik dinasti dalam banyak kasus membahayakan demokrasi. Politik dinasti membuka ruang yang cukup menganga akan potensi menancapnya pengaruh politik untuk kepentingan keluarga. Dinasti politik bisa menjadi absolut manakala ruang kritik kemudian tertutup rapat sehingga mekanisme keputusan dan re gu lasi yang dibuat cenderung ekslusif.

Dalam praktik kenegaraan kondisi ini pada gilirannya membuat negara menjadi kaku dan otoriter sebab arah pemerintahan hanya bertumpu pada kepentingan keluarga dan kroni-kroninya. Di sisi lain politik dinasti semakin menjadi ancaman manakala seseorang yang menerima mandat kekuasaan dari keluarganya ternyata tidak mempunyai kompetensi yang memadai.

Di masa depan untuk bisa menjadi pemimpin tentu dibutuhkan persyaratan lebih berat, tidak bisa hanya dengan mengandalkan ketokohan dan dinasti politik. Dalam sejarah republik, para pendiri bangsa yang egaliter membuang cara pandang feodal yang membuat para elite dan keluarga kaya-penguasa memandang diri dan keluarga mereka sebagai makhluk-makhluk istimewa yang berbeda derajatnya.

Intinya, sejauh kita masih bermaksud meneruskan republik warisan pendiri bangsa, politik dinasti belum dapat kita terima.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar