Selasa, 22 Mei 2012

Kebangkitan Industri Gula


Kebangkitan Industri Gula
Adig Suwandi ; Alumnus Universitas Brawijaya,
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI)
SUMBER :  JAWA POS, 22 Mei 2012



MESKI intensitas pemberitaan media massa tidak seintensif jatuhnya pesawat Super Jet 100 Sukhoi di Gunung Salak dan dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah politisi beken, mulainya musim giling pabrik gula (PG) menjadi momen yang tidak kalah menarik. Pola pengelolaan yang makin baik serta diikuti meningkatnya kinerja teknis dan kesejahteraan multi-stakeholders secara terukur merupakan ekspektasi banyak kalangan. Keterlibatan petani tebu dalam industri gula merefleksikan kuatnya tarik-menarik ihwal pengelolaan yang harus setransparan mungkin dalam bingkai kemitraan (partnership) berdasar kesetaraan peran melalui kerja sama saling menguatkan, memercayai, dan menguntungkan.

Salah satu bentuk komitmen dalam kerja sama yang sudah berjalan dalam satu dekade terakhir adalah penjaminan harga oleh pabrik selaku pengolah tebu atau investor swasta. Harga patokan (floor price) ditetapkan pemerintah, dihitung berdasar survei biaya pokok produksi di sejumlah PG sampling dan indikator lain, termasuk harga dunia dan kepentingan konsumen dalam jumlah lebih banyak. Terakhir, harga patokan untuk musim giling 2012 ditetapkan Rp 8.100 per kg.

Dalam penjaminan itu berlaku ketentuan, bila harga riil yang terbentuk melalui mekanisme pasar lebih rendah daripada patokan, risiko ditanggung investor. Sebaliknya, kalau harga riil di atasnya, berlaku pembagian manfaat ekonomi (profit sharing) antara investor dan petani dengan formula yang telah disepakati sebelumnya.

Perbedaan dalam penerapan profit sharing antarkorporasi gula berpotensi menyulut konflik. Klimaksnya, pada musim giling 2011, begitu ada perusahaan yang memberlakukan profit sharing 60 persen tambahan pendapatan untuk petani, lantas mengalami kekurangan pasokan bahan baku, itu serta merta diinterpretasikan bahwa akar masalahnya bersumber kepada banyaknya petani yang membawa tebu ke tempat lain yang menerapkan persentase sharing lebih tinggi.

Meski validitasnya belum teruji -dan kalau pun terbukti juga bukan satu-satunya faktor tunggal- kebijakan demikian tentu perlu dikaji ulang. Meski tidak ada satu pihak pun yang dapat memprediksi pergerakan harga gula secara akurat akan berada di atas atau di bawah patokan pemerintah.

Tidak mengherankan kalau dalam musim giling 2012 ini muncul fenomena baru tanpa profit sharing. Artinya, berapa pun harga gula terbentuk, selisih harga setelah dikurangi biaya administrasi akan menjadi hak petani sepenuhnya. Belakangan muncul tawaran investor kepada petani yang memberikan hak sama, namun tanpa biaya administrasi. Sebagai kompensasinya, mereka minta hak eksklusif pembelian 30-50 persen atas total gula dilepas setiap periode.

Terlepas dari pola mana yang akan ditempuh masing-masing perusahaan dan petaninya, industri gula memang harus ditata ulang. Penataan itu bukan hanya bagaimana pemasaran produk dilakukan secara efektif sehingga memotivasi petani untuk terus meningkatkan keunggulan kompetitif usaha taninya, tetapi juga dalam jangka panjang menguatkan peran industri gula dalam transformasi struktural yang menyejahterakan semua pihak. Keunggulan kompetitif di sini dapat disiasati dari harga pokok produksi (unit cost) yang makin bersaing terhadap produsen paling efisien di mana pun, apakah PG swasta Lampung maupun Brazil.

Memang itu tidak mudah mengingat tidak adanya kebijakan tata ruang kawasan budi daya yang memungkinkan tebu terkonsentrasi di satu hamparan berdasar kesamaan agroekosistem sehingga semua pekerjaan dapat dilakukan dalam rentang waktu dan perlakuan homogen. Penjaminan rendemen (kadar gula) pun dilakukan dengan harapan diperolehnya mutu bahan baku yang lebih baik. Petani memang mengeluh, dengan makin mahalnya biaya usaha tani, khususnya yang berasal dari komponen sewa lahan, bibit, dan agro-inputs, tanpa rendemen tinggi, usaha tani tebu tidak akan mampu berkompetisi terhadap komoditas agrobisnis lain. Apa lagi rentang tunggu tanam-panen hanya empat bulan. Bandingkan dengan tebu yang perlu waktu 12 bulan.

Terkait dengan penjaminan rendemen tersebut, sangat wajar kalau PG mematok persyaratan ketat. Antara lain, cukup umur atau masak saat dipanen, bersih dari berbagai macam kotoran, dan kesegarannya terjaga. Secara simultan, pada saat bersamaan, efisiensi pabrik ditingkatkan melalui penggantian mesin dan peralatan berkinerja teknis rendah, yang diikuti sinkronisasi agar semua beroperasi lebih baik.

Peningkatan efisiensi energi juga mendapat perhatian serius mengingat keberadaannya sebagai variabel penting atas tinggi-rendahnya unit cost. Sebagai manufaktur penghasil energi yang diperoleh dari ampas, PG berpotensi berswasembada, bahkan beberapa industri gula dunia sudah maju menjual kelebihan energi untuk listrik atau kepentingan ekonomi bernilai tambah tinggi. Masalah yang dihadapi sekarang, tidak banyak varietas tebu yang mampu menghasilkan ampas berlebih sehingga banyak PG terpaksa membeli energi, baik berbasis fosil maupun nabati.

Kebangkitan kembali industri gula menjadi dambaan dan ditunggu banyak pihak. Selain kebijakan nasional kondusif dan memberdayakan pelaku usaha yang menjadi domain negara, tentu secara internal industri gula harus melakukan pembenahan total, baik di level kebun maupun pabrik, bahkan perombakan struktur organisasi dan manajemen agar lebih adaptif terhadap perubahan.

Namun harus diingat, mengharapkan uluran tangan negara secara berlebihan justru hanya memperpanjang daftar kekecewaan. Terlalu banyak persoalan yang harus diselesaikan negara dengan kapabilitas terbatas di tengah kuatnya tarik ulur kepentingan. Karena itu, ikuti saja anjuran Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan, industri gula harus bangkit dengan kekuatan sendiri dan tidak mengandalkan pihak mana pun, termasuk negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar