Selasa, 22 Mei 2012

Ontologi Kebangkitan Nasional


Ontologi Kebangkitan Nasional
Launa ; Dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 21 Mei 2012


104 tahun sudah usia Hari Kebangkitan Nasional (HKN) terekam dalam memori sejarah perjuangan bangsa. Secara ontologis, kebangkitan nasional adalah realitas historis, fakta konkret tentang tampilnya gagasan progresif anak bangsa yang secara kritis ingin berupaya menyatukan diri dalam sebuah bangsa merdeka.

Ontologi kebangkitan nasional terkait dengan hakikat sejarah kebangunan bangsa, sebagai realitas utama (ultimate reality) yang menjadi episode penting yang memberi fondasi awal bagi pembentukan Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state).

Sebagai dokumen historis, kebangkitan nasional terkait dengan catatan tentang kebangkitan nasionalisme, semangat untuk bersatu dan menjadi satu, serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan, yang berikutnya mewujud dalam dua peristiwa penting: Sumpah Pemuda (1928) dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945).

Namun, sebagai bangsa, sudahkah kita menjadi bangsa yang mencintai sejarahnya? Mendiang Bung Karno pernah berkata, “Tak akan pernah besar sebuah bangsa, jika ia tak memahami sejarahnya.” Untuk urusan sejarah, mendiang Adam Malik pernah berkata, “Sejarah adalah politik masa lalu, dan politik adalah sejarah masa kini.”

Sejarah kebangkitan nasional adalah “pertemuan pesan” yang telah terekam dalam memori kolektif perjalanan panjang Indonesia sebagai bangsa. Sejarah kebangkitan nasional adalah pesan kemanusiaan (humanity) dan keadaban (civility), yang bisa bermakna politik, sosial, kultural, bahkan spiritual.

Urgensi dan signifkansi kebangkitan nasional juga terkait dengan sebuah pesan moral, di mana sejarah yang melatarinya adalah ruang dialog yang menarasikan berbagai pesan dan makna yang bisa menjelaskan identitas dan wajah keindonesiaan kita saat ini.

Kebangkitan nasional adalah rekaman memori kolektif yang memuat percikan gagasan, orientasi, sikap, dan tindakan heroisme pendiri bangsa dan pejuang kemanusiaan yang memuliakan eksistensi kesatuan bangsa sebagai rumah besar yang harus disiapkan bagi penghuni Indonesia merdeka.

Dalam konteks Islam, ayat pertama yang diturunkan Allah SWT dalam Alquran adalah perintah membaca (iqra). Perintah membaca (iqra) menunjukkan, sebagai khalifah di muka bumi, manusia diwajibkan untuk membaca (sejarah) sebagai jalan untuk menuju kemuliaan hidup, untuk meretas kehidupaan yang luhur dan beradab.

Sebagai rekam jejak perjuangan, pertarungan hidup, dan pengulatan pemikiran, sejarah adalah simbol penting peradaban. Peradaban, kata El-Fadl (2001), tidak dibangun di atas kenyamanan, kelambanan, dan kebodohan. Peradaban selamanya dibangun di atas penderitaan para syuhada dan pejuang kemerdekaan.

Ali Syari’ati (1992) menyebut para syuhada kemanusiaan dan pejuang kemerdekaan adalah kaum yang berpikir (rausyanfikr), yang mencerahkan dan membebaskan manusia dari belenggu kejumudan dan keterjajahan.

Sejarah adalah belantara pengetahuan tak berujung, lautan ilmu tak bertepi, dan mayapada informasi tak berkesudahan. Siapa saja yang bisa masuk menjelajah ke dalam sejarah, ia akan menemukan untaian mutiara terpendam tak ternilai, yang sebelumnya mungkin terkubur rapat dalam lumpur ketidaktahuan.

Melalui pemaknaan sejarah, cara berpikir, orientasi, sikap, dan kepribadian sebuah bangsa terbentuk. Melalui penghayatan sejarah pula, peradaban suatu bangsa akan terbentang mulia. Bisa dipastikan masyarakat suatu bangsa yang mencintai sejarahnya, akan tampil sebagai bangsa dengan tingkat peradaban yang tinggi.

Sebaliknya, masyarakat bangsa yang tidak menaruh perhatian pada sejarah, menganggap sejarah sebagai hal yang remeh-temeh, tak peduli pada pusaka pemikiran dan nilai-nilai penting perjuangan bangsanya, bisa dipastikan bangsa tersebut akan menjadi bangsa ahostoris, yang terkebelakang, miskin peradaban, dan mengalami defisit identitas.

Menurunnya minat mengkaji sejarah bangsa tak bisa dilepaskan dari ideologi kompetisi dan orientasi pragmatis dunia pendidikan kita. Faktor lain adalah tak seriusnya negara mengurus kurikulum sejarah bangsa. Defisit kesadaran publik akan urgensi dan arti penting memahami sejarah bangsa sebagai lokomotif peradaban dan indikator peningkatan kualitas bangsa akan berdampak pada penguatan kultur ahistoris bangsa.

Serbuan media elektronik (televisi, internet, handphone) yang umumnya didominasi oleh hiburan, iklan komersial, dan informasi hedonistis lainnya kian menjauhkan anak bangsa dan publik nasional dari budaya membaca, khususnya membaca sejarah bangsa. Realitas hegemoni dunia maya telah membangun kultur “ahistoris” di dunia pendidikan kita.

Filsuf Democritus (400-370 SM) menyebut hedonisme sebagai cara pandang tentang kesenangan dan kenikmatan sebagai tujuan utama hidup. Dalam kultur hedonisme, tradisi membaca terempas “budaya pop”. Masifikasi kultur menonton dan komodifikasi hiburan mengakibatkan sejarah bangsa dalam jagad kurikulum pendidikan nasional menjadi begitu marginal: “hidup segan, mati tak mau”.

Sejarah adalah catatan pergumulan kemanusiaan; rekaman berbagai peristiwa kemanusiaan yang memberi dasar bagi peningkatan kualitas keberadaban hidup kita sebagai bangsa. Barisan memori yang ada di dalam setiap lembar catatan sejarah di dalamnya memiliki aspek dokumenter yang dapat menembus ruang dan waktu, membentuk citra tentang Indonesia sebagai entitas hidup yang penuh pengharapan.

Sejarah adalah mata air kehidupan dan sumber inspirasi peradaban. Sejarah adalah kekuatan yang melandasi watak, karakter, dan perilaku bangsa. Memahami sejarah bangsa akan memberi peluang pada kita untuk menghayati, menginspirasi, dan memberi kontribusi nyata bagi Republik yang kita cintai ini.

Dalam masyarakat yang mencintai sejarah akan tumbuh pribadi yang cerdas, kritis, dan memiliki karakter kuat. Dengan mengapresiasi sejarah bangsa, kita sesungguhnya tengah didekatkan nilai-nilai kearifan, kebajikan sekaligus kecendekiaan.

Benar kata Joseph Brodsky, pengarang asal Rusia, “Ada beberapa kejahatan yang lebih buruk daripada membakar buku (sejarah), salah satunya adalah tidak pernah membacanya.” Masyarakat cinta sejarah bangsa (the history of the nation's ideals) adalah sosok Indonesia masa depan yang mesti kita bangun. Mencintai sejarah bangsa harus menjadi bagian dari kepribadian hidup bangsa ini ke depan.

Bung Karno pernah berkata, historia vitae magistra, mari mencintai sejarah. Better late than never; lebih baik terlambat daripada tidak (membaca sejarah) sama sekali!  Selamat merayakan kebangkitan nasional. Jayalah sejarah bangsaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar