Kamis, 24 Mei 2012

Justice Collaborator, Mungkinkah?

Justice Collaborator, Mungkinkah?
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Internasional,
Anggota Dewan Pakar Partai NasDem
SUMBER :  SINDO, 24 Mei 2012


Sebutan istilah “justice collaborator” relatif baru daripada istilah “whistle blower” dalam referensi hukum pidana internasional dan telah digunakan di beberapa negara.
Ada perbedaan besar antara sebutan keduanya, yaitu whistle blower adalah setiap orang lazimnya korban yang kemudian bersaksi memberikan keterangan kepada penyidik mengenai seluk beluk tindak pidana yang ia ketahui dan dengar sendiri bahkan ia alami sendiri. Dengan itu dia mendapatkan jaminan perlindungan atas keamanan (fisik) di bawah supervisi kepolisian. Caranya dengan mengubah identitas, menempatkan di suatu lokasi tertentu dan berada di bawah pengawasan superketat dari pihak intelijen kepolisian.

Tujuan dari keberadaan whistle blower adalah memudahkan tugas penyidikan sehingga suatu perkara dapat diungkap tuntas sampai kepada intelectual-dader dan pimpinan organisasi kejahatan. Sementara justice collaborator adalah setiap tersangka yang terlibat organisasi kejahatan dan telah melakukan suatu tindak pidana baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan aparatur hukum untuk bekerja sama dengan penegak hukum menemukan alat-alat bukti dan barang bukti sehingga penyidikan dan penuntutan dapat berjalan efektif.

Perlindungan hukum terhadap whistle blower berbeda dengan justice collaborator. Perlindungan hukum terhadap whistle blower sebatas perlindungan fisik sedangkan perlindungan terhadap justice collaborator tidak sebatas fisik melainkan juga “keringanan-keringanan” yang bisa ditawarkan.

Keringanan itu baik dalam menentukan besarnya tuntutan penuntut atau hukuman yang akan dijatuhkan oleh hakim di persidangan atau bahkan kemungkinan untuk dibebaskan dari penuntutan. Keringanan-keringanan bagi justice collaborator telah diatur dalam Konvensi PBB Antikkorupsi 2003 dan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Terorganisasi 2000 yang telah diratifikasi Indonesia.

Dalam RUU Tipikor 2011, justice collaborator telah diatur dalam Pasal 52 ayat (1): ”Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, jikaiadapatmembantumengungkap tindak pidana korupsi tersebut. Pasal 52 ayat (2):” Jika tidak ada tersangka atau terdakwa yang pernannya ringan dalam tindak pidana korupsi ....maka yang membantu mengungkap tindak pidana korupsi dapat dikurangi pidananya.”

Namun dalam Hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) belum mengatur ketentuan mengenai baik whistle blowermaupun justice collaborator kecuali UU RI Nomor13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi/Korban. UU ini pun tidak memberikan “hak istimewa” kepada seorang justice collaborator, kecuali “peniup peluit”.

Persamaan whistle blower dan justice collaborator adalah keduanya bertujuan untuk memudahkan pembuktian dan penuntutan serta dapat mengungkap tuntas suatu tindak pidana terutama yang berkaitan dengan organisasi kejahatan. Dalam konteks ini, kasus korupsi di Indonesia yang tidak pernah dilakukan sendirian melainkan bersifat kolektif, keberadaan ketentuan whistle blower dan justice collaborator merupakan celah hukum yang diharapkan memperkuat pengumpulan alat bukti dan barang bukti di persidangan.

Namun demikian celah hukum bagi baik whistle blower dan justice collaborator bukan tanpa risiko baik dari sisi kepentingan perlindungan yang bersangkutan maupun dari sisi kepentingan peradilan yang fair and impartial sejak proses penyidikan sampai pada proses pemasyarakatan. Kedua risiko tersebut tergantung dari kesiapan dan kejelian penyidik untuk mencegah upaya yang bersangkutan “mengail di air keruh”atau bahkan pihak penguasa yang memanfaatkan hal tersebut.

Dalam konteks ini kebijakan Menkumham memberikan bebas bersyarat (VI) lebih awal (Mei 2012) dari seharusnya waktu pembebasan bersyarat bagi MRM bulan November 2012 tidak terlepas dari dua kemungkinan risiko tersebut di atas. Penetapan justice collaborator harus dikaji secara mendalam karena tiga alasan. Pertama, kasus korupsi telah dipahami masyarakat luas sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).

Kedua, paham bahwa tujuan hukum pidana adalah penghukuman semata-mata masih melekat kuat baik pada masyarakat maupun pada aparatur hukum sekalipun tidak benar menurut doktrin maupun hukum acara pidana (KUHAP). Ketiga, keterlibatan tokoh partai politik dalam kasus korupsi telah dipahami masyarakatsebagaibentukpengkhianatan dari janji kampanye Tahun 2009 yang lampau.

Atas dasar hal tersebut maka penetapan seseorang tersangka menjadi justice collaborator seharusnya diatur dalam UU bukan dengan peraturan di bawah UU. Karena penetapan justice collaborator dan hak istimewanya merupakan terobosan hukum terhadap UU Pemasyarakatan dan juga rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan politik. Kebijakan Menkumham mempercepat pemberian bebas bersyarat daripada batas waktu seharusnya terhadap MRM mencerminkan inkonsistensi dan diskriminasi perlakuan terhadap terpidana korupsi lainnya.

Misalnya terhadap Paskah Suzetta dkk yang telah ditunda secara lisan pembebasan bersyarat dengan alasan perketatan terhadap terpidana korupsi sekalipun telah memenuhi syarat materiil maupun formil sesuai dengan PP Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pengaturan Hak Warga Binaan. Sekalipun pemberian “hak istimewa” terhadap MRM yang dianggap justice collaborator adalah wewenang Menkumham, tetapi KPK seharusnya menyampaikan sikap resmi mengenai kebenaran pertimbangan Menkumham mengenai hal tersebut kepada publik.

Harapannya agar tidak muncul simpang siur penafsiran terhadap kebijakan Menkumham tersebut. Apalagi PP Nomor 28 Tahun 2006 tidak mengatur “percepatan pemberian remisi dan bebas bersyarat” terhadap justice collaborator sekalipun terpidana korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar