Tantangan
Presiden Terpilih Mesir
Ibnu
Burdah ; Pemerhati
Masalah Timur Tengah dan Dunia Islam,
Dosen
Fakultas Adab dan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUMBER
: SUARA
MERDEKA, 24 Mei 2012
SIAPA pun presiden terpilih Mesir lewat
pilpres 23-24 Mei 2012 (16-17 Juni jika dua putaran) harus menghadapi tantangan
berat dan permasalahan kompleks mengingat rakyat ingin hasil nyata dan segera
dari proses perubahan itu. Mereka ingin pengorbanan mereka menjatuhkan Mubarak
segera mewujud dalam bentuk peningkatan kesejahteraan, keamanan, keadilan, dan
kebebasan yang bisa dirasakan bersama.
Poin yang saya sebut terakhir sudah mereka
dapatkan sebagian, yaitu lepas dari cengkeraman intelejen dan kepolisian yang
selama tiga dasa warsa rezim Mubarak bisa merampas kebebasan rakyat tiap saat
tanpa alasan jelas. Namun praktik euforia kekebasan yang berlebihan saat ini
ternyata menggiring negeri itu pada ketidakstabilan di segala bidang, termasuk
keamanan.
Kini siapa pun dan kelompok mana pun dapat
menjadi aktor berpengaruh terhadap proses berbangsa dan bernegara. Persoalan
dengan karakter demikian akan mewarnai banyak kebijakan pemerintahan berkuasa
ke depan.
Padahal di sisi lain, pemerintah harus segera
menunjukkan sebagian hasil nyata yang dapat dirasakan rakyat. Lebih sulit lagi
adalah menghadapi kelompok-kelompok pemuda Maydan al-Tahrir yang amat berjasa
dalam perjuangan menjatuhkan Mubarak.
Tantangan yang tidak kalah penting adalah
menarik kekuasaan dari militer ke sipil. Dewan Tertinggi Militer sudah berjanji
menyerahkan kekuasaan kepada sipil setelah presiden definitif hasil pemilu
terpilih selambat-lambatnya akhir Juni. Realitasnya sudah berapa kali Dewan
Tertinggi yang dipimpin Hussein Tantawi itu menyatakan janji serupa namun tidak
segera ditepati.
Peralihan
Kekuasaan
Tantangan lain yang harus dihadapi adalah
dari luar. Proses peralihan kekuasaan yang memakan waktu panjang seperti saat
ini jelas menjadi titik rawan bagi keamanan dan pertahanan negara. Kelompok-kelompok
yang saling bermusuhan dan belum matang seperti sekarang rawan menjadi pintu
masuk bagi penyusupan agenda asing di negeri itu.
Apalagi Mesir pascaevolusi menjadi target AS
dan Israel pascaketidakjelasan sikap negara itu terhadap keduanya. Gelar
pasukan internasional (pro-AS) di Darfur dan dua Sudan sering dikaitkan dengan
sasaran karambolnya yaitu Mesir. Mesir ke depan sangat mungkin akan menjelma
menjadi negara besar, maju, dan demokratis, namun anti-Amerika Serikat dan
Israel.
Ketidakstabilan di dalam negeri juga membuat
peran tradisional Mesir di kawasan dan dunia internasional melemah. Mesir saat
ini jelas bukan lagi pemimpin Arab yang begitu disegani, atau mercusuarnya
Timur Tengah. Mereka tidak memainkan peran signifikan dalam penyelesaian
persoalan-persoalan paling krusial saat ini seperti di Suriah, Yaman, bahkan di
Sudan yang merupakan tetangga dekatnya. Jelas itu bukan postur Mesir yang kita
kenal selama ini. Mereka sekarang kalah pamor dari Turki, Iran, Arab Saudi,
bahkan negara kecil, Qatar.
Karena itu, PR besar lain bagi presiden
terpilih Mesir adalah mengembalikan postur dan peran negeri itu di kawasan dan
forum internasional. Perjuangan itu tidak mudah sebab harus memilih haluan
politik luar negerinya yang sama-sama dilematis: apakah tetap sebagaimana
Mubarak dan mereka akan dekat dengan AS, negara-negara Barat lain dan Israel,
namun harus berhadapan dengan sebagian besar kekuatan politik di dalam negeri
dan rakyatnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar