Kamis, 24 Mei 2012

Jalan Kebangkitan Bangsa


Jalan Kebangkitan Bangsa
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
SUMBER :  KOMPAS, 24 Mei 2012


Satu dari tiga program politik balas budi (Politik Etis) penguasa kolonial adalah perluasan kesempatan belajar bagi pribumi di Hindia Belanda.

Dari situ muncul elite intelektual pribumi dengan kesadaran baru bahwa masa depan rakyat terjajah berada di tangan mereka. Pendidikan telah membuat mereka berkenalan dengan gagasan sosialis yang memberi energi intelektual melepaskan diri dari cengkeraman kuku imperialisme kapitalisme. Kecerdasan kritis itu mewujud dalam Kebangkitan Nasional, tonggak pertama sejarah Indonesia modern.

Lalu muncul sekolah swasta independen yang menggabungkan kurikulum Barat dan unsur-unsur kebudayaan lokal: Muhammadiyah (1912) dan Taman Siswa (1922). Kesadaran berbangsa modern yang mengatasi keterkotakan primordial mewujud dalam Sumpah Pemuda, tonggak sejarah berikutnya. Puncaknya: Proklamasi Kemerdekaan.

Roh Kebangkitan Hilang

Namun, memori kolektif kita tentang kemerdekaan bukanlah diplomasi perjuangan para aktor intelektual kemerdekaan. Citra kemerdekaan kita bambu runcing, slogan ”merdeka atau mati”, heroisme perjuangan yang mengandalkan otot. Republik bak kehilangan intelektualitasnya. Selanjutnya pendidikan tak mendapat tempat di era politik sebagai panglima. Demikian pula di era ekonomi sebagai panglima.

Daripada sebagai ujung tombak pencerdas bangsa, barisan guru dijadikan bagian mesin politik yang melanggengkan status quo. Kaum birokrat terdidik (teknokrat) tak mampu menyelamatkan Indonesia dari perangkap korupsi. Akhirnya, Indonesia sempat bangkrut.

Lalu malam hari 20 Mei 1998 Soeharto memutuskan lengser. Yang bangkit adalah demokrasi politik multipartai dan primordialisme agama. Sempat muncul takut korupsi di awal reformasi, tetapi momentum itu lewat tanpa reformasi birokrasi. Sampai kini birokrasi tetap gemuk: beban pembangunan dan sumber korupsi.

Beberapa bulan sesudah Soeharto turun, Ali Sadikin mengomentari politisasi agama sebagai ”awal kehancuran agama karena dimanfaatkan untuk tujuan politik” (Time, 30/11/1998). Agama dianut, dibela, dan jadi pangkal perselisihan, tetapi tanpa kekuatan membentuk kesalehan sosial, mencegah kemunafikan, menurunkan indeks korupsi bangsa, serta melawan pesona materialisme dan hedonisme.

Jalan kebangkitan bangsa-bangsa di Asia pada paruh kedua abad ke-20 tak terpisah dari pendidikan dan kebudayaan. Awalnya mereka menoleh ke Barat, tidak untuk mengemis alih teknologi, tetapi untuk menguasainya. Investasi asing berarti transfer teknologi. Kaum muda mereka dikirim belajar ke negara maju dan, setelah kembali, disediakan fasilitas menerapkan dan mengembangkan ilmunya.

Jepang, Korea Selatan, India, dan China mengalami percepatan penguasaan teknologi. Mereka kuasai idiom puncak peradaban Barat, memperbaiki mutu bangsa dengan jalan pendidikan. Kebarat-baratan ditangkal dengan warisan kultural bangsa. Di era globalisasi mereka bangkit dengan identitas kultural mereka.

Pemerintah China sadar bahwa keunikan musik tradisional akan begitu-begitu saja, bahkan cenderung tergusur. Sambil memopulerkan pendidikan musik klasik Barat dan memajukan orkes simfoni, komposisi dan instrumen musik tradisional China dihadirkan dalam notasi musik yang siap dikonsumsi masyarakat Barat. Alhasil, alat musik gesek bersenar dua (erhu) mampu memainkan karya sulit Flight of the Bumblebee (Rimsky-Korsakov).

Kita yang jauh lebih lama bersentuhan dengan peradaban Barat belum berhasil mempromosikan seruling ke tingkat dunia. Pemerintah kita tak memiliki visi internasionalisasi musik dan instrumen tradisional. Sebaliknya, kita mudah terombang-ambing hegemoni kultur asing, dari yang pop sampai radikal. Pendidikan kita berlangsung tanpa akar budaya bangsa.

Tujuan pendidikan nasional tak fokus dengan memasukkan peningkatan keimanan dan ketakwaan. Padahal, pelajaran agama hanya dua jam per minggu. Namun, sekolah negeri jadi lebih berciri keagamaan daripada kebangsaan. Fungsi agama dan tanggung jawab keluarga diambil alih pendidikan umum. Fokus pendidikan bergeser dari mencerdaskan bangsa.

Reifikasi Pendidikan

Karena orientasi target kelulusan, UN menimbulkan gelombang ketakjujuran secara sistematis. Bukan lagi siswa yang tak jujur, melainkan sekolah memfasilitasi ketakjujuran. Polisi dilibatkan selama UN. Guru mata ajar yang terkait UN naik pamor. Spanduk promosi bimbingan belajar terbentang di pintu gerbang sekolah negeri. Pembimbing belajar dari luar lebih kompeten daripada guru besertifikasi kompetensi.

Tiap tahun UN menjadi hantu menakutkan bagi siswa dan harus dihalau dengan doa bersama. Selama bersekolah siswa tergoda fokus pada pelajaran terkait UN. Pendidikan sastra yang memperhalus budi jadi tak penting, juga pendidikan pembentuk tanggung jawab sebagai warga negara.

Pendidikan berkualitas disederhanakan dengan memopulerkan bahasa Inggris. Petinggi kita menutup mata terhadap fakta gamblang bahwa banyak dari generasi pra-RSBI mampu menempuh pendidikan tinggi di luar negeri, bahkan ada yang berprestasi gemilang. Pemerintah lupa bahwa tujuan akhir pendidikan: memanusiakan manusia muda, mengasah kecerdasan dan budi siswa.

Andai saja dana APBN untuk proyek jalan pintas pendidikan dialokasikan meningkatkan kemampuan guru ajar bahasa Inggris, meningkatkan kesejahteraan guru honorer, memperbaiki infrastruktur sekolah, dan memperkuat SMK yang potensinya ternyata membesarkan hati, niscaya lebih banyak anak negeri menerima layanan pendidikan bermutu. Lebih sedikit siswa terlibat tawuran dan narkoba.

Pemerintah seharusnya membebaskan pendidikan kita dari jebakan paradigma transfer pengetahuan. Jauh sebelum kemerdekaan, Sjahrir melihat mentalitas bumiputra yang memperlakukan ilmu pengetahuan sebagai barang mati, bukan sesuatu yang hidup, berkembang, dan harus dipupuk (Renungan dan Perjuangan, 5-6). Belajar belum dilihat sebagai cara membentuk watak disiplin dan pengendalian diri.

Persoalan kita tak selesai dengan wajib belajar, tetapi juga ba- gaimana siswa tak merasa terpenjara dalam proses belajar yang menjemukan, yang sedikit-sedikit harus sesuai dengan buku pegangan. Pendidikan kita harus membangkitkan rasa ingin tahu, sikap kritis, semangat menyelidiki, dan inovasi.

Sesudah lebih seabad Kebangkitan Nasional dan hampir 70 tahun merdeka, Indonesia belum juga berdaulat atas sumber energi, pangan, dan keuangannya. Penguasa dan politisi kita kurang amanah memelihara kekayaan sumber alam negeri, yang dieksploitasi untuk menyejahterakan bangsa asing. Pertumbuhan ekonomi kita yang cukup tinggi masih bertumpu pada sumber daya alam dan miskin inovasi.

Secara individual siswa kita menoreh prestasi di kancah internasional. Namun, kebangkitan bangsa bukan hasil kerja individual ataupun swasta. Itu hasil kerja pemerintah yang visioner dan pemimpin bangsa yang serius memberdayakan rakyat. Yang disebut terakhir ini belum hadir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar