Integritas
Pemilu
Ramlan
Surbakti ; Guru Besar
Perbandingan Politik
FISIP Universitas Airlangga
SUMBER
: KOMPAS,
21 Mei 2012
Integritas pemilu mencakup banyak aspek,
tetapi yang hendak disorot secara khusus adalah integritas pemungutan dan penghitungan
suara pada tingkat TPS dan desa/kelurahan. Sebab, di sanalah sebagian besar
penyimpangan dan manipulasi hasil penghitungan suara terjadi pada Pemilu 2009,
juga dalam proses penetapan calon terpilih anggota DPR dan DPRD.
Pemungutan dan penghitungan suara di tingkat
tempat pemungutan suara (TPS) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) dapat
dinyatakan sebagai berintegritas apabila hasil pemilihan umum yang ditetapkan
dan diumumkan oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan PPS sama
persis dengan pilihan para pemilih. Hal ini berarti pemungutan dan penghitungan
suara pada kedua tingkat tersebut tidak mengandung kesalahan, baik yang tidak
disengaja maupun sengaja (manipulasi hasil penghitungan suara) dalam pencatatan
dan penghitungan suara. Proses penetapan calon terpilih dapat dinyatakan
berintegritas kalau suara pemilih kepada peserta pemilu-lah yang menentukan
calon terpilih.
Dua Pertanyaan
Ada dua pertanyaan yang hendak dijawab pada
tulisan ini. Pertama, apakah UU Pemilu baru mampu mencegah kesalahan yang tak
disengaja dan yang disengaja (manipulasi) dalam pemungutan dan penghitungan
suara? Kedua, apakah UU Pemilu baru mampu menjamin integritas proses penetapan
calon terpilih?
Jawaban secara umum: UU Pemilu yang baru akan
mampu mencegah kesalahan tidak disengaja dan manipulasi hasil penghitungan
suara pada kedua tingkat tersebut hanya kalau KPU mampu mengatur secara tepat
pesan tersurat dan tersurat dari UU Pemilu tersebut. Jawaban pertanyaan kedua,
UU Pemilu yang baru pada satu aspek mampu menjamin kalau KPU mengatur lebih
lanjut secara tepat dan pada aspek lain UU Pemilu yang baru tidak mampu
menjamin integritas proses penetapan calon terpilih.
Berikut adalah sejumlah bukti yang mendukung
jawaban tersebut. Pertama, salah satu kriteria suara sah jika pemilih mencoblos
nomor urut atau tanda gambar partai dan/atau nomor urut atau nama calon.
Artinya, pemilih dapat memberikan suara pada satu partai politik atau kepada
satu nama calon atau pada satu partai dan satu calon.
Ketentuan yang membolehkan pemberian suara
pada partai dan calon sekaligus setidaknya mengandung dua potensi kesalahan.
Pemilih mungkin mencoblos partai A, tetapi calon yang dicoblos dari partai B
sehingga suara tersebut tidak sah. Atau anggota KPPS mungkin mencatat coblosan
tersebut tak saja pada partai, tetapi juga pada calon sekaligus. Karena
coblosan pada calon sekaligus juga coblosan bagi partai yang mengajukan calon
tersebut, suara seorang pemilih akan dicatat dua kali bagi partai.
Kedua, hasil penghitungan suara dituangkan ke
dalam berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan ke dalam sertifikat
hasil perhitungan suara (HPS) dengan menggunakan format yang ditetapkan KPU.
Ketentuan seperti ini tidak terkandung dalam UU Pemilu lama dan ketentuan ini
memang dimaksudkan untuk menjamin integritas pemungutan dan penghitungan suara.
Namun, pesan ini hanya efektif jika KPU mampu memilih format berita acara dan
format sertifikat HPS yang mampu mencegah kesalahan tidak sengaja dari petugas
dan manipulasi dari petugas dan peserta pemilu. Format berita acara akan dapat
diisi oleh petugas kalau mudah dipahami.
Ketiga, salinan berita acara dan salinan
sertifikat HPS di TPS wajib diberikan kepada saksi peserta pemilu yang hadir.
Ketentuan ini tidak saja merupakan pelaksanaan asas transparansi dan
akuntabilitas, tetapi juga bagian dari upaya mencegah manipulasi hasil
penghitungan suara karena yang memiliki data tidak saja pelaksana, tetapi juga
peserta pemilu.
Akan tetapi, ketentuan ini hanya akan efektif
kalau KPU mampu: (a) membuat pengaturan yang tepat tentang format berita acara
dan format sertifikat HPS sebagaimana dikemukakan pada poin kedua dan (b)
membuat pengaturan rinci tentang persyaratan keanggotaan KPPS yang sesuai
dengan tugas KPPS.
Selama ini KPU tidak menetapkan petunjuk teknis
tentang persyaratan menjadi anggota KPPS sehingga sepenuhnya ditentukan oleh
kepala desa/lurah. Dari tujuh anggota KPPS, umumnya hanya seorang yang mampu
mengisi berita acara dan sertifikat HPS (dengan perkecualian di kota besar).
Akibatnya, salinan berita acara dan sertifikat HPS diisi oleh saksi peserta
pemilu serta ditandatangani oleh ketua dan anggota KPPS tanpa sempat mengecek
kebenaran isi dokumen. Tidak heran kalau banyak PPK menerima lebih dari satu
versi formulir C1 (salinan sertifikat HPS).
Untuk mencegah praktik seperti ini, dalam
peraturan KPU tersebut juga perlu ditetapkan sekurang-kurangnya empat dari
tujuh anggota KPPS mampu mengisi berita acara dan salinannya dan mengisi
sertifikat HPS beserta salinannya. Disebut sekurang-kurangnya empat anggota
karena KPPS bertugas, antara lain, menyusun berita acara dan sertifikat HPS
pemilu empat lembaga perwakilan, yaitu pemilu anggota DPR, pemilu anggota DPD,
pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota.
Keempat, proses rekapitulasi hasil
penghitungan suara TPS pada tingkat desa/kelurahan akan berintegritas tidak
saja apabila mengikuti pengaturan seperti yang dikemukakan pada poin kedua dan
ketiga di atas, tetapi juga pengaturan yang rinci tentang waktu, tempat,
persyaratan tentang rapat yang sah, dan tata cara proses rekapitulasi hasil
penghitungan suara TPS dalam peraturan KPU yang wajib dilaksanakan oleh PPS.
Selain itu, peraturan KPU tersebut juga harus mampu mengantisipasi berbagai
potensi sumber manipulasi hasil penghitungan suara pada tingkat PPS. Sebutlah
seperti warga masyarakat tak lagi menyaksikan proses rekapitulasi hasil
penghitungan suara, hanya beberapa partai politik yang mampu mengutus saksi,
dan kebanyakan desa tak punya kantor untuk tempat rapat umum rekapitulasi,
sehingga hasil penghitungan suara TPS tersebut direkapitulasi di rumah setiap
anggota PPS.
Dua Kesalahan Fatal
Dan, akhirnya, UU Pemilu yang baru mengadopsi
tata cara penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Ketentuan ini
mengandung dua kesalahan fatal. Pertama, pengertian ”suara terbanyak”. Formula
”suara terbanyak” cocok untuk sistem pemilu mayoritarian, tetapi tidak sesuai
dengan sistem pemilu proporsional berwakil banyak (3-10 kursi untuk DPR dan
3-12 kursi untuk DPRD) yang diadopsi UU Pemilu baru.
Artinya, ”suara terbanyak” hanya satu calon
terpilih dari setiap partai dari setiap daerah pemilihan (dapil), sedangkan
calon terpilih DPR dan DPRD dari suatu partai dapat saja lebih dari satu kursi
untuk setiap dapil DPR dan DPRD. Kesalahan ini dapat ”dikoreksi” menjadi
”penetapan calon terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak” oleh KPU dalam
peraturan pelaksanaan tentang tata cara penetapan calon terpilih.
Kesalahan kedua menyangkut ”bobot” suara yang
diberikan oleh pemilih. Suara yang diberikan pemilih kepada seorang calon
dijamin berbobot penuh 100 persen; tidak hanya ikut menentukan perolehan kursi
partai, tetapi juga ikut menentukan calon terpilih. Akan tetapi, suara yang
diberikan secara langsung oleh pemilih pada partai politik peserta pemilu
(baca: mencoblos tanda gambar partai) hanya dihargai ”50 persen” karena hanya
ikut menentukan perolehan kursi partai, tetapi tidak ikut menentukan calon
terpilih.
Kesalahan ini sungguh sangat fatal karena
tiga hal: ”merendahkan” UUD 1945 yang menetapkan partai politik sebagai peserta
pemilu, tetapi suara yang diberikan kepada peserta pemilu hanya dinilai
”setengah”; tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 56 Ayat (1) UU Pemilu baru
yang mengharuskan pengajuan daftar calon berdasarkan nomor urut (preferensi
partai tentang calon); dan dalam praktik Pemilu 2009 suara partai tersebut
menjadi ”bancakan” bagi calon yang masih memerlukan suara tambahan untuk dapat
terpilih.
Kesalahan fatal ini tidak mungkin diperbaiki
melalui peraturan KPU karena menyangkut penentuan calon terpilih yang sangat
bersifat politis. UU Pemilu yang baru ternyata tidak mampu menjamin integritas
pemilu dalam proses penetapan calon terpilih. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar