Selasa, 22 Mei 2012

Integritas Pemilu


Integritas Pemilu
Ramlan Surbakti ;  Guru Besar Perbandingan Politik
FISIP Universitas Airlangga
SUMBER :  KOMPAS, 21 Mei 2012


Integritas pemilu mencakup banyak aspek, tetapi yang hendak disorot secara khusus adalah integritas pemungutan dan penghitungan suara pada tingkat TPS dan desa/kelurahan. Sebab, di sanalah sebagian besar penyimpangan dan manipulasi hasil penghitungan suara terjadi pada Pemilu 2009, juga dalam proses penetapan calon terpilih anggota DPR dan DPRD.

Pemungutan dan penghitungan suara di tingkat tempat pemungutan suara (TPS) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) dapat dinyatakan sebagai berintegritas apabila hasil pemilihan umum yang ditetapkan dan diumumkan oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan PPS sama persis dengan pilihan para pemilih. Hal ini berarti pemungutan dan penghitungan suara pada kedua tingkat tersebut tidak mengandung kesalahan, baik yang tidak disengaja maupun sengaja (manipulasi hasil penghitungan suara) dalam pencatatan dan penghitungan suara. Proses penetapan calon terpilih dapat dinyatakan berintegritas kalau suara pemilih kepada peserta pemilu-lah yang menentukan calon terpilih.

Dua Pertanyaan

Ada dua pertanyaan yang hendak dijawab pada tulisan ini. Pertama, apakah UU Pemilu baru mampu mencegah kesalahan yang tak disengaja dan yang disengaja (manipulasi) dalam pemungutan dan penghitungan suara? Kedua, apakah UU Pemilu baru mampu menjamin integritas proses penetapan calon terpilih?

Jawaban secara umum: UU Pemilu yang baru akan mampu mencegah kesalahan tidak disengaja dan manipulasi hasil penghitungan suara pada kedua tingkat tersebut hanya kalau KPU mampu mengatur secara tepat pesan tersurat dan tersurat dari UU Pemilu tersebut. Jawaban pertanyaan kedua, UU Pemilu yang baru pada satu aspek mampu menjamin kalau KPU mengatur lebih lanjut secara tepat dan pada aspek lain UU Pemilu yang baru tidak mampu menjamin integritas proses penetapan calon terpilih.

Berikut adalah sejumlah bukti yang mendukung jawaban tersebut. Pertama, salah satu kriteria suara sah jika pemilih mencoblos nomor urut atau tanda gambar partai dan/atau nomor urut atau nama calon. Artinya, pemilih dapat memberikan suara pada satu partai politik atau kepada satu nama calon atau pada satu partai dan satu calon.

Ketentuan yang membolehkan pemberian suara pada partai dan calon sekaligus setidaknya mengandung dua potensi kesalahan. Pemilih mungkin mencoblos partai A, tetapi calon yang dicoblos dari partai B sehingga suara tersebut tidak sah. Atau anggota KPPS mungkin mencatat coblosan tersebut tak saja pada partai, tetapi juga pada calon sekaligus. Karena coblosan pada calon sekaligus juga coblosan bagi partai yang mengajukan calon tersebut, suara seorang pemilih akan dicatat dua kali bagi partai.

Kedua, hasil penghitungan suara dituangkan ke dalam berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan ke dalam sertifikat hasil perhitungan suara (HPS) dengan menggunakan format yang ditetapkan KPU. Ketentuan seperti ini tidak terkandung dalam UU Pemilu lama dan ketentuan ini memang dimaksudkan untuk menjamin integritas pemungutan dan penghitungan suara. Namun, pesan ini hanya efektif jika KPU mampu memilih format berita acara dan format sertifikat HPS yang mampu mencegah kesalahan tidak sengaja dari petugas dan manipulasi dari petugas dan peserta pemilu. Format berita acara akan dapat diisi oleh petugas kalau mudah dipahami.

Ketiga, salinan berita acara dan salinan sertifikat HPS di TPS wajib diberikan kepada saksi peserta pemilu yang hadir. Ketentuan ini tidak saja merupakan pelaksanaan asas transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga bagian dari upaya mencegah manipulasi hasil penghitungan suara karena yang memiliki data tidak saja pelaksana, tetapi juga peserta pemilu.

Akan tetapi, ketentuan ini hanya akan efektif kalau KPU mampu: (a) membuat pengaturan yang tepat tentang format berita acara dan format sertifikat HPS sebagaimana dikemukakan pada poin kedua dan (b) membuat pengaturan rinci tentang persyaratan keanggotaan KPPS yang sesuai dengan tugas KPPS.

Selama ini KPU tidak menetapkan petunjuk teknis tentang persyaratan menjadi anggota KPPS sehingga sepenuhnya ditentukan oleh kepala desa/lurah. Dari tujuh anggota KPPS, umumnya hanya seorang yang mampu mengisi berita acara dan sertifikat HPS (dengan perkecualian di kota besar). Akibatnya, salinan berita acara dan sertifikat HPS diisi oleh saksi peserta pemilu serta ditandatangani oleh ketua dan anggota KPPS tanpa sempat mengecek kebenaran isi dokumen. Tidak heran kalau banyak PPK menerima lebih dari satu versi formulir C1 (salinan sertifikat HPS).

Untuk mencegah praktik seperti ini, dalam peraturan KPU tersebut juga perlu ditetapkan sekurang-kurangnya empat dari tujuh anggota KPPS mampu mengisi berita acara dan salinannya dan mengisi sertifikat HPS beserta salinannya. Disebut sekurang-kurangnya empat anggota karena KPPS bertugas, antara lain, menyusun berita acara dan sertifikat HPS pemilu empat lembaga perwakilan, yaitu pemilu anggota DPR, pemilu anggota DPD, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota.

Keempat, proses rekapitulasi hasil penghitungan suara TPS pada tingkat desa/kelurahan akan berintegritas tidak saja apabila mengikuti pengaturan seperti yang dikemukakan pada poin kedua dan ketiga di atas, tetapi juga pengaturan yang rinci tentang waktu, tempat, persyaratan tentang rapat yang sah, dan tata cara proses rekapitulasi hasil penghitungan suara TPS dalam peraturan KPU yang wajib dilaksanakan oleh PPS. Selain itu, peraturan KPU tersebut juga harus mampu mengantisipasi berbagai potensi sumber manipulasi hasil penghitungan suara pada tingkat PPS. Sebutlah seperti warga masyarakat tak lagi menyaksikan proses rekapitulasi hasil penghitungan suara, hanya beberapa partai politik yang mampu mengutus saksi, dan kebanyakan desa tak punya kantor untuk tempat rapat umum rekapitulasi, sehingga hasil penghitungan suara TPS tersebut direkapitulasi di rumah setiap anggota PPS.

Dua Kesalahan Fatal

Dan, akhirnya, UU Pemilu yang baru mengadopsi tata cara penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Ketentuan ini mengandung dua kesalahan fatal. Pertama, pengertian ”suara terbanyak”. Formula ”suara terbanyak” cocok untuk sistem pemilu mayoritarian, tetapi tidak sesuai dengan sistem pemilu proporsional berwakil banyak (3-10 kursi untuk DPR dan 3-12 kursi untuk DPRD) yang diadopsi UU Pemilu baru.

Artinya, ”suara terbanyak” hanya satu calon terpilih dari setiap partai dari setiap daerah pemilihan (dapil), sedangkan calon terpilih DPR dan DPRD dari suatu partai dapat saja lebih dari satu kursi untuk setiap dapil DPR dan DPRD. Kesalahan ini dapat ”dikoreksi” menjadi ”penetapan calon terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak” oleh KPU dalam peraturan pelaksanaan tentang tata cara penetapan calon terpilih.

Kesalahan kedua menyangkut ”bobot” suara yang diberikan oleh pemilih. Suara yang diberikan pemilih kepada seorang calon dijamin berbobot penuh 100 persen; tidak hanya ikut menentukan perolehan kursi partai, tetapi juga ikut menentukan calon terpilih. Akan tetapi, suara yang diberikan secara langsung oleh pemilih pada partai politik peserta pemilu (baca: mencoblos tanda gambar partai) hanya dihargai ”50 persen” karena hanya ikut menentukan perolehan kursi partai, tetapi tidak ikut menentukan calon terpilih.

Kesalahan ini sungguh sangat fatal karena tiga hal: ”merendahkan” UUD 1945 yang menetapkan partai politik sebagai peserta pemilu, tetapi suara yang diberikan kepada peserta pemilu hanya dinilai ”setengah”; tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 56 Ayat (1) UU Pemilu baru yang mengharuskan pengajuan daftar calon berdasarkan nomor urut (preferensi partai tentang calon); dan dalam praktik Pemilu 2009 suara partai tersebut menjadi ”bancakan” bagi calon yang masih memerlukan suara tambahan untuk dapat terpilih.

Kesalahan fatal ini tidak mungkin diperbaiki melalui peraturan KPU karena menyangkut penentuan calon terpilih yang sangat bersifat politis. UU Pemilu yang baru ternyata tidak mampu menjamin integritas pemilu dalam proses penetapan calon terpilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar