Pertanian
Formal Versus Pragmatisme
Bustanul
Arifin ; Guru
Besar Unila dan Ekonom Senior Indef-Jakarta
SUMBER
: KOMPAS,
21 Mei 2012
Laju konversi lahan pertanian sebesar 100.000
hektar per tahun telah diketahui pemerintah dan masyarakat awam. Kemandulan
seperangkat aturan dan produk hukum untuk mengatasi laju konversi lahan
pertanian itu juga sudah diketahui. Kemampuan pemerintah mencetak sawah baru
yang dibiayai dari anggaran negara hanya 40.000 hektar per tahun. Inisiatif
masyarakat untuk mencetak lahan pangan baru tentu sangat terbatas karena petani
tak punya modal besar untuk melakukan investasi yang sangat strategis itu.
Bahwa produksi pangan strategis di dalam
negeri terancam serta laju impor pangan senilai Rp 125 triliun telah menggerus
devisa dan bahkan kedaulatan negara juga dipahami para elite politik dan
pemerintahan. Namun, respons kebijakan oleh para pemimpin negeri ini terkesan
sangat lamban.
Produk hukum yang dihasilkan atau aransemen
kelembagaan yang melingkupi aturan formal baru sering kali hanya wacana dan
kebanggaan sektoral yang terkesan hambar. Di lapangan, lahan pertanian yang
beralih fungsi menjadi perumahan, kawasan industri, dan lain-lain terus terjadi
dan kian mengkhawatirkan. Proses konversi itu secara pragmatis dan dilakukan
dengan sadar oleh dunia usaha, spekulan, aparat birokrasi daerah, serta
perangkat desa dan kecamatan.
Rumus persamaan permintaan pangan, laju
permintaan pangan di Indonesia 4,87 persen per tahun. Hal ini karena
pertumbuhan penduduk 1,49 persen, pertumbuhan pendapatan 6,5 persen, dan
elastisitas pendapatan terhadap pangan 0,52. Dengan kata lain, laju suplai
pangan harus lebih besar daripada laju permintaan. Setidaknya mencapai 5 persen
per tahun.
Kinerja produk pangan strategis tahun 2011
semuanya menurun. Jauh untuk bisa memenuhi pertambahan permintaan pangan dalam
negeri. Laju produksi beras turun 1,6 persen, jagung turun 6 persen, kedelai
turun 4 persen, dan gula turun 1,8 persen. Target besar untuk surplus beras 10
juta ton serta target swasembada gula dan kedelai tahun 2014 amat sulit bisa
dicapai.
Sampai hampir satu semester tahun 2012, tanda
peningkatan produksi pangan yang spektakuler belum terlihat. Tidak ada
terobosan berarti. Upaya pengembangan lahan pangan skala besar (food estate) di Merauke seakan terhenti
karena dimensi sosial-politik. Ancaman bencana ekologis juga cukup besar
apabila ada perubahan ekosistem yang drastis dari hamparan belukar, rawa, dan
padang rumput menjadi ekosistem tanaman pangan dan domestikasi lain.
Pemerintah mulai garap kawasan potensial bagi
pengembangan pangan skala luas di Kalimantan dan Sulawesi. Di samping
mengembangkan lahan pertanian pangan yang baru, upaya pengendalian dan
perlindungan lahan pangan yang ada wajib tetap dilakukan.
Pemerintah bersama parlemen telah
menghasilkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan. Banyak yang berharap UU No 41/2009 mampu
mencegah konversi lahan pertanian karena negara akan menentukan kawasan lahan
pangan yang benar-benar dilindungi—sebagai benteng terakhir dari ketahanan
pangan dalam negeri. Namun, pada 2010, laju konversi lahan pertanian masih
terus terjadi. Banyak yang mengira UU No 41/2009 mandul karena belum ada
peraturan pelaksanaannya.
Wajib Lebih Ofensif
Hampir semua pihak berusaha menanggulangi
persoalan laju konversi lahan pertanian, tetapi masih menggunakan pendekatan
legal-formal. Tidak ada yang salah dari pendekatan formal ini jika diikuti oleh
kemampuan menegakkan aturan dan perangkat kebijakan ekonomi yang memadai.
Pada Januari 2011 keluar Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 1 Tahun 2011 Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Meski demikian, selama 2011 terjadi laju konversi lahan
pertanian, terutama untuk produksi pangan. Sekali lagi, muncul respons
legal-formal pemerintah untuk menanggulangi konversi lahan itu dengan
menghasilkan PP No 12/2012 tentang Insentif perlindungan lahan pertanian pangan
pada 9 Januari 2012.
Insentif dari pemerintah pusat dan pemerintah
provinsi berupa sekian macam program, seperti pengembangan infrastruktur
pertanian serta pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas
unggul. Pemerintah daerah menambah insentif dengan keringanan Pajak Bumi dan
Bangunan.
Secara formal, landasan kebijakan untuk
mewujudkan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan itu sebenarnya
telah cukup lengkap. Misalnya, pemerintah mengeluarkan PP No 25/2012 tentang
Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan PP No 30/2012 tentang
Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Di level lebih
teknis, Menteri Pertanian juga mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan
Kawasan, Lahan, dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Permentan ini masih akan diuji karena hanya
menjangkau lahan hamparan di atas 5 hektar. Pemerintah tidak mampu mencegah
konversi lahan-lahan pertanian berskala keci. Konversi melalui proses pewarisan
dan fragmentasi lahan, yang mempercepat proses pemiskinan petani dan masyarakat
pedesaan, terutama terjadi di Jawa.
Singkatnya, perlindungan lahan pertanian,
terutama lahan pangan subur dan beririgasi teknis, tidak memadai jika hanya
dilakukan melalui pendekatan formal belaka. Langkah pragmatisme bisnis dan
politik di tingkat lapangan tampak tidak mempan jika hanya ditanggulangi
melalui pemberian sekian macam program.
Pelaksanaan kebijakan teknis pertanian,
penyaluran panggal benih unggul, bimbingan-penyuluhan dan pendampingan petani,
penjaminan harga jual, dan lain-lain akan lebih memadai. Aparat negara di
tingkat pusat dan daerah wajib lebih ofensif dalam melaksanakan kebijakan
teknis di atas.
Terakhir, skema penalti dan struktur
penegakan hukum dalam menerapkan sanksi juga perlu lebih tegas. Hanya dengan
ini, fenomena pragmatisme bisnis dan politik di balik konversi lahan akan dapat
ditanggulangi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar