Selasa, 22 Mei 2012

Pertanian Formal Versus Pragmatisme


Pertanian Formal Versus Pragmatisme
Bustanul Arifin ;  Guru Besar Unila dan Ekonom Senior Indef-Jakarta
SUMBER :  KOMPAS, 21 Mei 2012


Laju konversi lahan pertanian sebesar 100.000 hektar per tahun telah diketahui pemerintah dan masyarakat awam. Kemandulan seperangkat aturan dan produk hukum untuk mengatasi laju konversi lahan pertanian itu juga sudah diketahui. Kemampuan pemerintah mencetak sawah baru yang dibiayai dari anggaran negara hanya 40.000 hektar per tahun. Inisiatif masyarakat untuk mencetak lahan pangan baru tentu sangat terbatas karena petani tak punya modal besar untuk melakukan investasi yang sangat strategis itu.

Bahwa produksi pangan strategis di dalam negeri terancam serta laju impor pangan senilai Rp 125 triliun telah menggerus devisa dan bahkan kedaulatan negara juga dipahami para elite politik dan pemerintahan. Namun, respons kebijakan oleh para pemimpin negeri ini terkesan sangat lamban.

Produk hukum yang dihasilkan atau aransemen kelembagaan yang melingkupi aturan formal baru sering kali hanya wacana dan kebanggaan sektoral yang terkesan hambar. Di lapangan, lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi perumahan, kawasan industri, dan lain-lain terus terjadi dan kian mengkhawatirkan. Proses konversi itu secara pragmatis dan dilakukan dengan sadar oleh dunia usaha, spekulan, aparat birokrasi daerah, serta perangkat desa dan kecamatan.

Rumus persamaan permintaan pangan, laju permintaan pangan di Indonesia 4,87 persen per tahun. Hal ini karena pertumbuhan penduduk 1,49 persen, pertumbuhan pendapatan 6,5 persen, dan elastisitas pendapatan terhadap pangan 0,52. Dengan kata lain, laju suplai pangan harus lebih besar daripada laju permintaan. Setidaknya mencapai 5 persen per tahun.

Kinerja produk pangan strategis tahun 2011 semuanya menurun. Jauh untuk bisa memenuhi pertambahan permintaan pangan dalam negeri. Laju produksi beras turun 1,6 persen, jagung turun 6 persen, kedelai turun 4 persen, dan gula turun 1,8 persen. Target besar untuk surplus beras 10 juta ton serta target swasembada gula dan kedelai tahun 2014 amat sulit bisa dicapai.

Sampai hampir satu semester tahun 2012, tanda peningkatan produksi pangan yang spektakuler belum terlihat. Tidak ada terobosan berarti. Upaya pengembangan lahan pangan skala besar (food estate) di Merauke seakan terhenti karena dimensi sosial-politik. Ancaman bencana ekologis juga cukup besar apabila ada perubahan ekosistem yang drastis dari hamparan belukar, rawa, dan padang rumput menjadi ekosistem tanaman pangan dan domestikasi lain.

Pemerintah mulai garap kawasan potensial bagi pengembangan pangan skala luas di Kalimantan dan Sulawesi. Di samping mengembangkan lahan pertanian pangan yang baru, upaya pengendalian dan perlindungan lahan pangan yang ada wajib tetap dilakukan.

Pemerintah bersama parlemen telah menghasilkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Banyak yang berharap UU No 41/2009 mampu mencegah konversi lahan pertanian karena negara akan menentukan kawasan lahan pangan yang benar-benar dilindungi—sebagai benteng terakhir dari ketahanan pangan dalam negeri. Namun, pada 2010, laju konversi lahan pertanian masih terus terjadi. Banyak yang mengira UU No 41/2009 mandul karena belum ada peraturan pelaksanaannya.

Wajib Lebih Ofensif

Hampir semua pihak berusaha menanggulangi persoalan laju konversi lahan pertanian, tetapi masih menggunakan pendekatan legal-formal. Tidak ada yang salah dari pendekatan formal ini jika diikuti oleh kemampuan menegakkan aturan dan perangkat kebijakan ekonomi yang memadai.

Pada Januari 2011 keluar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2011 Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Meski demikian, selama 2011 terjadi laju konversi lahan pertanian, terutama untuk produksi pangan. Sekali lagi, muncul respons legal-formal pemerintah untuk menanggulangi konversi lahan itu dengan menghasilkan PP No 12/2012 tentang Insentif perlindungan lahan pertanian pangan pada 9 Januari 2012.

Insentif dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi berupa sekian macam program, seperti pengembangan infrastruktur pertanian serta pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul. Pemerintah daerah menambah insentif dengan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan.

Secara formal, landasan kebijakan untuk mewujudkan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan itu sebenarnya telah cukup lengkap. Misalnya, pemerintah mengeluarkan PP No 25/2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan PP No 30/2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Di level lebih teknis, Menteri Pertanian juga mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan, dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Permentan ini masih akan diuji karena hanya menjangkau lahan hamparan di atas 5 hektar. Pemerintah tidak mampu mencegah konversi lahan-lahan pertanian berskala keci. Konversi melalui proses pewarisan dan fragmentasi lahan, yang mempercepat proses pemiskinan petani dan masyarakat pedesaan, terutama terjadi di Jawa.

Singkatnya, perlindungan lahan pertanian, terutama lahan pangan subur dan beririgasi teknis, tidak memadai jika hanya dilakukan melalui pendekatan formal belaka. Langkah pragmatisme bisnis dan politik di tingkat lapangan tampak tidak mempan jika hanya ditanggulangi melalui pemberian sekian macam program.

Pelaksanaan kebijakan teknis pertanian, penyaluran panggal benih unggul, bimbingan-penyuluhan dan pendampingan petani, penjaminan harga jual, dan lain-lain akan lebih memadai. Aparat negara di tingkat pusat dan daerah wajib lebih ofensif dalam melaksanakan kebijakan teknis di atas.

Terakhir, skema penalti dan struktur penegakan hukum dalam menerapkan sanksi juga perlu lebih tegas. Hanya dengan ini, fenomena pragmatisme bisnis dan politik di balik konversi lahan akan dapat ditanggulangi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar