Selasa, 22 Mei 2012

Subsidi dan Nilai Strategis APBN


Subsidi dan Nilai Strategis APBN
Siswono Yudo Husodo ;  Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila
SUMBER :  KOMPAS, 21 Mei 2012


Pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional, 26 April 2012, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan bahwa subsidi energi yang terdiri dari BBM dan listrik pada 2013 diperkirakan Rp 319,7 triliun, 19 persen dari total belanja pemerintah, dan pada 2014 mencapai Rp 347,2 triliun.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyampaikan langkah- langkah penghematan anggaran sehingga APBN-P 2012 dihemat Rp 70 triliun untuk cadangan pembengkakan subsidi BBM jika tak terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun ini.

Tampak jelas arah fundamental tata kelola anggaran negara kita pasca-kealotan pengambilan keputusan APBN-P 2012 yang berpusat pada pengurangan subsidi BBM. Keputusan hasil voting Sabtu dini hari, 31 Maret 2012, itu, pemerintah diberi kewenangan mengubah harga BBM jika harga minyak mentah Indonesia naik atau turun rata-rata 15 persen dalam enam bulan. Rencana menaikkan harga BBM pada 1 April dibatalkan dan jumlah subsidi energi menjadi Rp 225 triliun (BBM Rp 137 triliun, listrik Rp 65 triliun, dan cadangan risiko fiskal Rp 23 triliun).

Praktis dalam lima tahun terakhir alokasi anggaran untuk aneka subsidi terus meningkat nominalnya ataupun persentasenya terhadap APBN dan PDB. Porsi terbesarnya untuk subsidi BBM dan listrik. Sebagai orang yang lama terlibat dalam pengelolaan anggaran negara, saya melihat kecenderungan ini dengan sangat prihatin.

Sejak RI merdeka, belum pernah ada pemerintahan yang mengalokasikan subsidi dengan besaran seperti ini, bahkan di era Bung Karno ketika Indonesia menganut ”sosialisme Indonesia” dan kondisi sosial ekonomi rakyat berada jauh di belakang kondisi hari ini. Sangat disayangkan, tak cukup ruang publik yang bisa jernih membahas gejala ini.

Daya Sintas

Subsidi, suatu kebijakan afirmatif untuk memberi daya sintas kepada rakyat yang membutuhkan, seharusnya bersifat sementara. Tidak boleh jadi sistem yang menetap dan berkembang. Pada situasi darurat karena krisis ekonomi global seperti pada 2008, masih dapat dimengerti jika disediakan subsidi Rp 275,3 triliun guna merangsang kegiatan ekonomi.

Kekhawatiran bakal menurunnya popularitas partai dan tokoh politik jika mengurangi subsidi guna memperbesar ruang fiskal tidaklah beralasan. Obama terpilih menjadi Presiden AS dengan mengusung program menaikkan pajak guna membiayai asuransi kesehatan rakyat. Keberpihakan kepada rakyat tak bisa diukur dari besarnya subsidi saja. Jika pola pikir yang ada diteruskan, APBN akan kehilangan nilai strategisnya sebagai motor pembangunan nasional.

Keberhasilan pemerintah bukan diukur dari peningkatan subsidi. Peningkatan subsidi justru bisa berarti kegagalan pemerintah menyejahterakan rakyat. Dalam situasi normal, seharusnya jumlah subsidi secara bertahap menurun karena rakyat semakin sejahtera. Aneka subsidi yang telah menyedot ratusan triliun rupiah harus diluruskan agar dapat maksimal memberdayakan rakyat guna mewujudkan tujuan negara ”memajukan kesejahteraan umum”. Potensi rakyat perlu dikembangkan.

Jika salah penanganan, yang terjadi ialah mengembangkan karakter ketergantungan yang berkelanjutan yang akhirnya tak terpikul oleh negara. Lihatlah contoh keruntuhan negara komunis: negara terbebani sangat berat dan inisiatif rakyat mengembangkan kemakmuran bagi diri- nya tak berkembang.

APBN yang sekitar 17,5 persen PDB Indonesia adalah instrumen negara yang sangat strategis untuk memajukan kesejahteraan umum. Fungsi penting APBN adalah memberi insentif pada kegiatan ekonomi produktif. Pembangunan infrastruktur, terutama jalan, pelabuhan, dan angkutan laut, adalah bagian penting untuk menyejahterakan rakyat secara substansial dan bantuan sosial yang efektif adalah cara subsidi yang tepat meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dalam lima tahun terakhir sudah lebih dari Rp 1.200 triliun subsidi disalurkan, jumlah yang lebih dari cukup untuk menyelesaikan hal-hal berikut.

Jalan tol trans-Jawa Merak-Banyuwangi memerlukan sekitar Rp 60 triliun. Menstabilkan dan memperkuat jalan trans-Sumatera dari Banda Aceh ke Bakauheni di Lampung perlu biaya tak sampai Rp 100 triliun. Memperkuat jalan trans-Kalimantan dari Entikong di Kalimantan Barat sampai Nunukan di Kalimantan Timur perlu sekitar Rp 150 triliun.

Membangun jembatan Selat Sunda yang akan meningkatkan ekonomi di Sumatera dan Jawa memerlukan Rp 110 triliun. Membangun jalan Jayapura- Puncak Jaya sekitar Rp 10 triliun. Membagikan 65.189 desa rata-rata Rp 500 juta memerlukan Rp 33 triliun untuk memperbaiki jalan desa dan saluran irigasi.

Indonesia memiliki cadangan minyak yang sangat terbatas dengan kebutuhan BBM yang terus meningkat karena jumlah penduduk yang terus bertambah. Ekonomi nasional kita bersandar pada kegiatan ekonomi domestik, sementara kebutuhan BBM kita kian tergantung pada pasar internasional yang harus dibeli dengan valuta asing.

Tumpuan Energi

Geotermal dan energi hidro yang potensinya besar dan tak bi- sa diekspor harus menjadi tumpuan energi PLN. Kita juga punya potensi energi hidro di hulu Sungai Mahakam, Asahan, Kapuas, Mamberamo, dan lain-lain. Indonesia perlu meningkatkan ekspor agar pendapatan devisa meningkat. Untuk itu, infrastruktur harus dibangun besar-besaran agar produksi barang dan jasa memiliki daya saing yang tinggi. Sebaiknya harga BBM dinaikkan sekitar Rp 1.500 per liter untuk membangun infrastruktur.

China dengan menggunakan anggaran negara untuk membangun infrastruktur yang luar biasa membuat ekonominya tumbuh 9 persen per tahun, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya beli. Di Hainan, jalan-jalan dengan kualitas jalan tol, tapi tak usah bayar karena dibiayai berdasarkan harga BBM. Di Hainan, harga BBM lebih tinggi daripada daerah lain di China, yang semula diprotes rakyatnya. Sekarang rakyat China menganjurkan pola seperti itu.

Subsidi BBM dan aneka subsidi juga mengundang risiko moral. Survei menyebutkan 60 persen penikmat BBM subsidi adalah masyarakat kelas atas. BBM bersubsidi juga diselundupkan ke luar negeri, sementara nelayan kita sulit mendapat BBM yang murah. Kita juga mengimpor BBM dari Singapura. Jangan-jangan BBM subsidi yang diselundupkan keluar dimasukkan kembali dengan harga pasar. Pupuk bersubsidi juga diselundupkan ke perkebunan besar di Malaysia. Kita juga mendapati raskin dengan kualitas rendah.

Indonesia berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonominya dengan pengurangan subsidi untuk pembangunan infrastruktur. Ke depan, subsidi sebaiknya bertahap dikurangi, dikelola te- pat, dan langsung pada sasaran.

Kalau 10 juta keluarga termis- kin dibantu Rp 4 juta per tahun, 10 juta keluarga di atasnya dibantu Rp 2,5 juta per tahun; 10 juta keluarga di atasnya lagi dibantu Rp 2 juta per tahun; keseluruhan Rp 85 triliun untuk membantu dana tunai 30 juta keluarga termiskin (sepertiga rakyat Indonesia): amat sangat miskin, sangat miskin, dan miskin.

Bantuan langsung mengalir ke setiap keluarga. Untuk mendukung petani, dana yang tadinya untuk subsidi pupuk dan pangan dialihkan demi perluasan areal pertanian dan pembangunan infrastruktur pertanian: waduk, saluran irigasi, dan jalan-jalan desa. Lalu, subsidi energi dan pangan dihapus.

Dengan subsidi yang besar, rakyat bisa membeli BBM dan beras murah, tetapi laju pembangunan dan pemberdayaan rakyat berada di bawah potensi optimalnya. Meneruskan atau tidak pola APBN dengan subsidi yang gemuk adalah suatu pilihan dan yang berhak memilih adalah rakyat melalui wakilnya di DPR.

Jumat tengah malam, 30 Maret itu, saya gontai, terikat disiplin partai selaku anggota DPR mematuhi keputusan partai saya mendukung harga BBM tidak naik. Namun, nalar saya menyatakan hal itu tak betul, menyia-nyiakan peluang emas membawa kemajuan di segala bidang bagi Indonesia tercinta.

Dalam hidup acap kita harus melakukan hal-hal yang tak kita kehendaki. Juga sering kali kehidupan ini berjalan tidak seperti yang kita inginkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar