Subsidi
dan Nilai Strategis APBN
Siswono
Yudo Husodo ; Ketua
Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila
SUMBER
: KOMPAS,
21 Mei 2012
Pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Nasional, 26 April 2012, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan bahwa
subsidi energi yang terdiri dari BBM dan listrik pada 2013 diperkirakan Rp
319,7 triliun, 19 persen dari total belanja pemerintah, dan pada 2014 mencapai
Rp 347,2 triliun.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyampaikan
langkah- langkah penghematan anggaran sehingga APBN-P 2012 dihemat Rp 70
triliun untuk cadangan pembengkakan subsidi BBM jika tak terjadi kenaikan harga
BBM bersubsidi pada tahun ini.
Tampak jelas arah fundamental tata kelola
anggaran negara kita pasca-kealotan pengambilan keputusan APBN-P 2012 yang
berpusat pada pengurangan subsidi BBM. Keputusan hasil voting Sabtu dini hari,
31 Maret 2012, itu, pemerintah diberi kewenangan mengubah harga BBM jika harga
minyak mentah Indonesia naik atau turun rata-rata 15 persen dalam enam bulan.
Rencana menaikkan harga BBM pada 1 April dibatalkan dan jumlah subsidi energi
menjadi Rp 225 triliun (BBM Rp 137 triliun, listrik Rp 65 triliun, dan cadangan
risiko fiskal Rp 23 triliun).
Praktis dalam lima tahun terakhir alokasi
anggaran untuk aneka subsidi terus meningkat nominalnya ataupun persentasenya
terhadap APBN dan PDB. Porsi terbesarnya untuk subsidi BBM dan listrik. Sebagai
orang yang lama terlibat dalam pengelolaan anggaran negara, saya melihat
kecenderungan ini dengan sangat prihatin.
Sejak RI merdeka, belum pernah ada
pemerintahan yang mengalokasikan subsidi dengan besaran seperti ini, bahkan di
era Bung Karno ketika Indonesia menganut ”sosialisme Indonesia” dan kondisi
sosial ekonomi rakyat berada jauh di belakang kondisi hari ini. Sangat
disayangkan, tak cukup ruang publik yang bisa jernih membahas gejala ini.
Daya Sintas
Subsidi, suatu kebijakan afirmatif untuk
memberi daya sintas kepada rakyat yang membutuhkan, seharusnya bersifat
sementara. Tidak boleh jadi sistem yang menetap dan berkembang. Pada situasi
darurat karena krisis ekonomi global seperti pada 2008, masih dapat dimengerti
jika disediakan subsidi Rp 275,3 triliun guna merangsang kegiatan ekonomi.
Kekhawatiran bakal menurunnya popularitas
partai dan tokoh politik jika mengurangi subsidi guna memperbesar ruang fiskal
tidaklah beralasan. Obama terpilih menjadi Presiden AS dengan mengusung program
menaikkan pajak guna membiayai asuransi kesehatan rakyat. Keberpihakan kepada
rakyat tak bisa diukur dari besarnya subsidi saja. Jika pola pikir yang ada
diteruskan, APBN akan kehilangan nilai strategisnya sebagai motor pembangunan
nasional.
Keberhasilan pemerintah bukan diukur dari
peningkatan subsidi. Peningkatan subsidi justru bisa berarti kegagalan
pemerintah menyejahterakan rakyat. Dalam situasi normal, seharusnya jumlah
subsidi secara bertahap menurun karena rakyat semakin sejahtera. Aneka subsidi
yang telah menyedot ratusan triliun rupiah harus diluruskan agar dapat maksimal
memberdayakan rakyat guna mewujudkan tujuan negara ”memajukan kesejahteraan
umum”. Potensi rakyat perlu dikembangkan.
Jika salah penanganan, yang terjadi ialah
mengembangkan karakter ketergantungan yang berkelanjutan yang akhirnya tak
terpikul oleh negara. Lihatlah contoh keruntuhan negara komunis: negara
terbebani sangat berat dan inisiatif rakyat mengembangkan kemakmuran bagi diri-
nya tak berkembang.
APBN yang sekitar 17,5 persen PDB Indonesia
adalah instrumen negara yang sangat strategis untuk memajukan kesejahteraan
umum. Fungsi penting APBN adalah memberi insentif pada kegiatan ekonomi
produktif. Pembangunan infrastruktur, terutama jalan, pelabuhan, dan angkutan
laut, adalah bagian penting untuk menyejahterakan rakyat secara substansial dan
bantuan sosial yang efektif adalah cara subsidi yang tepat meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Dalam lima tahun terakhir sudah lebih dari Rp
1.200 triliun subsidi disalurkan, jumlah yang lebih dari cukup untuk
menyelesaikan hal-hal berikut.
Jalan tol trans-Jawa Merak-Banyuwangi
memerlukan sekitar Rp 60 triliun. Menstabilkan dan memperkuat jalan
trans-Sumatera dari Banda Aceh ke Bakauheni di Lampung perlu biaya tak sampai
Rp 100 triliun. Memperkuat jalan trans-Kalimantan dari Entikong di Kalimantan
Barat sampai Nunukan di Kalimantan Timur perlu sekitar Rp 150 triliun.
Membangun jembatan Selat Sunda yang akan
meningkatkan ekonomi di Sumatera dan Jawa memerlukan Rp 110 triliun. Membangun
jalan Jayapura- Puncak Jaya sekitar Rp 10 triliun. Membagikan 65.189 desa
rata-rata Rp 500 juta memerlukan Rp 33 triliun untuk memperbaiki jalan desa dan
saluran irigasi.
Indonesia memiliki cadangan minyak yang
sangat terbatas dengan kebutuhan BBM yang terus meningkat karena jumlah
penduduk yang terus bertambah. Ekonomi nasional kita bersandar pada kegiatan
ekonomi domestik, sementara kebutuhan BBM kita kian tergantung pada pasar
internasional yang harus dibeli dengan valuta asing.
Tumpuan Energi
Geotermal dan energi hidro yang potensinya
besar dan tak bi- sa diekspor harus menjadi tumpuan energi PLN. Kita juga punya
potensi energi hidro di hulu Sungai Mahakam, Asahan, Kapuas, Mamberamo, dan
lain-lain. Indonesia perlu meningkatkan ekspor agar pendapatan devisa
meningkat. Untuk itu, infrastruktur harus dibangun besar-besaran agar produksi
barang dan jasa memiliki daya saing yang tinggi. Sebaiknya harga BBM dinaikkan
sekitar Rp 1.500 per liter untuk membangun infrastruktur.
China dengan menggunakan anggaran negara
untuk membangun infrastruktur yang luar biasa membuat ekonominya tumbuh 9
persen per tahun, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya beli. Di
Hainan, jalan-jalan dengan kualitas jalan tol, tapi tak usah bayar karena
dibiayai berdasarkan harga BBM. Di Hainan, harga BBM lebih tinggi daripada
daerah lain di China, yang semula diprotes rakyatnya. Sekarang rakyat China
menganjurkan pola seperti itu.
Subsidi BBM dan aneka subsidi juga mengundang
risiko moral. Survei menyebutkan 60 persen penikmat BBM subsidi adalah
masyarakat kelas atas. BBM bersubsidi juga diselundupkan ke luar negeri,
sementara nelayan kita sulit mendapat BBM yang murah. Kita juga mengimpor BBM
dari Singapura. Jangan-jangan BBM subsidi yang diselundupkan keluar dimasukkan
kembali dengan harga pasar. Pupuk bersubsidi juga diselundupkan ke perkebunan
besar di Malaysia. Kita juga mendapati raskin dengan kualitas rendah.
Indonesia berpotensi meningkatkan pertumbuhan
ekonominya dengan pengurangan subsidi untuk pembangunan infrastruktur. Ke
depan, subsidi sebaiknya bertahap dikurangi, dikelola te- pat, dan langsung
pada sasaran.
Kalau 10 juta keluarga termis- kin dibantu Rp
4 juta per tahun, 10 juta keluarga di atasnya dibantu Rp 2,5 juta per tahun; 10
juta keluarga di atasnya lagi dibantu Rp 2 juta per tahun; keseluruhan Rp 85
triliun untuk membantu dana tunai 30 juta keluarga termiskin (sepertiga rakyat
Indonesia): amat sangat miskin, sangat miskin, dan miskin.
Bantuan langsung mengalir ke setiap keluarga.
Untuk mendukung petani, dana yang tadinya untuk subsidi pupuk dan pangan dialihkan
demi perluasan areal pertanian dan pembangunan infrastruktur pertanian: waduk,
saluran irigasi, dan jalan-jalan desa. Lalu, subsidi energi dan pangan dihapus.
Dengan subsidi yang besar, rakyat bisa
membeli BBM dan beras murah, tetapi laju pembangunan dan pemberdayaan rakyat
berada di bawah potensi optimalnya. Meneruskan atau tidak pola APBN dengan
subsidi yang gemuk adalah suatu pilihan dan yang berhak memilih adalah rakyat
melalui wakilnya di DPR.
Jumat tengah malam, 30 Maret itu, saya
gontai, terikat disiplin partai selaku anggota DPR mematuhi keputusan partai
saya mendukung harga BBM tidak naik. Namun, nalar saya menyatakan hal itu tak
betul, menyia-nyiakan peluang emas membawa kemajuan di segala bidang bagi
Indonesia tercinta.
Dalam hidup acap kita harus melakukan hal-hal
yang tak kita kehendaki. Juga sering kali kehidupan ini berjalan tidak seperti
yang kita inginkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar