Selasa, 22 Mei 2012

Indonesia buat Indonesia


Indonesia buat Indonesia
Sukardi Rinakit ; Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate
SUMBER :  KOMPAS, 22 Mei 2012


Sabtu (19/5) tengah malam, saya berbincang panjang dengan keponakan, Patih Muhammad Pratama (16), mengenai pemikiran Bung Karno, Bung Hatta, dan kondisi Indonesia saat ini yang miskin panduan. Tiba-tiba dia bertanya, ”Jadi, masa depan kita pesimistis atau optimistis?”

Karena konteks perbincangan awal adalah masalah kebangkitan bangsa, dengan yakin saya menjawab, ”optimistis!” Argumennya, kita masih kaya daya hidup. Nasib bangsa ini ditentukan oleh kesadaran kaum mudanya yang tetap kokoh dan memiliki utopia politik akan masa depan yang lebih baik. Mimpi ini tak pernah mati. Ia tetap mengalir dalam setiap aliran darah dan tarikan napas kaum muda Indonesia. Utopia mereka cahyane bingar kaya lintang johar (bersinar kemilau seperti bintang kejora).

Dengan demikian, setiap detik mereka pasti membangun, meminjam Gramsci (1978), sebuah blok sejarah (historical block). Suatu penyatuan kepentingan-kepentingan partikular menjadi blok perlawanan bersama atas nama kepentingan kolektif. Kekuatan inilah yang pada momen yang tepat nanti pasti akan menggilas perilaku koruptif para politisi dan pejabat publik. Mereka akan digulung oleh blok sejarah.

Tanpa bermaksud melakukan generalisasi hanya karena mendengar pendapat beberapa anak muda, kegalauan mereka terkait dengan masa depan Indonesia disebabkan oleh perilaku politik para elite. Mereka menonton tabiat berpolitik yang tidak terhormat dari para elite masa kini.

Ada yang sudah menjadi tersangka korupsi, tetapi tetap menonjol-nonjolkan diri dan mengenakan barang mewah di depan televisi. Ada yang menyengsarakan dan menghancurkan kebudayaan dan jejaring sosial-ekonomi lokal, tetapi tidak merasa bersalah sedikit pun. Ada yang berdebat dan saling melecehkan di televisi. Pendeknya, ranah politik di republik didominasi oleh gerak dan manuver politik yang tanpa fatsun. Semua terkesan absurd.

Absurditas tersebut adalah realitas politik kita saat ini. Ia akhirnya merembes ke mana-mana, termasuk ke wilayah pertunjukan. Pertunjukan Lady Gaga, misalnya, yang sebenarnya hanya akan disaksikan oleh ribuan orang justru menjadi tontonan nasional.
Para remaja di seluruh sudut negeri panas dingin penasaran. Demonstrasi penolakan kedatangan Lady Gaga oleh sejumlah ormas dan panasnya perdebatan di televisi telah memicu para remaja mengantre di warnet. Mereka mengejar tampilan Lady Gaga di Youtube. Itu menjadi bukti bahwa pelarangan tersebut menjadi paradoks. Jutaan remaja malah berselancar di dunia maya mengejar penampilan penyanyi itu.

Fenomena tersebut menunjukkan banyak di antara kita lupa bahwa kini langit sudah tidak berbatas dan bumi, seperti dikatakan Thomas L Friedman (2005), sudah datar. Dalam konteks ini, menjadikan masyarakat bersikap dewasa dan cerdas adalah lebih utama daripada melakukan pelarangan-pelarangan yang hasilnya malah berlawanan.

Kemiskinan Panduan

Jika ditarik dalam perspektif politik, berlakunya pelarangan tersebut menunjukkan bahwa republik ini sejatinya sedang menderita kemiskinan panduan berbangsa dan bernegara. Indonesia sekarang adalah Indonesia yang dalam batas-batas tertentu boleh dibilang kehilangan leitstar (bintang pemandu). Semua masalah, mulai dari tawuran antarkampung, konflik pilkada, sengketa agraria, kekerasan atas nama agama, sampai geng motor, meletup begitu saja ke permukaan.

Boleh saja kita berargumen, semua masalah itu sengaja dibiarkan muncul ke permukaan untuk pendewasaan masyarakat. Dengan dikepung oleh persoalan dari segala penjuru, ibarat digembleng di kawah candradimuka, masyarakat akan matang dan cerdas. Mereka tidak akan mudah kagetan (terkejut) dan gumunan (keheranan).

Awalnya, saya sepakat dengan pendapat itu. Akan tetapi, keyakinan itu meluntur seiring dengan waktu. Kesan tak tertangani, jika tak boleh disebut pembiaran, terasa lebih dominan daripada skenario pendewasaan masyarakat menghadapi tantangan. Dengan bahasa lain, absennya obsesi bernegara dari kepemimpinan nasional lebih dominan daripada sekadar kehati-hatian dan kelambanan pengambilan keputusan.

Padahal, model kekuasaan yang berlaku hingga kini adalah melingkar seperti obat nyamuk bakar dengan poros sebagai inti kekuasaan. Dalam budaya politik patrimonial tersebut, ketidakhadiran figur kepemimpinan nasional tidak hanya meredupkan kewibawaan dan efektivitas pemerintahnya, tetapi juga pesimisme akut rakyat.

Miskinnya panduan berbangsa dan bernegara yang berlaku kini secara hipotesis akan memicu lahirnya generasi muda yang utopia politiknya difokuskan pada obsesi bernegara. Ini adalah obsesi kebangkitan nasional Indonesia baru ketika perikehidupan seluruh rakyat harus bahagia. Cukup sandang, pangan, papan, serta biaya pendidikan dan kesehatan terjangkau. Selain itu juga tidak banjir, macet, dan fasilitas publik tersedia dan manusiawi. Pendeknya, seperti pesan Bung Karno (1945), Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua.

Kini saatnya bagi kita untuk makan buah kita sendiri, padi kita sendiri, garam kita sendiri. Impor silakan, tetapi kita mengutamakan produk kita sendiri. Indonesia buat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar