Selasa, 22 Mei 2012

Mencetak Dokter Paripurna


LAPORAN DISKUSI KOMPAS “Dokter Indonesia: Kenyataan dan Harapan”
Mencetak Dokter Paripurna
 SUMBER :  KOMPAS, 22 Mei 2012


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia adalah STOVIA awal abad XX. Inilah lembaga pendidikan kedokteran bagi anak pribumi yang kiprah mahasiswanya menjadi cikal kebangkitan bangsa.

Di STOVIA, terbukalah pikiran Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan kawan-kawan sehingga mereka membentuk Boedi Oetomo. Organisasi yang berupaya memberdayakan akal budi rakyat melalui pendidikan ini mengawali upaya membangun negara-bangsa yang merdeka dan sejahtera.

Namun, warisan mereka kian samar 100 tahun kemudian. Semangat para dokter masa perjuangan yang penuh dedikasi—yang memikirkan pengentasan orang miskin dan bukan sekadar memberantas penyakit, yang mencari jalan buat mencerdaskan rakyat dan bukan sekadar menunggu orang datang berobat—tak lagi berkobar. Dengan kata lain, dulu dokter menjadi agent of change, development, and treatment sekaligus, sedangkan kini lebih banyak dijumpai dokter yang hanya menjadi agent of treatment.

Kondisi yang Dihadapi

Berbagai kondisi riil menjadi faktor perubahan ini. Pendidikan kedokteran yang semakin mahal, hilangnya sistem pendistribusian dokter ke pelosok, dan perubahan fungsi rumah sakit menjadi tempat mencari untung adalah sebagian dari penyebab pragmatisme para dokter.

Ketidaksiapan dokter ataupun rumah sakit menyikapi perkembangan zaman membuat institusi kesehatan dan para dokternya mendapat banyak sorotan. Catatan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menunjukkan, tahun 2010 ada 7 pengaduan (1,2 persen) tentang layanan kesehatan dari 590 pengaduan.

Jika dibandingkan dengan dengan Malaysia dan Hongkong, sebenarnya jumlah pengaduan di Indonesia lebih besar secara persentase. Pada 2009, Pusat Pelayanan Konsumen Nasional Malaysia menerima 262 pengaduan tentang layanan kesehatan (0,8 persen) dari total 32.000 pengaduan. Sementara Konsil Konsumen Hongkong menerima 27.517 pengaduan tahun 2011. Dari jumlah itu, 239 mengadukan layanan kesehatan (0,8 persen).

Sedikitnya pengaduan di Indonesia bisa jadi karena kebiasaan membuat pengaduan (complaint habit) kita memang rendah, selain respons lembaga yang diadukan juga kontraproduktif. Kasus Prita adalah contoh yang membuat orang malas mengadu, padahal suara konsumen juga diperlukan untuk perbaikan kualitas pelayanan. Menurut Ketua YLKI Sudaryatmo, pengaduan pelayanan kesehatan di Indonesia merupakan fenomena gunung es karena persentasenya besar.

Masalah lain adalah komodifikasi layanan kesehatan. Di sejumlah kota besar, banyak rumah sakit yang dikelola badan hukum komersial dalam bentuk perseroan terbatas (PT) sehingga berorientasi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Bahkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun sempat menetapkan perubahan bentuk badan hukum Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cengkareng, Pasar Rebo, dan Yayasan RS Haji Jakarta menjadi perseroan terbatas. Untunglah ada permohonan uji materi ke Mahkamah Agung oleh sejumlah masyarakat dan lembaga sehingga peraturan daerah yang sudah ditetapkan itu dibatalkan.

Komodifikasi rumah sakit berdampak langsung kepada dokter sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan. Kepercayaan dan terutama ketidakpahaman pasien terhadap penanganan masalah kesehatan membuat dokter cenderung bertindak tidak mulia. Sudah banyak pasien yang mengeluhkan pemberian obat berlebihan, penggunaan alat kesehatan, atau bahkan rekomendasi untuk rawat inap yang sebenarnya tidak perlu.

Mencari Dokter Paripurna

Karut-marut pelayanan kesehatan ini bukannya tak disadari. Di antara para dokter yang melupakan tugas utamanya—mengutamakan kesejahteraan pasien dengan tetap menghargai otonomi pasien dan keadilan sosial—masih banyak dokter yang berusaha mengembalikan layanan kesehatan pada integritas dan profesionalitas profesi kedokteran. Merekalah yang terus berupaya mengembalikan kinerja dokter ke arah yang ideal.

Di antaranya ada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang dibentuk atas perintah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. KKI berfungsi untuk memberi perlindungan, mempertahankan, dan meningkatkan mutu pelayanan medis kepada pasien. Inilah yang kemudian diimplementasikan dalam mengatur sistem layanan kesehatan dan menjamin mutu internal profesi.

Menurut Ketua KKI Menaldi Rasmin, di sinilah kemudian pentingnya uji kompetensi dokter. Meski memicu kontroversi, uji ini penting karena setiap dokter harus memiliki integritas dan kemampuan layanan primer sesuai dengan sumpahnya. Dokter yang lulus uji kompetensi memegang surat tanda registrasi (STR) yang menjadi tanda jaminan negara terhadap etika, kompetensi, dan disiplin terhadap seorang dokter. STR kemudian digunakan untuk mencari surat izin profesi dan surat izin praktik.

Surat-surat ini harus diperbarui secara berkala dan bisa dicabut jika seorang dokter dianggap bersalah dalam sidang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Intinya, ada banyak peraturan yang membatasi agar seorang dokter dapat menjalankan prinsip-prinsip fundamentalisme kedokteran.

Pembenahan Menyeluruh

Hal yang juga penting dikembangkan dokter adalah kemampuannya untuk berkomunikasi. Banyaknya pasien yang memilih berobat ke luar negeri sering terjadi karena dokternya tidak menyampaikan persoalan kesehatan yang dihadapi pasien secara mudah, ramah, dan gamblang. Padahal, dari sisi kemampuan, dokter-dokter Indonesia tidak kalah dari luar negeri.

Di sisi lain, ada banyak hal yang harus dibenahi bersama para pemangku kepentingan lain. Di antaranya, yang cukup mendasar, mengubah sistem fee for service ke sistem kapitasi yang didukung asuransi. Karena itu, kita perlu mendorong agar Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) segera diimplementasikan. SJSN tidak hanya menjamin pembiayaan, tetapi juga memeratakan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Para dokter yang berlomba-lomba menjadi dokter spesialis karena lebih bergengsi dan sekaligus lebih laku akan kembali memperkuat kemampuan layanan primer seiring dengan berjalannya sistem rujukan.

Maka, kembali ke para dokter STOVIA yang mengawali pergerakan bangsa Indonesia dengan teladan keutamaan budi, kini saatnya dokter kembali mengutamakan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan pelayanan kesehatan yang bermutu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar