Rabu, 09 Mei 2012

Mengawasi Pembiayaan Pendidikan


Mengawasi Pembiayaan Pendidikan
Abdullah Yazid; Alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Islam Malang, Peneliti International Conference of Islamic Scholars (ICIS)
SUMBER :  KORAN TEMPO, 08 Mei 2012


Di antara kementerian dan lembaga negara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi kementerian dengan proporsi anggaran paling gemuk dibanding yang lain. Dari Rp 266,9 triliun pada 2011, anggaran menjadi Rp 286,6 triliun pada 2012. Baik pada 2011 maupun 2012, anggaran pendidikan mencapai sekitar 20 persen APBN; mengikuti amanat undang-undang.

Harus diakui, skema anggaran tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah membangun sektor ini. Pada 2011, pemerintah telah melakukan rehab 18 ribu SD senilai Rp 2,29 triliun, 3.500 SMP senilai Rp 518,4 miliar, rehab 2.203 ruang kelas MI senilai Rp 160,8 miliar, dan MTs sebesar Rp 236,3 miliar. Pemerintah menyatakan masih ada sekitar 10 persen sekolah tidak layak yang akan terus diperbaiki. Di bidang fisik, dibangun Rumah Sakit Pendidikan di perguruan tinggi negeri sejak 2008 sampai sekarang dan menghabiskan Rp 2,5 triliun!

Sayangnya, pembiayaan pendidikan masih belum cukup terbuka. Pemangku kepentingan belum sepenuhnya mengetahui anggaran dan sumber pembiayaan pendidikan nasional. Bahkan Menteri M. Nuh pun mengakui lembaga pendidikan satu dan lainnya berbeda-beda serta timpang, terutama di lembaga pendidikan tinggi. Belum ada audit pendidikan agar masyarakat mengetahui secara transparan. Kebijakan pembiayaan pendidikan masih searah dalam menentukan anggaran. Pungutan pun masih saja terjadi.

Pembiayaan pendidikan belum mampu meng-upgrade posisi indeks pembangunan manusia Indonesia, bahkan di level ASEAN sekalipun. Laporan BPS menyatakan Indonesia masih ada di peringkat 108 pada 2009 dan 2010, dengan indeks masing-masing 59,3 dan 60,0 atau hanya tumbuh 1,18 persen. Kita hanya mengungguli Vietnam (peringkat 113), Laos (122), Kamboja (124), dan Myanmar (132), dan masih kalah dari Singapura (27), Brunei Darussalam (37), Malaysia (57), Thailand (92), dan Filipina (97).

Rata-rata angka partisipasi pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi kita masih relatif rendah (56 persen untuk SLTP , 32 persen untuk SLTA, dan 12 persen untuk perguruan tinggi). Padahal pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun sudah digalakkan dengan menggratiskan biaya operasional sekolah jenjang SD hingga SLTP sejak 2005 melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang jumlahnya terus meningkat. Dana BOS per 2010 sebesar Rp 16,6 triliun dan Rp 16,4 triliun pada 2011, naik tajam pada 2012 menjadi Rp 27,67 triliun.

Meskipun anggaran sudah berporsi besar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih mengusulkan tambahan anggaran dalam rapat kerja terakhir (19 April) dengan Komisi X yang ditujukan untuk bantuan siswa miskin, afirmasi pelayanan pendidikan menengah dan universal, serta peningkatan daya tampung dan saing di perguruan tinggi. Pertanyaannya, mengapa besarnya anggaran ini belum mampu mengubah potensi partisipasi peserta didik? Apakah pembiayaan ini telah berjalan tepat sasaran, efektif, dan efisien? Lalu, bagaimana mengantisipasi “tikus-tikus“proyek yang acap berkeliaran, seperti dugaan “permainan“AS dan kawan-kawan di tubuh Kementerian Pendidikan?

Peran Pemda

Sejak otonomi daerah, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA menjadi tanggung jawab pemda. Tidak ada lagi Kanwil dan Kandepdiknas; diganti dengan Dinas Pendidikan di kabupaten/kota di bawah kendali pemda, dan Dinas Pendidikan Provinsi di bawah pemerintah provinsi. Dengan konfigurasi demikian, pola pembiayaan pendidikan mengalami perubahan cukup mendasar. Daerah bertanggung jawab penuh membiayai sektor pendidikan dengan menggunakan APBD-nya. Dukungan pusat dimungkinkan, namun itu pun harus melalui mekanisme APBD. Dalam prakteknya, ternyata hal ini menyulitkan dan sering terjadi inkoherensi antara pusat dan daerah.

Pembiayaan pendidikan yang bersifat budgetary (dibelanjakan sekolah) dan non-budgetary (dibelanjakan murid, orang tua/keluarga) sering berbeda dan timpang antara satu daerah dan lainnya. Belum disusun indikator yang memungkinkan anggaran pendidikan terserap sesuai dengan kebutuhan prioritas per daerah.Yang terjadi selama ini hanya berdasar penerimaan anggaran yang merujuk pada besaran tahun-tahun sebelumnya, karena ketidakberanian mengubah mindset menuju pemerataan pendidikan. Sistem birokrasi dan struktur DAK serta DAU juga ikut memengaruhi potensi penyalahgunaan anggaran “raksasa“ini.

Belum lagi, kesenjangan pendidikan antarkabupaten di Indonesia masih belum cukup memberikan informasi tentang kesenjangan yang terjadi di dalam provinsi. Padahal kesenjangan itu benar-benar terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten. Artinya, kesenjangan pembiayaan ini perlu diungkap menyeluruh, sehingga pemahaman mengenai disparitas pemerataan pendidikan akan lebih komprehensif. Hal ini tidak hanya penting secara kuantitatif, tetapi juga penting bagi pemerintah sebagai bahan mengambil langkah-langkah terpadu untuk mengurangi semua jenis ketimpangan dan disparitas pembiayaan pendidikan.

Mismanajemen Biaya

Jika merujuk pada konsepsi yang dibangun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), standar pembiayaan pendidikan menyangkut biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan SDM, dan modal kerja tetap. Biaya personal meliputi biaya yang dikeluarkan peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran, sementara biaya operasi meliputi gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan, dan peralatan pendidikan habis pakai, serta biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.

Faktanya, pembiayaan pendidikan nasional masih dihabiskan untuk kebutuhan biaya operasi ini. Sama halnya dengan di kementerian dan lembaga negara lainnya, pemerintah belum mampu mengubah paradigma berpikir yang drastis dan frontal untuk mengefisienkan biaya operasi, sehingga target-target pencapaian pendidikan dapat terpenuhi.

Yang ada, anggaran untuk peningkatan SDM, pembangunan sarana dan prasarana sekolah yang rusak, serta perluasan beasiswa yang tepat sasaran, baik untuk anak pintar maupun yang terkategori tidak pintar, tetap saja dapat “dikalahkan“oleh kepentingan biaya operasi. Jika kebutuhan biaya operasi belum tuntas (atau dianggap masih kurang, dan akan selalu merasa kurang), maka otomatis akan sulit menargetkan terpenuhinya pembiayaan pendidikan tepat guna dan tepat tujuan.

Belum lagi pengawasan program dan proyek-proyek pemerintah di bidang pendidikan yang selalu menjadi makanan empuk “para pemain“ lama maupun baru di proyek-proyek pendidikan. Jika paradigma dan keberanian political will pemerintah masih saja menegasikan hal ini, kita akan sulit beranjak membangkitkan potensi bangsa kita. Karena itu, pengawasan pembiayaan secara komprehensif perlu dilakukan kontinu dan melibatkan komponen-komponen terkait. Orang terdidik pun bisa korupsi dan “mau“ menerima uang korupsi jika ditempatkan di lahan basah tanpa pengawasan yang memadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar