Mengawasi Pembiayaan Pendidikan
Abdullah Yazid; Alumnus Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan
Universitas Islam Malang, Peneliti International Conference of Islamic
Scholars (ICIS)
SUMBER
: KORAN
TEMPO, 08 Mei 2012
Di
antara kementerian dan lembaga negara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menjadi kementerian dengan proporsi anggaran paling gemuk dibanding yang lain. Dari
Rp 266,9 triliun pada 2011, anggaran menjadi Rp 286,6 triliun pada 2012. Baik
pada 2011 maupun 2012, anggaran pendidikan mencapai sekitar 20 persen APBN;
mengikuti amanat undang-undang.
Harus
diakui, skema anggaran tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah membangun
sektor ini. Pada 2011, pemerintah telah melakukan rehab 18 ribu SD senilai Rp
2,29 triliun, 3.500 SMP senilai Rp 518,4 miliar, rehab 2.203 ruang kelas MI
senilai Rp 160,8 miliar, dan MTs sebesar Rp 236,3 miliar. Pemerintah menyatakan
masih ada sekitar 10 persen sekolah tidak layak yang akan terus diperbaiki. Di
bidang fisik, dibangun Rumah Sakit Pendidikan di perguruan tinggi negeri sejak
2008 sampai sekarang dan menghabiskan Rp 2,5 triliun!
Sayangnya,
pembiayaan pendidikan masih belum cukup terbuka. Pemangku kepentingan belum
sepenuhnya mengetahui anggaran dan sumber pembiayaan pendidikan nasional.
Bahkan Menteri M. Nuh pun mengakui lembaga pendidikan satu dan lainnya
berbeda-beda serta timpang, terutama di lembaga pendidikan tinggi. Belum ada
audit pendidikan agar masyarakat mengetahui secara transparan. Kebijakan
pembiayaan pendidikan masih searah dalam menentukan anggaran. Pungutan pun
masih saja terjadi.
Pembiayaan
pendidikan belum mampu meng-upgrade
posisi indeks pembangunan manusia Indonesia, bahkan di level ASEAN sekalipun.
Laporan BPS menyatakan Indonesia masih ada di peringkat 108 pada 2009 dan 2010,
dengan indeks masing-masing 59,3 dan 60,0 atau hanya tumbuh 1,18 persen. Kita
hanya mengungguli Vietnam (peringkat 113), Laos (122), Kamboja (124), dan
Myanmar (132), dan masih kalah dari Singapura (27), Brunei Darussalam (37),
Malaysia (57), Thailand (92), dan Filipina (97).
Rata-rata
angka partisipasi pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi kita masih relatif
rendah (56 persen untuk SLTP , 32 persen untuk SLTA, dan 12 persen untuk
perguruan tinggi). Padahal pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun sudah digalakkan
dengan menggratiskan biaya operasional sekolah jenjang SD hingga SLTP sejak
2005 melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang jumlahnya terus
meningkat. Dana BOS per 2010 sebesar Rp 16,6 triliun dan Rp 16,4 triliun pada
2011, naik tajam pada 2012 menjadi Rp 27,67 triliun.
Meskipun
anggaran sudah berporsi besar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih
mengusulkan tambahan anggaran dalam rapat kerja terakhir (19 April) dengan
Komisi X yang ditujukan untuk bantuan siswa miskin, afirmasi pelayanan pendidikan
menengah dan universal, serta peningkatan daya tampung dan saing di perguruan
tinggi. Pertanyaannya, mengapa besarnya anggaran ini belum mampu mengubah
potensi partisipasi peserta didik? Apakah pembiayaan ini telah berjalan tepat
sasaran, efektif, dan efisien? Lalu, bagaimana mengantisipasi
“tikus-tikus“proyek yang acap berkeliaran, seperti dugaan “permainan“AS dan
kawan-kawan di tubuh Kementerian Pendidikan?
Peran Pemda
Sejak
otonomi daerah, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA menjadi tanggung
jawab pemda. Tidak ada lagi Kanwil dan Kandepdiknas; diganti dengan Dinas
Pendidikan di kabupaten/kota di bawah kendali pemda, dan Dinas Pendidikan
Provinsi di bawah pemerintah provinsi. Dengan konfigurasi demikian, pola
pembiayaan pendidikan mengalami perubahan cukup mendasar. Daerah bertanggung
jawab penuh membiayai sektor pendidikan dengan menggunakan APBD-nya. Dukungan
pusat dimungkinkan, namun itu pun harus melalui mekanisme APBD. Dalam
prakteknya, ternyata hal ini menyulitkan dan sering terjadi inkoherensi antara
pusat dan daerah.
Pembiayaan
pendidikan yang bersifat budgetary
(dibelanjakan sekolah) dan non-budgetary
(dibelanjakan murid, orang tua/keluarga) sering berbeda dan timpang antara satu
daerah dan lainnya. Belum disusun indikator yang memungkinkan anggaran
pendidikan terserap sesuai dengan kebutuhan prioritas per daerah.Yang terjadi
selama ini hanya berdasar penerimaan anggaran yang merujuk pada besaran
tahun-tahun sebelumnya, karena ketidakberanian mengubah mindset menuju pemerataan pendidikan. Sistem birokrasi dan struktur
DAK serta DAU juga ikut memengaruhi potensi penyalahgunaan anggaran
“raksasa“ini.
Belum
lagi, kesenjangan pendidikan antarkabupaten di Indonesia masih belum cukup
memberikan informasi tentang kesenjangan yang terjadi di dalam provinsi.
Padahal kesenjangan itu benar-benar terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten.
Artinya, kesenjangan pembiayaan ini perlu diungkap menyeluruh, sehingga
pemahaman mengenai disparitas pemerataan pendidikan akan lebih komprehensif.
Hal ini tidak hanya penting secara kuantitatif, tetapi juga penting bagi
pemerintah sebagai bahan mengambil langkah-langkah terpadu untuk mengurangi
semua jenis ketimpangan dan disparitas pembiayaan pendidikan.
Mismanajemen Biaya
Jika
merujuk pada konsepsi yang dibangun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP),
standar pembiayaan pendidikan menyangkut biaya investasi, biaya operasi, dan
biaya personal. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi penyediaan sarana
dan prasarana, pengembangan SDM, dan modal kerja tetap. Biaya personal meliputi
biaya yang dikeluarkan peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran,
sementara biaya operasi meliputi gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta
segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan, dan peralatan pendidikan habis
pakai, serta biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa
telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi,
konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
Faktanya,
pembiayaan pendidikan nasional masih dihabiskan untuk kebutuhan biaya operasi
ini. Sama halnya dengan di kementerian dan lembaga negara lainnya, pemerintah
belum mampu mengubah paradigma berpikir yang drastis dan frontal untuk
mengefisienkan biaya operasi, sehingga target-target pencapaian pendidikan
dapat terpenuhi.
Yang
ada, anggaran untuk peningkatan SDM, pembangunan sarana dan prasarana sekolah
yang rusak, serta perluasan beasiswa yang tepat sasaran, baik untuk anak pintar
maupun yang terkategori tidak pintar, tetap saja dapat “dikalahkan“oleh
kepentingan biaya operasi. Jika kebutuhan biaya operasi belum tuntas (atau
dianggap masih kurang, dan akan selalu merasa kurang), maka otomatis akan sulit
menargetkan terpenuhinya pembiayaan pendidikan tepat guna dan tepat tujuan.
Belum
lagi pengawasan program dan proyek-proyek pemerintah di bidang pendidikan yang
selalu menjadi makanan empuk “para pemain“ lama maupun baru di proyek-proyek
pendidikan. Jika paradigma dan keberanian political
will pemerintah masih saja menegasikan hal ini, kita akan sulit beranjak
membangkitkan potensi bangsa kita. Karena itu, pengawasan pembiayaan secara
komprehensif perlu dilakukan kontinu dan melibatkan komponen-komponen terkait.
Orang terdidik pun bisa korupsi dan “mau“ menerima uang korupsi jika
ditempatkan di lahan basah tanpa pengawasan yang memadai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar