Ayo Jadi Justice Collaborator!
Denny Indrayana; Wakil
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SUMBER : SINDO, 08
Mei 2012
Justice Collaborator menjadi istilah yang semakin akrab
di telinga kita akhir-akhir ini.Konsep justice
collaborator berkait erat dengan konsep pemukul kentungan (whistleblower) serta berujung pada
program perlindungan saksi dan pelapor (witness
protection program).
Itulah
sebabnya, Mahkamah Agung mengeluarkan satu Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2011 tentang
“Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower)
dan Saksi Pelaku yang Bekerja sama (Justice
Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.” Dari terjemahan
SEMA tersebut jelas tergambar persamaan dan perbedaan konsep
keduanya.Persamaannya, baik pemukul kentungan maupun pelaku yang bekerja sama
adalah saksi. Keduanya mengetahui dan mempunyai informasi terkait suatu
kejahatan yang terjadi.
Namun, perbedaannya, whistleblower adalah saksi pelapor, sedangkan justice collaborator adalah saksi pelaku. Saksi pelapor mengetahui ada suatu kejahatan dan melaporkannya kepada aparat yang berwenang. Dalam hal ini saksi pelapor tidak ikut serta melakukan kejahatan, dia hanya mengetahui sehingga dia bukan pelaku kejahatan itu sendiri. Ibarat wasit dalam permainan olahraga, dia mengetahui ada pelanggaran, lalu membunyikan peluit.
Karena itu, diberi istilah whistleblower, peniup peluit. Meskipun saya lebih merasa cocok dengan istilah pemukul kentungan.Karena di samping mempunyai fungsi yang sama sebagai pemberi tanda bahaya berbagai kejahatan, sekaligus juga lebih mempunyai nuansa Indonesia. Justice collaborator di sisi lain adalah saksi pelaku yang bekerja sama. Tidak hanya memiliki informasi atas suatu kejahatan, dia juga melakukan dan terlibat dalam kejahatan itu sendiri.
Dalam konsep pidana, saksi demikian dikenal pula sebagai “saksi mahkota”. Namun, tidak hanya melakukan kejahatan, justice collaborator kemudian juga mau bekerja sama dan menjadi pintu pembuka bagi terungkapnya semua pelaku kejahatan yang sama. Karena itu, peran justice collaborator seringkali menjadi sangat strategis.
Utamanya dalam mengungkap kejahatan-kejahatan terorganisasi (organized crimes) yaitu tindak pidana tertentu yang bersifat sangat serius dan sangat merusak seperti korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, serta tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasi dan biasanya dilakukan pelaku berdasi atau kejahatan kerah putih (white collar crime).
Dalam kejahatan yang terorganisasi demikian, pembuktian lebih sulit dan menjadi barang langka karena pelaku mengorganisasi kejahatannya dengan sangat rapi atau bahkan bekerja sama secara kolutif dengan aparat penegak hukum, membentuk jejaring mafia dan komplotan yang solid, sehingga sulit diungkap tindak kriminalnya. Dalam komplotan demikian, hadir paranoid solidarity ( solidaritas ketakutan) yang menjadi jejaring sangat efektif untuk saling melindungi.
Maka itu,zsalah satu cara untuk membongkar tindak kejahatan demikian adalah dengan mengganggu soliditas para pelaku.zPada konteks itulah, peran pelaku yang bekerja sama menjadi sangat vital dan strategis. Karena sentralnya peran seorang pelaku yang bekerja sama untuk mengungkap tuntas suatu kejahatan yang dilakukan banyak orang, atau oleh suatu sindikasi, yang bersangkutan wajar mendapatkan insentif.
Di antara insentif itu, konteks penanganan kasusnya, adalah pengurangan hukuman atau bahkan kekebalan penuntutan bagi justice collaborator yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan dan penuntutan suatu tindak pidana terorganisasi. Tentang insentif bagi justice collaborator telah diatur baik secara internasional maupun hukum positif kita. Di aturan internasional insentif bagi pelaku yang bekerja sama misalnya diatur dalam Konvensi PBB Antikorupsi serta Konvensi PBB Antikejahatan Transnasional dan Terorganisasi.
Di dalam negeri konsep insentif hukuman bagi saksi pelapor ataupun pelaku yang bekerja sama diatur pula dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya dalam Pasal 10 meskipun dalam praktiknya masih perlu terus dikuatkan. Karena itu, di samping SEMA 4 Tahun 2011, diprakarsai oleh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, telah pula ditandatangani Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan Ketua LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Pelaku yang Bekerja Sama.
Peraturan Bersama itu ditandatangani di Istana Bogor pada 14 Desember 2011 beberapa saat menjelang Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mengakhiri masa tugasnya. Kementerian Hukum dan HAM ikut menandatangani peraturan tersebut untuk ikut memberikan insentif bagi pelaku yang bekerja sama, khususnya yang telah divonis bersalah dan menjalani masa hukumannya.
Dalam konsep pemasyarakatan, Menkumham berwenang mengurangi hukuman yang bersangkutan melalui remisi, berbagai hak cuti, asimilasi, hingga pembebasan bersyarat. Karena itu, untuk kebijakan pengetatan hak-hak narapidana korupsi, teroris, dan bandar narkoba, tidak kami berlakukan bagi pelaku yang bekerja sama. Contoh peringanan hukuman bagi justice collaborator diberikan kepada Agus Condro, dalam kasus tindak pidana korupsi cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Setelah KPK menuntut paling rendah di antara semua terdakwa, hakim memvonis paling ringan, Kemenkumham kemudian mengambil peran dengan memindahkan Agus Condro ke lapas di dekat tempat tinggalnya, serta memberikan semua hak pengurangan hukumannya termasuk asimilasi dan pembebasan bersyarat. Menkumham Amir Syamsudin dan saya bahkan menelepon langsung Saudara Agus Condro dan mengucapkan selamat atas pembebasan bersyarat yang diterimanya.
Kenapa Agus Condro diklasifikasikan sebagai justice collaborator? Paling tidak ada empat alasan. Pertama, dia pelaku korupsi yang bekerja sama memberikan informasi yang faktual, bukan fitnah.Terbukti, oleh Pengadilan Tipikor, keterangannya digunakan sebagai bukti yang dapat menjerat pelaku korupsi lainnya dalam kasus yang sama. Kedua, dia kooperatif dalam menjalani seluruh proses penegakan hukum kasusnya, termasuk tidak pernah buron.
Ketiga, dia mengakui dengan tegas telah melakukan korupsi, bahkan mengembalikan uang korupsi yang diterimanya. Keempat, statusnya sebagai pelaku korupsi yang bekerja sama, dan karenanya patut dilindungi, secara resmi diakui eksistensinya oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Empat hal itulah yang setidaknya harus dimiliki oleh siapa pun pelaku korupsi yang ingin mendapatkan status dan fasilitas keringanan hukuman sebagai justice collaborator.
Dengan kata lain, pelaku yang memberikan informasi tidak benar alias fitnah; tidak bekerja sama dalam proses hukum kasusnya—apalagi pernah buron; tidak mengakui melakukan korupsi, apalagi mengembalikan uang hasil korupsinya; dan tidak pula diakui dan dilindungi oleh LPSK; tentunya tidak layak mendapatkan status dan fasilitas selaku pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator.
Maka itu, kepada siapa pun yang akan dan ingin menjadi justice collaborator––utamanya dalam kasus korupsi, minimal empat syarat di atas wajib dipenuhi. Kepada pelaku yang memenuhi syarat demikian tentu kita dorong untuk bekerja sama dan membongkar praktik korupsi yang memang telah sangat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ayo jadi justice collaborator untuk Indonesia yang lebih antikorupsi, lebih antimafia, lebih antinarkoba, dan pastinya, Indonesia yang lebih baik. Doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia. ●
Namun, perbedaannya, whistleblower adalah saksi pelapor, sedangkan justice collaborator adalah saksi pelaku. Saksi pelapor mengetahui ada suatu kejahatan dan melaporkannya kepada aparat yang berwenang. Dalam hal ini saksi pelapor tidak ikut serta melakukan kejahatan, dia hanya mengetahui sehingga dia bukan pelaku kejahatan itu sendiri. Ibarat wasit dalam permainan olahraga, dia mengetahui ada pelanggaran, lalu membunyikan peluit.
Karena itu, diberi istilah whistleblower, peniup peluit. Meskipun saya lebih merasa cocok dengan istilah pemukul kentungan.Karena di samping mempunyai fungsi yang sama sebagai pemberi tanda bahaya berbagai kejahatan, sekaligus juga lebih mempunyai nuansa Indonesia. Justice collaborator di sisi lain adalah saksi pelaku yang bekerja sama. Tidak hanya memiliki informasi atas suatu kejahatan, dia juga melakukan dan terlibat dalam kejahatan itu sendiri.
Dalam konsep pidana, saksi demikian dikenal pula sebagai “saksi mahkota”. Namun, tidak hanya melakukan kejahatan, justice collaborator kemudian juga mau bekerja sama dan menjadi pintu pembuka bagi terungkapnya semua pelaku kejahatan yang sama. Karena itu, peran justice collaborator seringkali menjadi sangat strategis.
Utamanya dalam mengungkap kejahatan-kejahatan terorganisasi (organized crimes) yaitu tindak pidana tertentu yang bersifat sangat serius dan sangat merusak seperti korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, serta tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasi dan biasanya dilakukan pelaku berdasi atau kejahatan kerah putih (white collar crime).
Dalam kejahatan yang terorganisasi demikian, pembuktian lebih sulit dan menjadi barang langka karena pelaku mengorganisasi kejahatannya dengan sangat rapi atau bahkan bekerja sama secara kolutif dengan aparat penegak hukum, membentuk jejaring mafia dan komplotan yang solid, sehingga sulit diungkap tindak kriminalnya. Dalam komplotan demikian, hadir paranoid solidarity ( solidaritas ketakutan) yang menjadi jejaring sangat efektif untuk saling melindungi.
Maka itu,zsalah satu cara untuk membongkar tindak kejahatan demikian adalah dengan mengganggu soliditas para pelaku.zPada konteks itulah, peran pelaku yang bekerja sama menjadi sangat vital dan strategis. Karena sentralnya peran seorang pelaku yang bekerja sama untuk mengungkap tuntas suatu kejahatan yang dilakukan banyak orang, atau oleh suatu sindikasi, yang bersangkutan wajar mendapatkan insentif.
Di antara insentif itu, konteks penanganan kasusnya, adalah pengurangan hukuman atau bahkan kekebalan penuntutan bagi justice collaborator yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan dan penuntutan suatu tindak pidana terorganisasi. Tentang insentif bagi justice collaborator telah diatur baik secara internasional maupun hukum positif kita. Di aturan internasional insentif bagi pelaku yang bekerja sama misalnya diatur dalam Konvensi PBB Antikorupsi serta Konvensi PBB Antikejahatan Transnasional dan Terorganisasi.
Di dalam negeri konsep insentif hukuman bagi saksi pelapor ataupun pelaku yang bekerja sama diatur pula dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya dalam Pasal 10 meskipun dalam praktiknya masih perlu terus dikuatkan. Karena itu, di samping SEMA 4 Tahun 2011, diprakarsai oleh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, telah pula ditandatangani Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan Ketua LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Pelaku yang Bekerja Sama.
Peraturan Bersama itu ditandatangani di Istana Bogor pada 14 Desember 2011 beberapa saat menjelang Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mengakhiri masa tugasnya. Kementerian Hukum dan HAM ikut menandatangani peraturan tersebut untuk ikut memberikan insentif bagi pelaku yang bekerja sama, khususnya yang telah divonis bersalah dan menjalani masa hukumannya.
Dalam konsep pemasyarakatan, Menkumham berwenang mengurangi hukuman yang bersangkutan melalui remisi, berbagai hak cuti, asimilasi, hingga pembebasan bersyarat. Karena itu, untuk kebijakan pengetatan hak-hak narapidana korupsi, teroris, dan bandar narkoba, tidak kami berlakukan bagi pelaku yang bekerja sama. Contoh peringanan hukuman bagi justice collaborator diberikan kepada Agus Condro, dalam kasus tindak pidana korupsi cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Setelah KPK menuntut paling rendah di antara semua terdakwa, hakim memvonis paling ringan, Kemenkumham kemudian mengambil peran dengan memindahkan Agus Condro ke lapas di dekat tempat tinggalnya, serta memberikan semua hak pengurangan hukumannya termasuk asimilasi dan pembebasan bersyarat. Menkumham Amir Syamsudin dan saya bahkan menelepon langsung Saudara Agus Condro dan mengucapkan selamat atas pembebasan bersyarat yang diterimanya.
Kenapa Agus Condro diklasifikasikan sebagai justice collaborator? Paling tidak ada empat alasan. Pertama, dia pelaku korupsi yang bekerja sama memberikan informasi yang faktual, bukan fitnah.Terbukti, oleh Pengadilan Tipikor, keterangannya digunakan sebagai bukti yang dapat menjerat pelaku korupsi lainnya dalam kasus yang sama. Kedua, dia kooperatif dalam menjalani seluruh proses penegakan hukum kasusnya, termasuk tidak pernah buron.
Ketiga, dia mengakui dengan tegas telah melakukan korupsi, bahkan mengembalikan uang korupsi yang diterimanya. Keempat, statusnya sebagai pelaku korupsi yang bekerja sama, dan karenanya patut dilindungi, secara resmi diakui eksistensinya oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Empat hal itulah yang setidaknya harus dimiliki oleh siapa pun pelaku korupsi yang ingin mendapatkan status dan fasilitas keringanan hukuman sebagai justice collaborator.
Dengan kata lain, pelaku yang memberikan informasi tidak benar alias fitnah; tidak bekerja sama dalam proses hukum kasusnya—apalagi pernah buron; tidak mengakui melakukan korupsi, apalagi mengembalikan uang hasil korupsinya; dan tidak pula diakui dan dilindungi oleh LPSK; tentunya tidak layak mendapatkan status dan fasilitas selaku pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator.
Maka itu, kepada siapa pun yang akan dan ingin menjadi justice collaborator––utamanya dalam kasus korupsi, minimal empat syarat di atas wajib dipenuhi. Kepada pelaku yang memenuhi syarat demikian tentu kita dorong untuk bekerja sama dan membongkar praktik korupsi yang memang telah sangat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ayo jadi justice collaborator untuk Indonesia yang lebih antikorupsi, lebih antimafia, lebih antinarkoba, dan pastinya, Indonesia yang lebih baik. Doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar