Selasa, 08 Mei 2012

Catatan UU Pemilu 2014

Catatan UU Pemilu 2014
I Gusti Putu Artha; Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI 2007-2012   
SUMBER :  SINDO, 08 Mei 2012


Paripurna DPR RI menyepakati beberapa isu krusial soal substansi RUU Pemilu. Sistem pemilu masih proporsional daftar calon terbuka dengan alokasi kursi 3-10 per daerah pemilihan untuk DPR RI, 3-12 untuk DPRD, ambang batas perolehankursidi parlemen (parliamentary threshold/ PT) 3,5% berlaku secara nasional dan penetapan alokasi kursi dengan model kuota murni.

Pertanyaannya, apa implikasi semua itu terhadap teknis penyelenggaraan Pemilu 2014? Betulkah Pemilu 2014 masih akan sekompleks Pemilu 2009 dan bahkan berpotensi pemicu disintegrasi nasional. Yang paling tak dapat diterima logika, baik secara filosofis, yuridis, teknis maupun politis,adalah ketika parlemen menyepakati (kecuali PDI Perjuangan) bahwa PT berlaku secara nasional, bukan berjenjang.

Artinya, hanya parpol yang memperoleh minimal 3,5% suara sah Pemilu DPR RIlah yang bisa membagi kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/ kota di seluruh Indonesia. Jika berjenjang, hanya parpol yang memperoleh minimal 3,5% suara sah pemilu di tiang tingkatan yang berhak atas kursi di tiap tingkatan pula. Implikasinya, bisa saja jumlah dan jenis parpol yang lolos PT di DPR RI, DPR provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota berbeda.

Logika PT berlaku secara nasional telah melenceng dari roh dasar filosofi sistem proporsional dalam pemilu yang kita anut. Secara teoritis, sistem proporsional dipilih karena argumentasi bahwa Indonesia memiliki heterogenitas yang tinggi dari sisi latar belakang geografi, kultural, agama, topografi, dan demografi.Pembentukan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota melalui hasil pemilu dimaksudkan untuk mewakili kepentingan rakyat lokal dalam pengelolaan pemerintahan setempat.

Jika lantas hanya parpol yang memperoleh minimal 3,5% suara sah Pemilu DPR RI-lah yang bisa membagi kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/ kota di seluruh Indonesia, itu secara filosofis menabrak representasi keterwakilan masing- masing parlemen sesuai dengan tingkatannya. Logika PT berlaku secara nasional ini bisa mengancam integrasi nasional.

Sebagai ilustrasi ekstrem, amat mungkin sebuah parpol tertentu amat kuat di sebuah kabupaten dan memperoleh suara hingga 70% suara sah.Lantas 30% suara lainnya dibagi oleh 12 parpol dan hanya 10% suara diraih oleh lima parpol yang (misalnya) kebetulan lolos secara nasional. Pertanyaannya, bagaimana melogikakan bahwa 10% suara sah itu yang dimiliki lima parpol (lolos ambang batas parlemen secara nasional) harus membagi 100% kursi di DPRD kabupaten itu lalu membuang suara yang jumlahnya 90%? Jika ini dipaksakan, niscaya pada 2014 konflik dan stabilitas keamanan nasional akan terganggu.

Proporsional Terbuka

Format Pemilu 2014 yang telah disepakati parlemen itu masih akan memunculkan kerumitan tersendiri dalam penyelenggaraan Pemilu 2014. Sistem pemilu yang mengadopsi sistem proporsional dengan daftar calon terbuka berimplikasi seperti Pemilu 2009. Artinya,pemilih masih dihadapkan dengan surat suara yang berisi gambar partai, nomor urut partai, nomor urut calon legislatif, dan nama calon legislatif. Pemilih memilih dengan mencoblos gambar partai, nomor urut calon, nama calon, atau sekaligus gambar partai dan nomor urut calon.

Kerumitan pertama, surat suara masih akan cukup lebar dengan mencantumkan nomor urut, gambar partai, nomor urut, serta nama caleg yang jumlahnya 100% dari total kursi di daerah pemilihan tersebut. Lantas sebesar apa surat suaranya? Ada dua kemungkinan. Setelah UU Pemilu disahkan, seperti sudah diduga sebelumnya, parpol-parpol peserta Pemilu 2009 mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Jika uji materi ke MK dimenangkan, peluang lebar surat suara Pemilu 2014 jauh lebih luas dari Pemilu 2009 amat terbuka.

Kerumitan berikutnya, pada rekapitulasi penghitungan suara di semua tingkatan. Dari pengalaman Pemilu 2009, diperlukan kecermatan dan energi yang ekstra dalam penyelenggara pemilu di level bawah untuk memastikan akurasi penghitungan suara, khususnya perolehan suara di rekapitulasi antara jumlah pemilih yang mencoblos tanda gambar parpol dan rincian perolehan suara per caleg.

Harus diakui dengan jujur, di sinilah potensi manipulasi terjadi. Dalam beberapa kali persidangan di Mahkamah Konstitusi tempo lalu terungkap pergeseran suara di internal parpol. Suara pemilih yang mencontreng gambar parpol berkurang dan beralih ke caleg tertentu yang merugikan caleg lain yang merasa memperoleh suara terbanyak di sana (namun disalip oleh caleg yang memperoleh suara siluman itu).

Ini jadi mendapat legitimasi kembali dalam Pemilu 2014 lebih-lebih saksi yang boleh hadir di semua level penyelenggara adalah saksi parpol,bukan saksi tiap caleg. Dapat dibayangkan betapa “serangan” akan menghantam petugas KPPS dan terutama PPS (karena rekapitulasi di PPS dilakukan malam hari pascarekapitulasi di TPS). Pengalaman Pemilu 2004 ketika diberi ruang melakukan rekapitulasi, kecurangan Pemilu 2004 mayoritas terjadi di PPS.

Fenomena ini akan berpotensi lebih dahsyat lagi pada Pemilu 2014. Terakhir, dengan dua “cacatan” di atas niscaya uji materi terhadap UU Pemilu akan segera mengalir ke MK. Lantas bagaimana akhirnya? Jawabnya: filosofi, sistem, dan format Pemilu 2014 akhirnya hanya akan ditentukan oleh sembilan hakim MK yang tidak merasa perlu harus berdebat berbulan- bulan! Kita lihat saja nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar