Antagonisme
Pemberantasan Korupsi
Saharuddin
Daming ; Komisioner Komnas HAM
SUMBER
: MEDIA
INDONESIA, 23 Mei 2012
BILA
mencermati in tensitas penanganan tindak pidana korupsi (TPK) yang melibatkan
sejumlah penyelenggara negara belakangan ini, itu menyiratkan TPK belum
bergeser dari common enemy menjadi prevention acts. Salah satu tantangan law enforcement yang perlu segera
diterobos ialah perilaku antagonis yang masih melembaga dalam pemberantasan
TPK.
Hal
itu terpotret secara vulgar pada kasus penahanan Angelina Sondakh oleh KPK. Tersingkap
ke ruang publik sikap ambigu dari sebagian pengurus Partai Demokrat yang memberikan
dukungan dalam bentuk fasilitasi pembelaan hukum kepada Angie. Nuansanya sangat
kontras ketika Nazaruddin menghadapi proses hukum yang sama. Selain tidak
mendapat pembelaan hukum, ia malah dipecat sebagai bendahara umum partai,
bahkan di-recall sebagai anggota DPR
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Paradigma
antagonisme seperti itu juga tampak pada kasus Arifinto yang harus kehilangan
kursi di DPR meski hanya kepergok menyimpan gambar porno dalam Ipadnya.
Bandingkan dengan Misbakhun, Panda Nababan, dan sejumlah anggota DPR maupun
pimpinan daerah yang terlibat kasus TPK, sampai saat ini masih tetap menduduki
jabatan mereka meski telah divonis pengadilan, bahkan ada yang telah menjalani
eksekusi.
Wa
Ode Nurhayati yang sejak semula berjibaku untuk bekerja sama dengan KPK dalam
rangka membongkar megaskandal TPK yang melibatkan koleganya di Badan Anggaran
DPR maupun di eksekutif nyaris luput dari simpati KPK dalam memosisikan Wa Ode
sebagai justice collaborator.
Bandingkan dengan perilaku Angie yang sejak awal bungkam bahkan berani
berbohong demi melindungi aktor sentral TPK yang menjeratnya. Anehnya, Angie
malah dilamar KPK sebagai justice
collaborator dengan imbalan insentif dan kompensasi.
Mengguritanya
perilaku korup di kalangan penyelenggara negara merupakan dampak dari hedonisme
yang melahirkan budaya kleptokrasi (kesenangan mengambil/ menerima penghasilan
tambahan dengan cara yang tidak terhormat). Misalnya, upeti, uang lelah, biaya
tambahan, suap, hingga mark-up dan
lainlain. Padahal, dalam sumpah jabatan mereka terucap janji untuk tidak
menerima apa pun yang terkait langsung atau tidak langsung dengan jabatan yang
diemban.
Lebih
krusial lagi ialah teru ungkapnya kasus TPK yang m melibatkan sejumlah aparat
penegak hukum, khususnya oknum hakim. Tak pelak lagi, wajah peradilan kita
betul-betul tampak semakin ringsek dan bopeng. Karena bagaimanapun keadaannya,
aparat penegak hukum terutama hakim merupakan ujung tombak pemberantasan TPK.
Dari dia, dan oleh dialah, TPK dalam segala bentuknya dapat diperangi de ngan
memaksimalkan lembaga `efek jera'. Itu lah sebabnya jabatan sebagai aparat
penegak huk u m , khusus nya hakim, haruslah steril dari setiap rongrongan atau
intervensi dari pihak mana pun dalam memberantas TPK.
Ironisnya,
meski ada empat lembaga formal yang berwenang menangani kasus TPK (kejaksaan,
kepolisian, KPK dan pengadilan tipikor), TPK dengan segala bentuknya masih
tetap berlangsung dengan modus operandi yang semakin kompleks. Hal ini terjadi
bukan hanya karena pimpinan dan kolega aparat penegak hukum terkesan melakukan
pembiaran atau saling melindungi dalam bingkai solidaritas korps. Malah, mereka
kadangkadang menjadi dalang TPK.
Selain itu, terjadinya deviasi penjatuhan sanksi kepada pelaku TPK melalui putusan hakim, yang memperparah inefektivitas efek jera, merupakan antagonisme nyata dalam pemberantasan TPK.
Selain itu, terjadinya deviasi penjatuhan sanksi kepada pelaku TPK melalui putusan hakim, yang memperparah inefektivitas efek jera, merupakan antagonisme nyata dalam pemberantasan TPK.
Ketika
Urip Tri Gunawan didakwa menerima suap dari Arthalita Suryani, penegak hukum
antusias melakukan pemberatan hukuman dengan mengganjar 20 tahun penjara,
padahal JPU hanya menuntut 15 tahun sesuai dengan amanat Pasal 12 huruf b UU No
31/1999. Hebatnya lagi, meski dilakukan upaya hukum, MA dalam putusan No 1243
K/Pid. Sus/2009 tanggal 11 Maret 2009 memperkuat putusan sebelumnya.
Antiklimaks
terjadi ketika perkara dan rujukan hukum yang serupa mendudukkan oknum hakim
(Syarifuddin Umar) sebagai terdakwa TPK, hakim Tipikor Jakarta Pusat dalam
putusan No 541 PID.B/ TPK/2011/PN.JKT.PST, hanya menjatuhkan vonis kepada
terdakwa dengan hukuman yang sangat ringan, yaitu 4 tahun penjara. Padahal, JPU
menuntutnya 20 tahun sebagaimana yurisprudensi MA tersebut yang menekankan reasoning pemberatan hukuman karena
terdakwa adalah aparat penegak hukum yang harus menjadi contoh pemberantasan
TPK.
Tragisnya
lagi, meski JPU berjibaku memberantas TPK dengan menerapkan sistem pembuktian
terbalik (shifting burden of proof)
dalam perkara tersebut, hakim tipikor justru mengambil sikap oposisi dengan
bermain di atas altar interpretasi terhadap Pasal 38 B UU No 31/1999 Jo UU No
20/2001. Akibatnya sejumlah valas dengan nilai lebih dari Rp2 miliar yang
ditemukan petugas KPK saat menggerebek tersangka di rumah dinasnya lolos dari
jeratan hukum. Padahal, sebagai seorang hakim ia tidak mungkin mempunyai
penghasilan sebesar itu, apalagi gaji para hakim semuanya dibayar dalam bentuk
rupiah, bukan valas.
Semua
ini makin memperparah kronisme inkonsistensi aparat penegak hukum dalam
pemberantasan TPK. Selain mengabaikan fungsi yurisprudensi yang berpegang pada
prinsip the binding force of presedent,
inkonsistensi tersebut ditengarai kemasukan angin solidaritas korps. Atas nama
jabatan, hakim mendekonstruksi fakta hukum hanya dengan interpretasi Pasal 5
ayat (2) atau Pasal 11 UU No 31/1999 Jo UU No 20/2001. Dalam interpretasinya,
hakim berkesimpulan bahwa kasus suap dalam perkara aquo adalah pasif, sedangkan dalam kasus Urip Tri Gunawan merupakan
suap yang aktif.
Antagonisme
berpangkal pada penjelasan Pasal 37 UU No 31/1999 bahwa pembuktian terbalik
yang kita anut bersifat terbatas, sehingga JPU tetap wajib membuktikan dakwaan.
Konstruksi hukum seperti ini kontraproduktif. Bagaimana mungkin itu bisa
disebut sebagai pembuktian terbalik jika JPU masih dibebani kewajiban untuk
membuktikannya. Semua ini makin mengencangkan tarian antagonisme pemberantasan
TPK lantaran mengadopsi sistem pembuktian terbalik setengah hati.
Konstruksi
hukum yang mengadopsi sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas
sebetulnya telah digugurkan Pasal 38 B ayat (1) UU No 20/2001, yang pada
pokoknya mengatur bahwa setiap orang yang didakwa melakukan TPK berdasarkan
harta miliknya yang tidak wajar wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta
tersebut meski belum didakwakan oleh jaksa.
Dengan
demikian, konstruksi hukum tentang pembuktian terbalik menurut UU No 20/2001
tidak lagi bersifat terbatas, tetapi dibebankan sepenuhnya kepada terdakwa. Peran
JPU hanya tertuju pada tuntutan perampasan harta benda yang diajukan dalam
tuntutan (Pasal 38 B ayat (3) UU No 20/2001).
Bentuk
antagonisme terparah dalam pemberantasan TPK dipertontonkan Pasal 175 KUHAP
yang pada pokoknya memberi perlindungan kepada terdakwa berupa hak ingkar.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terdakwa berhak menyangkal bahkan berbohong
sekalipun di depan sidang pengadilan. Selain menabrak Pasal 242 KUHP yang
melarang pemberian keterangan palsu di bawah sumpah, hak ingkar dimaksud juga
mencederai tujuan hukum pidana materiil yang selalu mencari kebenaran
intrinsik. Bagaimana mungkin tujuan itu dapat dicapai jika hukum dan
interpretasinya membenarkan antagonisme penemuan kebenaran materiil? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar