Kebangkitan
Setengah Hati
Benny
Susetyo ; Pemerhati Sosial
SUMBER
: MEDIA
INDONESIA, 23 Mei 2012
RATUSAN
kali Indonesia telah mendeklarasikan diri dalam kebangkitan nasional. Namun,
sepanjang itu pulalah sebagian besar rakyat bangsa ini mengalami penderitaan.
Kemerdekaan yang telah diraih lebih dari setengah abad belum dapat dimanfaatkan
dengan baik untuk membentuk pribadi-pribadi bangsa yang merdeka. Sumber daya
alam yang melimpah belum benarbenar dipergunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat semesta.
Masih
banyak anak bangsa yang kelaparan di tengah lumbung padi, di tengah segenap
persoalan bangsa yang semakin lama semakin serius nyaris tak tertangani dengan
baik. Berita tentang mereka yang kekurangan gizi kian mencemaskan, bukan karena
mereka berada di dunia yang tidak ada makanan bergizi, melainkan karena akses
ter hadapnya tidak mampu dilakukan.
Perekonomian
bangsa yang dilandaskan kepada Pancasila yang menggotong ekonomi kerakyatan
tampaknya hanya untuk memanis-maniskan wajah belaka. Kenyataannya perekonomian
kita lebih ditum pukan kepada sejauh mana modal berkuasa menentukan segalanya.
Segala apa yang bisa dijual dan tidak banyak menimbulkan protes publik dijual
kepada pemodal untuk kepentingan yang tidak jelas betul untuk apa kegunaannya.
Pemberantasan
korupsi belum terbukti sebagai sebuah gerakan simultan dan berkelanjutan yang
didukung semua penguasa dari mana pun asalnya. Pemberantasan korupsi terkadang
sering bisa dilihat kental dengan nuansa politisnya daripada
kesungguh-sungguhan untuk menghilangkan korupsi itu sendiri.
Reformasi Jalan di Tempat
Reformasi
jalan di tempat. Ke arah mana bangsa ini harus b berjalan dan akan mencapai apa
sebagaimana yang sudah diangan-angankan bersama sering kali tidak sinkron
dengan perilaku para elite yang bertindak tanduk kerap menjauhi etika.
Rakyat
dalam posisi serbasulit. Mendukung reformasi dengan perjalanan yang
tertatih-tatih dan membosankan dengan menghadapi kesulitan ekonomi yang makin
lama makin mustahil diselesaikan dengan akal sehat. Rakyat berada dalam situasi
terjepit karena setiap apa yang dikerjakan selalu terkendala oleh kebijakan
yang tidak kondusif.
Para
politikus mengingat Hari Kebangkitan Nasional hanya pada saat Mei dan
melupakannya begitu upacara dibubarkan. Semua semangat untuk membawa bangsa ini
tertelan dalam aktivitas seharihari yang lebih mendorong sikap instan dan
pragmatis. Privatisasi aset-aset publik dapat mudah dilegalisasi karena di
dalamnya ada aspek-aspek yang menguntungkan secara pribadi dalam dimensi
politik dan ekonomi.
Visi
kebangsaan para elite, dalam berbagai perilakunya, dapat dilihat jauh lebih
lemah daripada apa yang ada di masyarakat. Pendidikan pun tidak kalah ironis.
Plinplan kebijakan menjadikan kita tidak mengerti manusia Indonesia seperti apa
yang hendak dicetak. Karut-marut dunia pendidikan dalam berbagai aspek
mengukuhkan kesimpulan bahwa semakin lama, pendi dikan mundur ke belakang
karena lebih banyak berbau kekuasaan, kolusi, dan `proyek' daripada meneruskan
visi yang sudah lurus yang ditorehkan para pendahulu kita.
Penegakan
hukum merupakan dunia `seolah-olah': seolah-olah semua manusia Indonesia harus
menaati hukum karena negara kita ialah rechstaat.
Namun, fakta bahwa terlampau banyak perilaku yang mencerminkan ini negara
berdasarkan atas kekuatan belaka (macstaat),
siapa bisa memungkiri? Hukum sering dinilai dengan uang dan kekuasaan.
Hukum
hanya berpihak pada kaum berduit dan menginjak yang lemah. Hukum diterapkan
dengan metode belah bambu: menginjak yang bawah dan mengangkat yang atas. Di
era yang bahkan disebut reformasi, justru masyarakat semakin apatis terhadap
hukum.
Penegakan
dalam hukum tidak berbanding dengan kebenaran dan keadilan, tapi sejauh mana
mereka yang berurusan bisa `menguasai' hukum, dengan apa pun. Dengan kata lain
siapa kuat dia memiliki imunitas hukum.
Dominasi Kepentingan Pribadi
Kita
bisa melihat praktik di negara yang mendeklarasikan ratusan tahun kebangkitan
nasionalnya ini ialah bagaimana semuanya bisa dibeli dan dijual. Tanpa
mengesampingkan prestasi yang telah diraih, sejauh ini lebih banyak didominasi
kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan bersama yang bernama bangsa.
`Kebangsaan' kita ialah kebangsaan upacara, bukan kebangsaan perilaku.
Kebijakan
publik tidak disusun atas dasar kepentingan publik secara sungguh-sungguh.
Setiap zaman, etika kebangsaan utama bisa digantikan sesuka hati oleh para
penguasa dengan berbagai cara dan alasan.
Ini
bukan khayalan politik. Suka tidak suka kita terima ini sebagai sebuah realitas
yang terjadi di lapangan. Lihat saja kenyataan apa yang sering disebut orang
sebagai para calo politik (rent seeker).
Di balik praktik percaloan itu ada kekuatan para pemilik modal besar yang
berperan. Kepentingan pemilik modal ialah melestarikan bisnis-bisnis mereka
yang korup. Bisnis tersebut akan besar jika didu kung kebijakan-kebijakan yang
menguntungkan mereka.
Rakyat
yang mengalami kemiskinan ekonomi selama bertahun-tahun dalam pemerintahan
Soekarno merasa bahwa datangnya Orde Baru bagaikan dewa penyelamat. Rakyat
dininabobokan dengan janji-janji perbaikan ekonomi yang teramat meyakinkan.
Pembangunan
ekonomi pun dengan segera diselenggarakan dengan asumsi bahwa kenaikan
pertumbuhan ekonomi yang signifikan akan menciptakan pemerataan ekonomi. Di era
reformasi, bukan perbaikan menuju kemajuan yang didapat, melainkan lebih banyak
kemunduran.
Dahulu
founding fathers memikirkan masa
depan bangsa ini sebagai bangsa yang kuat dan tangguh, bangsa yang disegani
dunia lain karena kedigdayaannya. Namun, sampai kini angan-angan ratusan tahun
lalu itu masih sebatas angan-angan.
Kebangkitan
kita setengah hati. Dari mana kebangkitan nasional harus dimulai, bila cara
berpikir elite masih mementingkan diri dan kelompok mereka daripada rakyat
bangsa kita? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar