Diversifikasi
dan Ketahanan Energi
Rakhmadi
Kusumo ; Direktur Eksekutif Centre of Energy
and Resources Indonesia (CERI), Anggota Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia
(METI)
SUMBER
: REPUBLIKA,
23 Mei 2012
Pertumbuhan
ekonomi mempercepat dan mem perbesar konsumsi energi suatu bangsa sehingga
ketersediaan energi men jadi sangat strategis. Setiap negara bersikeras untuk
memenuhi kebutuhan energi domestik, tak peduli apakah negara tersebut memiliki
banyak cadangan energi atau tidak.
Di
Indonesia, Undang-Undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi menyatakan setiap
orang berhak untuk memperoleh energi dan merupakan kewajiban pemerintah untuk
melakukan pengelolaan, sehingga ketersediaan energi dapat terjamin.
Di
satu sisi, Indonesia kini mengalami ketimpangan pada eksplorasi dan eksploitasi
energi fosil. Rasio cadangan per produksi liquid
(cair) lebih kecil dari rasio cadangan per produksi gas. Kita saat ini bisa
dibilang dalam kondisi declining rate untuk produsi minyak. Kondisi itu
menyebabkan kepunahan liquid akan
lebih cepat dibandingkan dengan kepunahan gas. Jelas hal tersebut
mengindikasikan bahwa Indonesia harus segera mengalihkan fokus pengelolaan
energi fosil dari liquid ke gas,
serta memberdayakan potensi energi lainnya.
Ketahanan
energi dan kestabilan pasokan energi masa kini dan di masa mendatang merupakan
suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Meledaknya jumlah populasi di
Indonesia semakin menambah ketergantungan Indonesia kepada bahan bakar minyak
(BBM), keterbelakangan infrastruktur pengolahan gas alam, serta ketidakbijakan
rasio pemakaian dan ekspor batu bara merefleksikan Indonesia harus segera
bertindak efektif dalam menanggulanginya.
Ironisnya,
pembenahan-pembenahan yang saat ini dilakukan pemerintah bukanlah pembenahan
hulu, melainkan penanggulangan hilir, itu pun bersifat relatif. Selama ini,
pemerintah hanya di sekitar mengutak-atik APBN dan mengampanyekan hal-hal
kontemporer yang manfaatnya jauh lebih kecil ketimbang pembenahan sektor hulu
pengelolaan energi.
Contohnya,
kampanye mematikan lampu selama satu jam pada hari Bumi.
Padahal, keberhasilan banyak negara dalam kebijakan penghematan atau efisiensi energi ditentukan oleh kesuksesan dalam melakukan penghematan energi pada sistem infrastruktur energi dan sistem pengawasannya.
Padahal, keberhasilan banyak negara dalam kebijakan penghematan atau efisiensi energi ditentukan oleh kesuksesan dalam melakukan penghematan energi pada sistem infrastruktur energi dan sistem pengawasannya.
Fakta
menunjukkan, kebijakan diversifikasi energi Indonesia saat ini masih terlambat.
Pasalnya, pertumbuhan energi non-BBM cenderung lamban dan masih tingginya
konsumsi BBM. Dibutuhkan ketegasan pemerintah dalam mencanangkan
program-program diversifikasi energi beserta implementasinya di lapangan.
Pemerintah
telah meluncurkan visi energi jangka panjang hingga 2025. Pada tahun itu
pemerintah berharap terjadi perubahan bauran energi di Tanah Air, dengan tidak
lagi menjadikan BBM sebagai bahan bakar utama. Pada tahun tersebut, diharapkan
peran BBM dalam energi nasional hanya tersisa 20 persen sementara gas alam dan
batu bara meningkat menjadi 30 persen. Sedangkan energi terbarukan, yaitu panas
bumi dan biofuel berkontribusi sekitar 17 persen.
Konversi Minyak Tanah
Diperlukan
sejumlah langkah agar Indonesia bisa mencapai ketahanan energi. Pertama,
mengubah mentalitas minyak bumi menjadi mentalitas energi. Saat ini, langkah
awal pengalihan mentalitas tersebut sudah dilakukan melalui program
diversifikasi dan konservasi energi secara nasional dan terukur.
Berdasarkan
data yang dikeluarkan PT Pertamina (Persero), lebih dari 50 juta tabung elpiji
telah disalurkan ke seluruh masyarakat Indonesia di berbagai wilayah, mulai
dari Sabang sampai Merauke. Tingkat konsumsi elpiji juga mengalami lonjakan
yang sangat berarti, dari hanya 1,1 juta ton pada 2007 menjadi lebih dari 4,7
juta ton pada 2011.
Keberhasilan
pemerintah dan Pertamina dalam melakukan konversi minyak tanah ke elpiji ini
mendapat pengakuan dari negara-negara lain. Pada forum LPG internasional yang
diadakan di Doha, Qatar, Oktober 2011, negara-negara berkembang lainnya
menjadikan program konversi minyak tanah di Indonesia sebagai model
percontohan. Apabila kita mampu melakukan proses konversi minyak tanah ke
elpiji dengan sukses, seharusnya kita juga bisa melakukan konversi BBM ke bahan
bakar gas (BBG).
Langkah
kedua, memasukkan program konservasi dan diversifikasi energi ke dalam struktur
pembangunan nasional. Caranya, antara lain dengan memaksa konversi penggunaan
energi fosil yang tidak terbarukan ke energi terbarukan, seperti bahan bakar
nabati, panas bumi, tenaga air, dan tenaga surya atau bahkan nuklir.
Kemudian,
mempersiapkan infrastruktur energi termasuk perangkat hukum, riset, pembiayaan,
dan sumber daya manusia yang dibutuhkan. Kalau tidak disiapkan sejak sekarang,
sulit bagi Indonesia memasuki tahapan konversi energi berikutnya, yaitu dari
energi fosil menjadi energi terbarukan. Untuk transportasi yang masih
didominasi BBM, sebaiknya digunakan BBG.
Energi Panas Bumi
Indonesia
memiliki prospek yang cerah untuk pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT)
sebagai energi alternatif. Sumber energi yang ada sangat besar dan beragam,
seperti panas bumi, hydropower, bioenergi, energi surya, energi angin, dan
lainnya.
Sumber
energi terbarukan terbesar yang dimiliki Indonesia adalah hydropower yang mencapai 75 gigawatt (GW) dan panas bumi (29 GW).
Bahkan, Indonesia memiliki sumber energi panas bumi terbesar di dunia. Dari
potensi yang ada saat ini, yang dimanfaatkan hanya sebagian kecil, yaitu 5,6
persen untuk hydropower dan 4 persen
untuk panas bumi.
Memang,
barrier to entry dalam membangun hydropower lebih mudah apalagi untuk
skala yang kecil. Kita dapat bekerja sama langsung dengan pemda setempat untuk
mencari titik air yang memiliki debit air yang cukup tinggi, sehingga bisa
melewati proses pelelangan yang bisa saja akan memakan biaya lebih besar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar