Rabu, 09 Mei 2012

Ambiguitas Moratorium Haji


Ambiguitas Moratorium Haji
Mohammad Bisri; Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Batang
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 08 Mei 2012


SEJAK 2007, setelah pemerintah menerapkan kebijakan pendaftaran haji sepanjang tahun, saat ini pada data sistem komputerisasi haji terpadu (siskohat) tercatat 1.700.000 lebih calon haji (calhaj), dengan daftar tunggu antara 5 dan 12 tahun; mendasarkan kuota pemberangkatan per tahun dibagi di tiap provinsi dari kuota nasional 211.000. Jateng misalnya, dengan kuota 29.657 calhaj, daftar tunggunya sampai 10 tahun, yaitu hingga 2022.

Panjangnya daftar tunggu menimbulkan kecemasan terkait dengan kepastian berangkat, terutama bagi calhaj berusia lanjut atau yang mengidap penyakit berisiko tinggi. Belum lagi, akuntabilitas pengelolaan dana awal pendaftaran haji Rp 25 juta/ per orang. Dari dua problem pokok itu, penyelenggaraan ibadah haji akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan. Kendala yang dihadapi tidak hanya di dalam negeri tetapi juga saat di Tanah Suci.

Rektor UNS Surakarta Prof Dr Ravik Karsidi MS misalnya mengatakan, salah satu yang cukup krusial dalam penyelenggaraan ibadah haji adalah terkait posisi Kementerian Agama (Kemenag) sebagai regulator sekaligus operator, seperti tercantum dalam UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Tapi usulan senada agar penyelenggaraan haji dilakukan badan khusus di luar Kemenag Agama atau swastanisasi karena Kemenag dianggap kurang profesional.

Bahkan guna mengurai persoalan itu, 12 April lalu UNS menyelenggarakan seminar internasional bertajuk ‘’Management and Governance of Hajj: Comparation of Indonesian and Egypt’’. Sebelumnya, salah seorang Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengusulkan pendaftaran ibadah haji dihentikan sementara (moratorium) mengingat dana awal pendaftaran yang sudah disetor masyarakat rawan diselewengkan.

Jika ada kekhawatiran setoran awal biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) diselewengkan, solusi dengan menghentikan sementara pendaftaran tidak tepat, Pertama; bertentangan dengan Pasal 4, 5, dan 6 UU Nomor 13 Tahun 2008. Di lapangan, pembatasan keberangkatan tiap tahun saja menuai protes. Bahkan calhaj lanjut usia atau mereka yang mengidap penyakit berisiko tinggi ngotot berangkat.

Bila kemudian Kepala Pusat Studi Ekonomi Islam LPPM UNS Surakarta Dr HM Hudi Asrori SH MHum berkesimpulan pendaftaran haji sepanjang tahun menimbulkan dampak negatif (republika, 12/04/12) itu pendapat yang terlalu dini.  

Swastanisasi Haji

Kedua; langkah tepat membuktikan ada penyelewengan dana setoran haji adalah dengan mengaudit, bukan moratorium mengingat tugas KPK bukan dalam tataran konsep atau menyusun aturan. Ketiga; terus mendorong Menag melobi Kerajaan Arab Saudi supaya menambah kuota. Kalau tahun lalu mendapat tambahan 10 ribu sehingga menjadi 220 ribu, diharapkan tahun ini Indonesia bisa mendapat tambahan kuota 30-70 ribu. Dengan demikian, jumlah antrean 1,7 juta calhaj bisa cepat berkurang.

Bila Kemenag yang sudah berpuluh-puluh tahun mengelola ibadah haji dianggap tidak profesional, lantas siapa yang dianggap profesional, dan seperti apa kriterianya. Bila penyelenggaraan ibadah haji ditangani oleh badan khusus atau swasta, berarti badan itu harus membangun kantor di 33 provinsi, ditambah mendirikan kantor di tingkat kabupaten/ kota yang jumlahnya 480 daerah.

Belum lagi anggaran untuk menggaji pegawai baru. Jika demikian, dipastikan ongkos haji akan jauh lebih mahal ketimbang sekarang karena calhaj harus menanggung biaya operasional, fasilitas, pajak, dan pengeluaran lainnya.

Keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji sebaiknya dilihat bagaimana jamaah haji berhasil menunaikan ibadah mereka dengan sempurna. Prinsip penyelenggaraan ibadah haji tak sekadar mengedepankan sisi manajemen dan keilmuan tapi yang tidak kalah penting juga memperhatikan aspek ritual, spiritual, dan keimanan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar