Ambiguitas Moratorium Haji
Mohammad Bisri; Kepala Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Batang
SUMBER : SUARA
MERDEKA, 08 Mei 2012
SEJAK 2007, setelah pemerintah menerapkan
kebijakan pendaftaran haji sepanjang tahun, saat ini pada data sistem
komputerisasi haji terpadu (siskohat) tercatat 1.700.000 lebih calon haji
(calhaj), dengan daftar tunggu antara 5 dan 12 tahun; mendasarkan kuota
pemberangkatan per tahun dibagi di tiap provinsi dari kuota nasional 211.000.
Jateng misalnya, dengan kuota 29.657 calhaj, daftar tunggunya sampai 10 tahun,
yaitu hingga 2022.
Panjangnya daftar tunggu menimbulkan
kecemasan terkait dengan kepastian berangkat, terutama bagi calhaj berusia
lanjut atau yang mengidap penyakit berisiko tinggi. Belum lagi, akuntabilitas
pengelolaan dana awal pendaftaran haji Rp 25 juta/ per orang. Dari dua problem
pokok itu, penyelenggaraan ibadah haji akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan.
Kendala yang dihadapi tidak hanya di dalam negeri tetapi juga saat di Tanah
Suci.
Rektor UNS Surakarta Prof Dr Ravik Karsidi MS
misalnya mengatakan, salah satu yang cukup krusial dalam penyelenggaraan ibadah
haji adalah terkait posisi Kementerian Agama (Kemenag) sebagai regulator
sekaligus operator, seperti tercantum dalam UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji. Tapi usulan senada agar penyelenggaraan haji
dilakukan badan khusus di luar Kemenag Agama atau swastanisasi karena Kemenag
dianggap kurang profesional.
Bahkan guna mengurai persoalan itu, 12 April
lalu UNS menyelenggarakan seminar internasional bertajuk ‘’Management and Governance of Hajj: Comparation of Indonesian and Egypt’’.
Sebelumnya, salah seorang Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengusulkan
pendaftaran ibadah haji dihentikan sementara (moratorium) mengingat dana awal
pendaftaran yang sudah disetor masyarakat rawan diselewengkan.
Jika ada kekhawatiran setoran awal biaya
penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) diselewengkan, solusi dengan menghentikan
sementara pendaftaran tidak tepat, Pertama; bertentangan dengan Pasal 4, 5, dan
6 UU Nomor 13 Tahun 2008. Di lapangan, pembatasan keberangkatan tiap tahun saja
menuai protes. Bahkan calhaj lanjut usia atau mereka yang mengidap penyakit
berisiko tinggi ngotot berangkat.
Bila kemudian Kepala Pusat Studi Ekonomi
Islam LPPM UNS Surakarta Dr HM Hudi Asrori SH MHum berkesimpulan pendaftaran
haji sepanjang tahun menimbulkan dampak negatif (republika, 12/04/12) itu
pendapat yang terlalu dini.
Swastanisasi
Haji
Kedua; langkah tepat membuktikan ada
penyelewengan dana setoran haji adalah dengan mengaudit, bukan moratorium
mengingat tugas KPK bukan dalam tataran konsep atau menyusun aturan. Ketiga;
terus mendorong Menag melobi Kerajaan Arab Saudi supaya menambah kuota. Kalau
tahun lalu mendapat tambahan 10 ribu sehingga menjadi 220 ribu, diharapkan
tahun ini Indonesia bisa mendapat tambahan kuota 30-70 ribu. Dengan demikian,
jumlah antrean 1,7 juta calhaj bisa cepat berkurang.
Bila Kemenag yang sudah berpuluh-puluh tahun
mengelola ibadah haji dianggap tidak profesional, lantas siapa yang dianggap
profesional, dan seperti apa kriterianya. Bila penyelenggaraan ibadah haji
ditangani oleh badan khusus atau swasta, berarti badan itu harus membangun
kantor di 33 provinsi, ditambah mendirikan kantor di tingkat kabupaten/ kota
yang jumlahnya 480 daerah.
Belum lagi anggaran untuk menggaji pegawai
baru. Jika demikian, dipastikan ongkos haji akan jauh lebih mahal ketimbang
sekarang karena calhaj harus menanggung biaya operasional, fasilitas, pajak,
dan pengeluaran lainnya.
Keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji
sebaiknya dilihat bagaimana jamaah haji berhasil menunaikan ibadah mereka
dengan sempurna. Prinsip penyelenggaraan ibadah haji tak sekadar mengedepankan
sisi manajemen dan keilmuan tapi yang tidak kalah penting juga memperhatikan
aspek ritual, spiritual, dan keimanan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar