Memolitisasi Kekerasan
Ismatillah A Nu’ad; Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas
Paramadina Jakarta
SUMBER : SUARA
MERDEKA, 08 Mei 2012
KONFLIK di Solo pada Jumat (4/5) antara
ribuan warga dan anggota sebuah ormas, penuh nuansa politis ketimbang konflik
murni. Solo selama ini telanjur dikenal sebagai kota adem-ayem dan terkenal
kesantunan dan kesopanannya. Bahkan ada adagium manten solo untuk menggambarkan
kehalusan karakter orang Solo.
Wali Kota Solo Jokowi yang sedang gencar kampanye
di Jakarta terkait keikutsertaannya dalam Pilgub DKI, hari itu juga segera
kembali ke Solo menenangkan para pihak yang terlibat. Apakah konflik Solo
terkait sebagai black campaign, atau muara dari pesanan Jakarta? Hal itu masih
perlu pembuktian mengingat dalam politik semuanya serbaabu-abu.
Dalam politik semua bisa terjadi, termasuk
memprovokasi, menghasut, dan memfitnah demi tujuan tertentu, misalnya
menjatuhkan popularitas seseorang. Menurut Erich Fromm (1900-1980), secara
naluri manusia memiliki agresi defensif atau ofensif yang secara insting
dapat bereaksi menyerang atau melarikan diri jika kepentingan hayatinya
terancam, atau sebaliknya bila nyawa, kesehatan, kebebasan, atau kekayaannya
terancam.
Meskipun tak sekaku naluri binatang, tidak
kurang bukti bahwa umumnya termotivasi oleh kecenderungan yang terprogram
secara instingtif dalam agresi defensif. Dalam balutan naluri itu, manusia
kadang memilih jalan kekerasan ketimbang dialog. Seandainya konflik Solo dipicu
oleh kesenjangan atau murni kerusuhan sosial, bisa diselesaikan melalui dialog.
Pilpres
2014
Dalam dialog ada proses diskursif yang
berujung pada penemuan suatu solusi dan kesepahaman. Menurut Hans Kung (1999)
dalam Global Ethic, dialog harus dilakukan secara demonstratif, yakni mengemukakan
pendapat sepanjang-panjangnya sesuai kadar kebenaran yang dimiliki seseorang.
Namun itu tidaklah mutlak benar karena ada kemungkinan salah. Karenanya,
seseorang seyogianya menerima dulu pendapat orang lain.
Kalangan intelijen menduga konflik Solo lebih
bernuansa politis. Jadi, warga Solo sebaiknya perlu lebih waspada bahwa kota
mereka berisiko menjadi sasaran empuk lahan provokasi, mengingat wali kotanya
tengah bermain politik di Jakarta.
Kekerasan atas dalih apa pun tak dapat dibenarkan
tapi politik membuat semuanya bisa saja terjadi, termasuk membunuh.
Singkir-menyingkirkan seperti menjadi hal yang lazim dalam praksis politik.
Dugaan black
campaign tampak kuat, mengingat popularitas Jokowi dalam Pilgub DKI cukup
signifikan. Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 8 April lalu
menempatkan dia pada urutan kedua, sedangkan hasil survei Laboratorium FISIP
Universitas Nasional Jakarta di 6 wilayah DKI yang diumumkan 2 Mei lalu
menempatkan dia pada urutan ketiga (SM, 07/05/12).
Keterlibatan para elite dalam konflik bukan
hal aneh dalam sejarah modern Indonesia. Harold Crouch dalam Militer dan
Politik di Indonesia (1986) menyebutkan keterlibatan pihak intelijen tertentu
dalam berbagai bisnis, bahkan bisnis kelas kakap.
Boleh jadi, Solo kini sedang menjadi sasaran
empuk alat provokasi intelijen oleh pihak-pihak tertentu dari elite Jakarta
mengingat karisma besar Jokowi. Sangat boleh jadi, bila dia memenangi Pilgub
DKI 11 Juli mendatang, PDI-P tertarik menggandengnya untuk Pilpres 2014. Makin
tinggi pohon makin kuat pula angin meniupnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar