Rabu, 09 Mei 2012

Memolitisasi Kekerasan


Memolitisasi Kekerasan
Ismatillah A Nu’ad; Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 08 Mei 2012


KONFLIK di Solo pada Jumat (4/5) antara ribuan warga dan anggota sebuah ormas, penuh nuansa politis ketimbang konflik murni. Solo selama ini telanjur dikenal sebagai kota adem-ayem dan terkenal kesantunan dan kesopanannya. Bahkan ada adagium manten solo untuk menggambarkan kehalusan karakter orang Solo.

Wali Kota Solo Jokowi yang sedang gencar kampanye di Jakarta terkait keikutsertaannya dalam Pilgub DKI, hari itu juga segera kembali ke Solo menenangkan para pihak yang terlibat. Apakah konflik Solo terkait sebagai black campaign, atau muara dari pesanan Jakarta? Hal itu masih perlu pembuktian mengingat dalam politik semuanya serbaabu-abu.

Dalam politik semua bisa terjadi, termasuk memprovokasi, menghasut, dan memfitnah demi tujuan tertentu, misalnya menjatuhkan popularitas seseorang. Menurut Erich Fromm (1900-1980), secara naluri manusia memiliki agresi defensif  atau ofensif yang secara insting dapat bereaksi menyerang atau melarikan diri jika kepentingan hayatinya terancam, atau sebaliknya bila nyawa, kesehatan, kebebasan, atau kekayaannya terancam.

Meskipun tak sekaku naluri binatang, tidak kurang bukti bahwa umumnya termotivasi oleh kecenderungan yang terprogram secara instingtif dalam agresi defensif. Dalam balutan naluri itu, manusia kadang memilih jalan kekerasan ketimbang dialog. Seandainya konflik Solo dipicu oleh kesenjangan atau murni kerusuhan sosial, bisa diselesaikan melalui dialog.

Pilpres 2014

Dalam dialog ada proses diskursif yang berujung pada penemuan suatu solusi dan kesepahaman. Menurut Hans Kung (1999) dalam Global Ethic, dialog harus dilakukan secara demonstratif, yakni mengemukakan pendapat sepanjang-panjangnya sesuai kadar kebenaran yang dimiliki seseorang. Namun itu tidaklah mutlak benar karena ada kemungkinan salah. Karenanya, seseorang seyogianya menerima dulu pendapat orang lain.

Kalangan intelijen menduga konflik Solo lebih bernuansa politis. Jadi, warga Solo sebaiknya perlu lebih waspada bahwa kota mereka berisiko menjadi sasaran empuk lahan provokasi, mengingat wali kotanya tengah bermain politik di Jakarta.

Kekerasan atas dalih apa pun tak dapat dibenarkan tapi politik membuat semuanya bisa saja terjadi, termasuk membunuh. Singkir-menyingkirkan seperti menjadi hal yang lazim dalam praksis politik.

Dugaan black campaign tampak kuat, mengingat popularitas Jokowi dalam Pilgub DKI cukup signifikan. Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 8 April lalu menempatkan dia pada urutan kedua, sedangkan hasil survei Laboratorium FISIP Universitas Nasional Jakarta di 6 wilayah DKI yang diumumkan 2 Mei lalu menempatkan dia pada urutan ketiga (SM, 07/05/12).

Keterlibatan para elite dalam konflik bukan hal aneh dalam sejarah modern Indonesia. Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1986) menyebutkan keterlibatan pihak intelijen tertentu dalam berbagai bisnis, bahkan bisnis kelas kakap.

Boleh jadi, Solo kini sedang menjadi sasaran empuk alat provokasi intelijen oleh pihak-pihak tertentu dari elite Jakarta mengingat karisma besar Jokowi. Sangat boleh jadi, bila dia memenangi Pilgub DKI 11 Juli mendatang, PDI-P tertarik menggandengnya untuk Pilpres 2014. Makin tinggi pohon makin kuat pula angin meniupnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar