Reformasi Energi Dalam Negeri
Mu’amar Wicaksono; Alumnus Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran
SUMBER : SUARA
KARYA, 08 Mei 2012
Pembatasan bahan bakar minyak (BBM) yang sedianya diberlakukan
mulai 1 Mei 2012 kembali batal. Rencana pembatasan BBM bersubsidi ini
dimaksudkan untuk menyelamatkan anggaran negara dari pembengkakkan subsidi yang
belakangan kian membesar dan bisa dibilang sebagai akibat penundaan kenaikan
BBM bersubsidi yang sedianya diplot naik per 1 April 2012.
Seperti kita ketahui bersama, BBM bersubsidi faktanya lebih banyak
digunakan oleh golongan masyarakat menengah ke atas. Karena, golongan inilah
yang mempunyai kendaraan pribadi, baik motor maupun mobil yang memang
menggunakan BBM.
Namun, tarik ulur yang dilakukan pemerintah terkait kebijakan
pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, tak pelak menimbulkan kekhawatiran
masyarakat. Bagaimana tidak? Pembatasan BBM mengharuskan masyarakat yang
mempunyai mobil dengan CC 1.500 ke atas menggunakan pertamax. Hal ini dinilai
lebih memberatkan dibandingkan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi
sebelumnya, yakni dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.000 per liter. Otomatis
masyarakat yang memiliki mobil dengan cc 1.500 ke atas harus mempersiapkan
menambah budget lebih besar untuk mendapatkan bensin per liternya dibanding
jika harga BBM subsidi tersebut jadi dinaikkan pada April lalu.
Selain itu, masyarakat pun telah dihadapkan dengan persoalan
kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang semakin melambung tinggi,
walaupun pembatasan BBM bersubsidi belum mendapatkan kepastian. Bukan tidak
mungkin, harga kebutuhan pokok akan semakin meroket naik, apabila pembatasan
BBM bersubsidi jadi dilaksanakan. Masalahnya, ongkos produksi atas kebutuhan
bahan pokok praktis akan menjadi semakin besar.
Energi Alternatif
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia bukan lagi menjadi
negara pengeskpor minyak sejak mundurnya Indonesia dari keanggotaan Organization of the Petroleum Exporting
Countries (OPEC) tahun 2008. Produksi minyak Indonesia saat ini rata-rata
mencapai 930 ribu barel per hari (bph), padahal jumlah kebutuhan bahan bakar
minyak (BBM) di dalam negeri rata-rata diperkirakan 1,4 juta bph. Oleh sebab
itu, untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, kita harus mengimpor BBM yang
menyebabkan membengkaknya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Untuk mencegah agar hal tersebut tidak terjadi kembali di masa
yang akan datang, pemerintah harus dengan segera memikirkan cara terbaik untuk
mengurangi konsumsi pemakaian BBM, selain dengan memberlakukan pembatasan BBM
bersubsidi. Salah satunya, wacana konversi dari penggunaan BBM ke bahan bakar
gas (BBG) perlu segera direalisasikan.
Konversi BBM ke BBG dinilai lebih menguntungkan konsumen, karena
BBG memiliki oktan 130 dan harganya setara dengan Rp 3.100 harga per liter,
sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan harga premium bersubsidi saat ini
(Rp 4.500 per liter) dan hanya memiliki kadar oktan 88. Selain oktannya lebih
tinggi dan harganya lebih murah dibandingkan dengan premium, BBG juga ramah
lingkungan karena tidak mengandung SO2/NOx (sulfur dioksida/nitrogen monoksida).
Namun, untuk merealisasikan hal tersebut tentu bukan perkara
mudah. Sosialisasi secara menyeluruh tentang konversi penggunaan BBM ke BBG perlu
dilakukan secara inyensif. Ini penting agar masyarakat tidak ragu-ragu lagi
terkait keamanan penggunaan BBG yang tentunya juga harus diikuti dengan
pembangunan dan penyedian infrastruktur dalam menunjang konversi dari BBM ke
BBG.
Dalam hal ini, dukungan pemerintah kepada industri-industri dalam
negeri untuk menciptakan converter kit dengan harga terjangkau masyarakat,
perlu dilakukan. Sehingga, hal tersebut tidak terasa memberatkan masyarakat.
Dengan sosialisasi dan promosi yang intensif, diharapkan convertir kit buatan dalam negeri bisa diterima dengan baik oleh
masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, produk hasil produksi dalam negeri
tentunya juga harus berkualitas dan bisa bersaing dengan produk serupa dari
impor.
Selain itu, pemerintah juga dapat membangkitkan kembali penggunaan
bahan bakar nabati (biofuel), seperti
biodiesel dan bioetanol. Keduanya dapat dijadikan sebagai salah satu energi
alternatif yang dapat digunakan untuk mengantisipasi menipisnya cadangan BBM.
Namun, dengan kenyataan bahwa biaya produksi pembuatan biofuel masih di atas BBM, membuat
banyak pihak terkesan malas menggarap biofuel.
Padahal, biofuel seharusnya menjadi
potensi ekonomi yang sangat besar di Indonesia. Sebab, bisa diproduksi oleh
rumah tangga. Biofuel bisa diproduksi dari sumber yang terbarukan mulai dari
biji jarak pagar, atau jathropa, kelapa sawit, singkong, aren, hingga alga yang
dengan mudah dikembangbiakkan di laut. Akan tetapi, adanya subsidi secara
besar-besaran dan terus-menerus yang diberikan pemerintah membuat satu per satu
produsen biofuel gulung tikar karena
tidak mampu bersaing dengan BBM.
Perlu juga diingat, untuk merealisasikan hal itu semua, tidak
cukup dengan menumpukan peran kepada pemerintah saja. Sebagai bagian dari warga
bangsa, kita harus mendukung adanya konversi bahan bakar tersebut, karena tanpa
dukungan dari masyarakat, hal itu akan sulit untuk diwujudkan. Kita dapat
mencontoh konversi minyak tanah ke gas, walaupun pada awalnya banyak masyarakat
yang menolak adanya konversi tersebut, namun pada akhirnya dengan kerja sama
antara pemerintah dan masyarakat, konversi tersebut dapat terealisasikan dan
berjalan lancar hingga saat ini.
Dengan demikian diperlukan kerja sama yang baik antara pemerintah
dan masyarakat untuk menyelesaiakan permasalahan ini. Kita sebagai anggota
masyarakat jangan hanya bisa menuding kebobrokan pemerintah, tetapi terkadang
kita lupa atas apa yang kita lakukan sendiri. Masyarakat harus ikut berbenah
diri karena ini merupakan permasalahan bersama bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar