Selasa, 20 Desember 2011

Bakar Diri dalam Demokrasi SBY


Bakar Diri dalam Demokrasi SBY
Fajar Riza Ul Haq, DIREKTUR EKSEKUTIF MAARIF INSTITUTE FOR CULTURE AND HUMANITY
Sumber : KOMPAS, 20 Desember 2011


Sondang Hutagalung telah pergi meninggalkan kita selamanya, Sabtu (10/12) sore. Meski kepolisian belum menyampaikan pernyataan resmi terkait motif, aksi bakar diri Sondang di depan Istana Negara (7/12) merefleksikan anomali akut dalam pemerintahan SBY-Boediono.

Sahabat Munir, komunitas tempat mahasiswa Universitas Bung Karno ini aktif memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan, meyakini bahwa aksi bakar diri Sondang adalah sikap politik dan pilihan strateginya. Aksi bakar dirinya merupakan protes terhadap kondisi bangsa dan negara yang jauh dari keadilan dan kesejahteraan. Di sisi lain, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin menilai ekspresi protes melalui aksi membakar diri merendahkan martabat kemanusiaan (Kompas, 8/12).

Dalam konteks perjuangan politik di Indonesia, paling tidak sejak era reformasi, aksi bakar diri Sondang merupakan yang pertama terjadi. Peristiwa ini sangat menyengat nurani karena terjadi dalam kondisi politik yang demokratis. Dalam sejarah perjuangan politik modern, Josh Sanburn mencatat bahwa aksi membakar diri pertama kali dilakukan oleh seorang biksu, Thich Quang Duc, 11 Juni 1963, di Vietnam selatan (Time, 20/1/11). Quang Duc memprotes keras kebijakan diskriminatif rezim Ngo Dinh Diem terhadap para biksu dengan cara membakar diri di jalanan kota Saigon.

Aksi Quang Duc telah ditiru banyak gerakan perlawanan politik di pelbagai belahan dunia. Seperti dicatat Sanburn, membakar diri juga dipilih Czechoslavaks untuk memprotes invasi Soviet (1968), lima mahasiswa Indian memprotes kuota pekerjaan (1990), warga Kurdi saat memprotes Turki (1999), dan pengikut Falun Gong memprotes kebijakan China di Lapangan Tiananmen (2009).

Awal tahun ini dunia pun dikejutkan oleh kejatuhan Presiden Tunisia Ben Ali. Pemicunya adalah aksi bakar diri Mohamed Bouazizi. Tindakan tukang sayur Tunisia ini mulai dijiplak para pendemo di negara-negara Afrika yang merasa frustrasi dan buntu dengan mekanisme perjuangan politik formal.

Sejumlah biksu dan biksuni mengikuti aksi Quang Duc dalam menentang kebijakan represif Pemerintah China terhadap gerakan pembebasan Tibet. Pertengahan Oktober lalu, seorang biksu Tibet di Kathmandu, Nepal, membiarkan jasadnya dilahap api (Huffington Post, 11/10).

Anomali dalam Demokrasi

Mengapa aksi membakar diri menjadi pilihan perjuangan para biksu Tibet? Jawaban Kyabje Kirti Rinpoche sangat jelas, sebagaimana dilaporkan Jonathan Watts. ”Mereka tak lagi memiliki pilihan untuk mengekspresikan penentangannya terhadap Pemerintah China kecuali melalui bentuk ekstrem aksi tanpa kekerasan. Aksi mereka tidak menyakiti satu pun warga China” (the Guardian, 16/11).

Menariknya, Rinpoche menyebut aksi bakar diri sebagai tindakan ekstrem dari perlawanan tanpa kekerasan. Kontras dengan model perjuangan nirkekerasan Mahatma Gandhi.

Sistem politik China dan pendekatan represif Beijing terhadap persoalan Tibet membuat kita bisa memahami munculnya fenomena perlawanan dengan membakar diri. Membakar diri adalah bentuk perlawanan politik radikal.

Namun, dalam konteks Indonesia, posisinya menjadi unik. Pemerintah getol mempromosikan Indonesia sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Reformasi politik dan hukum diklaim mengalami peningkatan pesat. Laporan Freedom House 2010 menempatkan Indonesia dalam koridor negara bebas.

Hemat saya, kehadiran aksi bakar diri dalam ruang publik kita merupakan dampak ekstrem dari sejumlah kebijakan negara yang mengingkari substansi demokrasi politik dan negara hukum yang berkeadilan. Para pencari keadilan dipenjarakan oleh kekumuhan budaya aparat hukum. Suara rakyat dibungkam oleh kebebalan mentalitas elite dan politisi. Demokrasi didikte hanya oleh segelintir kepala. Inilah anomali akut dalam demokrasi kita.

Tentu kita berharap pilihan radikal yang ditempuh Sondang Hutagalung menjadi yang terakhir sekaligus menjadi titik mula. Terakhir untuk pengorbanan jiwa seorang anak bangsa demi keadilan dan kebenaran. Dan, ia menjadi titik mula bagi terbukanya kesadaran pemerintah untuk segera mengakhiri produksi kebijakan yang telah melahirkan banyak korban kekerasan struktural. Jangan biarkan para pencari keadilan mencari jalan selain politik demokrasi yang memanusiakan.

Izinkan penulis mengakhiri tulisan ini dengan puisi Cesaire yang dikutip Frantz Fanon (2000:65), ”Namaku sakit hati/nama baptisku penghinaan/statusku pemberontak/usiaku seusia batu.// Rasku ras manusia, agamaku persaudaraan”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar