Sinbad
si Pelaut
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
23 Maret 2014
Pernah
dengar cerita tentang Sinbad si Pelaut? Ini dia salah satunya. Nona dan Abi
adalah sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta. Mereka tinggal di suatu
daerah yang dipisahkan oleh sebuah sungai yang penuh dengan buaya.
Meskipun
tempat tinggal mereka dipisahkan oleh sungai itu, mereka dapat saling
berkunjung melalui jembatan kecil. Pada suatu hari terjadi badai besar yang
meruntuhkan dan menghanyutkan jembatan tersebut. Pasangan kekasih itu sangat
menderita oleh karenanya. Lenyaplah satu-satunya cara untuk bertemu. Nona
berdiri di tepi sungai setiap hari, menantikan terjadinya mukjizat.
Pada
suatu hari Sinbad, seorang pelaut, berlayar di sepanjang sungai itu mendekati
tempat tinggal Nona. Gadis itu memanggilnya dan meminta mengantarkan ke
seberang sungai untuk menjumpai Abi. Sinbad merasa gembira atas permintaan
itu dan berkata: ”Tentu saja! Saya akan
dengan senang hati membawamu ke seberang tetapi ada syaratnya, kau harus
tidur denganku dulu!” Nona menangis mendengar syarat yang diajukan
Sinbad. Dia belum pernah berhubungan seks dengan siapa pun.
Dia
memutuskan untuk meminta nasihat seorang teman yang bernama Iwan. Ternyata
Iwan bersikap acuh tak acuh dan dingin terhadap persoalan ini. Dia hanya
berpangku tangan dan berkata kepada Nona : ”Itu urusanmu, saya tak ingin terlibat.” Jawaban Iwan yang begitu
dingin membuat Nona berpikir berkali-kali mengenai masalah yang dihadapinya
itu. Akhirnya Nona memutuskan untuk memenuhi tuntutan Sinbad.
Ketika
akhirnya Nona bertemu dengan Abi pada hari berikutnya, diceritakannya kepada
Abi semua yang telah terjadi dan bagaimana sulitnya dia berjuang untuk
membuat keputusan ini. Abi sangat marah atas apa yang telah dilakukan oleh
Nona dan dia mengusir gadis itu supaya tidak kembali lagi. Gadis yang malang
itu berlutut dan merangkul Abi sambil menangis, memohon supaya Abi tidak
meninggalkannya, tetapi anak muda itu tidak menghiraukannya.
Maka
Nona pergi kepada teman lainnya yang bernama Badi. Setelah diceritakan
kisahnya dari awal sampai akhir, Badi memutuskan untuk menemui Abi, dia
menghajar Abi habis-habisan, bagaimanapun, mengapa seorang seperti Abi sampai
hati memperlakukan gadis semanis Nona sedemikian rupa?
Setelah
membaca kisah Sinbad di atas, cobalah menjawab pertanyaan ini: dari kelima
orang itu, siapakah yang Anda anggap paling salah? Buatlah urutan (peringkat)
dari kelima orang itu berdasarkan berat ringannya kesalahan masingmasing
berikut alasan-alasan mengapa Anda sampai pada urutan demikian? Ambil waktu
sejenak untuk memikirkan jawaban Anda sebelum melanjutkan membaca tulisan
ini.
Saya
percaya bahwa Anda semua bisa menjawab pertanyaan-petanyaan di atas. Apa pun
alasan Anda, tidak sulit mengurutkan siapa yang bersalah berdasarkan kriteria
Anda sendiri. Misalnya, Anda pikir Sinbadlah yang paling kurang ajar karena
dia sudah melanggar norma agama dan menyalahi UU Hak Asasi Perawan.
Tapi
cobalah Anda minta beberapa orang lain untuk menjawab pertanyaan yang sama.
Anda akan tercengang mengetahui bahwa ada orang yang menyatakan Nonalah yang
paling salah karena dia tidak mampu menjaga dirinya sendiri, tidak beriman,
tidak bertakwa. Sementara Sinbad hanya seorang pedagang, wajarlah kalau dia
meminta imbalan atas jasa yang sudah diberikannya.
Dan Anda
akan lebih tercengang lagi ketika ada yang menyalahkan Iwan yang cuek saja
dan tidak mau membantu untuk mengatasi masalah Nona. Kalau Iwan mau membantu,
misalnya dengan menemani Nona menyeberang dengan kapal Sinbad dan membayari
ongkos penyeberangan kepada Sinbad, maka Nona tidak akan diperkosa Sinbad,
Abi akan berterima kasih kepada Iwan, dan Badi tidak perlu memukuli Iwan
sampai berdarah-darah.
Demikianlah
seterusnya. Makin banyak orang, makin banyak juga pendapat dan
alasanalasannya. Masalah akan timbul jika orang-orang yang banyak itu harus
mencari kesepakatan mana yang paling salah dan mana yang paling benar dalam
cerita Sinbad tersebut.
Saya
menemukan dalam banyak diskusi kelompok untuk mencari kesepakatan atas
persoalan Sinbad ini (biasa dilakukan dalam pelatihan-pelatihan kerja sama
kelompok), pencapaian kesepakatan itu sangat alot, bahkan ada yang sampai
menunjuk-nunjuk lawan diskusinya atau bahkan menggebrak meja saking marahnya
gara-gara sama-sama ngotot tidak mau mengalah tentang siapa yang paling
salah.
Sebaliknya
ada peserta yang selama diskusi diam saja dan ikut saja dengan pendapat
orang. Ketika ditanya dalam evaluasi pascadiskusi, peserta yang diam itu
menyatakan bahwa ia mengalah saja supaya diskusi cepat selesai, padahal
sebenarnya dongkol kepada peserta yang paling vokal, yang menurutnya sombong
banget, dan semua orang nurut sama dia, padahal pendapatnya salah.
Nah,
kalau diskusi yang sama terjadi bukan dalam kelompok kecil, melainkan
antarseluruh eksponen bangsa dan isunya bukan tentang Sinbad, tetapi tentang
siapa yang salah sehingga banyak anggota DPR/D dan oknum pemerintah korupsi,
diskusinya tidak akan selesai-selesai. Yang satu akan menyalahkan yang lain
dan solusinya juga akan berbeda-beda.
Ada yang
menyarankan hukuman mati buat semua koruptor (dengan cara digantung di
Monas), ada yang menyarankan Wakil Presiden dilengserkan saja karena dialah
biang korupsi dalam kasus Bank Century (walaupun sebentar lagi dia pun akan
lengser sendiri), ada lagi yang mau menegakkan hukum syariah (harga mati!),
tetapi ada juga yang menyalahkan KPK, karena itu KPK dibubarkan saja!
Namun jika diskusi berlarut-larut terus, bahkan dikompori
terus melalui debat-debat di media massa supaya seru untuk mencapai rating
yang tinggi, kapan kita akan mulai bekerja? Pada suatu titik demokrasi harus
diikat dengan kesimpulan yang jelas dan tegas (walaupun mungkin belum tentu
sepenuhnya benar) sehingga kita semua bisa mulai bekerja untuk mencapai
sesuatu yang lebih baik. Kalau tidak, kita akan terus berputar-putar, jalan di
tempat, sementara negara-negara di sekitar kita sudah melesat maju. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar