Motif
dan Kejahatan
Tb Ronny Rachman Nitibaskara ; Kriminolog;
Penasihat Ahli
Kapolri Bidang Kriminologi dan Hukum
|
KOMPAS,
24 Maret 2014
AKHIR-akhir
ini kejahatan kekerasan berupa pembunuhan kembali marak.
Belum
hilang keterkejutan masyarakat terhadap kasus pembunuhan Ade Sara oleh
sepasang kekasih, di Jakarta, khalayak kembali dihebohkan kasus pembunuhan di
Jawa Barat yang dilakukan oleh seorang ibu (D) terhadap anak kandungnya.
Dalam waktu yang tak terlalu berjauhan, di Tangerang, Banten, juga terjadi
pembunuhan yang dilakukan Ir terhadap bos toko kelontong, Hj. Korban tewas
dengan beberapa luka tusukan.
Tahun
lalu, publik juga dikagetkan oleh beberapa kasus pembunuhan sadis. Satu di
antaranya adalah pembunuhan terhadap anak berusia 4 tahun berinisial F oleh
S, di Surabaya. Jasad F dicor dengan semen, lalu dijadikan patung oleh
pelaku.
Hubungan
pelaku dan korban dalam beberapa contoh kasus di atas ternyata saling mengenal.
Betapa mengagetkan sejoli yang membunuh Ade Sara. Pelaku H adalah bekas
kekasih Ade Sara. Pembunuh anak balita F ternyata kenal dengan ayah korban.
Alhasil, dalam sejumlah kasus, pelaku dan korban selain saling kenal juga
tidak jarang memiliki hubungan sedarah, seperti pembunuhan anak kandung oleh
D.
Mengapa
orang yang saling kenal, bahkan memiliki hubungan sedarah, melakukan
pembunuhan? Dalam literatur kriminologi terdapat suatu perspektif classical
yang menjelaskan bahwa hingga kini dalam masyarakat masih terdapat sejumlah
orang yang tak memiliki rasa takut terhadap sanksi apa pun, baik sanksi
sosial maupun hukum.
Pada
perspektif lain mengacu pada proses sosial. Dalam masyarakat terdapat
sejumlah orang yang tak sempat menikmati institusi konvensional, seperti
sekolah, pekerjaan, dan keluarga. Mereka umumnya bereaksi keras terhadap
tekanan hidup sehari- hari. Mereka adalah orang-orang yang tak memiliki
kepandaian atau keterampilan seperti dimiliki yang lain.
Dalam
mengekspresikan diri secara verbal, mereka berusaha menonjolkan diri agar
dihargai dan dihormati melalui cara-cara yang terkadang berkaitan dengan
ancaman fisik dan kekerasan. Beberapa contoh di atas menunjukkan perspektif
psychological behaviourist, yang memandang tindakan kekerasan mungkin
meningkatkan derajat/tingkat penggerak agresi.
Sementara
itu, terdapat perspektif lain dalam pendekatan kognitif, yang melihat
perkembangan sampai batas (titik) di mana mereka tak dapat memahami akibat
dari tindakan mereka. Contoh pembunuhan di atas menunjukkan, pembunuhan jenis
ini menyiratkan pelakunya tidak pernah berpikir dua kali sebelum membunuh
korbannya.
Perilaku dan motif pelaku
Beberapa
motif pembunuhan sadis itu kerap kali sepele atau sederhana. Sebegitu
sederhananya sehingga terkadang tak masuk akal. Seperti D yang menenggelamkan
anaknya yang berusia 2,5 tahun, beralasan ”mengirim ke surga”. Lebih menarik
lagi, keterangan itu ia sampaikan dengan ekspresi biasa. Ia merasa
tindakannya tepat untuk menghindarkan buah hatinya dari kesusahan hidup yang
dialaminya. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa tidak menutup kemungkinan D
harus menjalani pemeriksaan kejiwaan.
Perilaku
tidak masuk di akal juga ditunjukkan oleh kedua sejoli pelaku pembunuhan Ade
Sara. Setelah mereka membunuh, membuang korban, hingga korban disemayamkan,
mereka ”men-tweet” kalimat
belasungkawa di akun Twitter masing-masing. Bahkan, mereka juga melayat
korban ketika disemayamkan di RSCM. Perilaku tersebut mengindikasikan upaya
keduanya untuk ”cuci tangan”, menghindarkan diri dari kecurigaan sebagai
pelaku.
Kecenderungan
motif dan perilaku yang terkadang membuat kita mengernyitkan dahi tersebut
memang nyata dan terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tidak memandang apakah
dia orang berpendidikan tinggi, bekerja, memiliki kemampuan finansial,
ataupun tidak. Fenomena di atas juga tidak terlepas dari perspektif
psikoanalisis. Tak terpecahkan dalam konflik yang dihasilkan dalam trauma
sejak masa kanak-kanak mengakibatkan ketidakteraturan kepribadian dan tingkah
laku agresif seseorang.
Kenyataan
perilaku agresif tersebut sejalan dengan teori Freud yang berpendapat bahwa
manusia pada dasarnya memiliki dua insting dasar, yaitu insting seksual (libido) dan insting agresif atau
insting kematian (death instinc).
Insting seksual merupakan insting yang mendorong manusia untuk mempertahankan
hidup, mempertahankan jenis, atau melanjutkan keturunannya. Adapun insting
agresif yang mendorong manusia untuk menghancurkan manusia lain.
Tingkatan
laku agresif itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tingkatan laku
agresif yang mengandung kebencian (hostile)
dan tingkatan laku agresif yang memberikan kepuasan (reinforcement) tertentu. Tingkah laku hostile ditandai dengan
kepuasan yang diperoleh karena lawan menderita, luka, atau sakit. Tingkah
laku yang memberikan kepuasan (reinforcement)
ditandai dengan kepuasan yang diperoleh karena lawan gagal mencapai obyek
yang diinginkan.
Oleh
karena itu, berdasarkan uraian di atas, tidak mengherankan apabila tingkatan
laku agresif hostile dan reinforcement mendasari beberapa motif
dalam contoh kasus pembunuhan di atas. Namun, patut diingat, faktor insting
atau tingkatan laku agresif tersebut hanya salah satu elemen yang mendasari
pelaku. Masih banyak penyebab dominan lain dalam beberapa contoh kasus
pembunuhan itu sendiri.
Keragaman
motif dalam beberapa contoh kasus pembunuhan tersebut dapat dilihat ketika
pelaku, dalam kasus pembunuhan Ade Sara, bekas kekasih korban dan kekasih
barunya menyalurkannya melalui penyiksaan dan pembunuhan sehingga sakit hati
dan kebencian keduanya terpuaskan oleh meninggalnya korban. Demikian pula
pada beberapa pelaku, seperti D yang membunuh anak kandungnya sendiri
menyatakan ia cuma ”mengirim” anaknya ke surga.
Dengan
demikian, tak mengherankan jika terdapat banyak kemungkinan munculnya pelaku
dan calon pelaku pembunuhan dengan motif dan perilaku yang setiap saat siap
mewujudkan kedua tingkatan laku agresif di atas. Mereka ada di tengah-tengah
masyarakat dan berkeliaran di sekitar kita hingga kini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar