Jumat, 07 Maret 2014

Sedekah Suara untuk Caleg

Sedekah Suara untuk Caleg

Husnun N Djuraid  ;   Dosen Universitas Muhammadiyah Malang
SUARA MERDEKA,  06 Maret 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
"Di antara sekian banyak caleg, yakinilah tak semuanya jelek, masih ada yang layak mendapat sedekah suara"

MENJELANG hari pemungutan suara 9 April mendatang, intensitas kampanye para calon anggota legislatif (caleg) makin meningkat. Mereka menempuh berbagai cara untuk lebih mengenalkan diri kepada calon pemilih. Ada yang menggunakan cara baik, tapi tak sedikit yang menggunakan cara tidak benar. Di antaranya, yang paling banyak dilakukan, adalah praktik politik uang (money politics), membagikan-bagikan uang kepada calon pemilih.

Biasanya mereka membagikannya pada pagi buta, beberapa jam menjelang pemungutan suara, atau yang populer disebut serangan fajar. Aktivitas serangan fajar sudah menjadi hal biasa, bahkan hampir semua caleg percaya itulah cara yang paling ampuh untuk mendulang suara. Hampir tak ada pemenang pemilu, baik legislatif maupun kepala daerah, yang tidak melakukan serangan fajar.

Kebiasaan tersebut kemudian melekat pada sebagian masyarakat, seolah-olah sebagai ketentuan, mereka hanya mau memilih asal mendapatkan uang. Maka slogan wani pira menjadi anutan sebagian masyarakat pada semua tingkatan. Bahkan yang lebih memprihatinkan, calon pemilih menerima semua pemberian uang tersebut tapi tidak mau memilih/mencoblos.

Sebagian lagi masyarakat menganut paham ’’ambil uangnya, jangan pilih calonnya’’. Apalagi pemberian uang tersebut tidak mengandung risiko mengingat sistem pemilu yang mensyaratkan bebas dan rahasia. Maka ”pelacuran politik” antara caleg dan calon pemilih tak terhindarkan lagi. Kalau para caleg menempuh cara tidak baik untuk mencapai ambisi sebagai wakil rakyat maka wajar pula andai mereka kemudian menerapkan sistem transaksi untung rugi.

Untuk bisa menjadi anggota legislatif, mereka harus mengeluarkan biaya besar. Karena itu, biaya yang telah mereka keluarkan harus ditutup dengan mencari uang sebanyak-banyaknya ketika menjadi wakil rakyat. Apalagi kalau bukan korupsi yang mereka pilih, mengingat peluang untuk korupsi sangat besar. Modus korupsi yang melibatkan anggota DPR/DPRD --berkomplot dengan ekesekutif-- adalah dengan memainkan anggaran.

Salah satu peluang melalui APBN atau APBD, keduanya tidak bisa dilaksanakan tanpa pengesahan wakil rakyat. Posisi sentral inilah yang kerap dimanfaatkan sebagian legislator untuk mencari sebesarbesarnya keuntungan. Modus mencari uang melalui APBN dan APBD sudah banyak diungkap dalam persidangan kasus korupsi yang melibatkan wakul rakyat.

Sesuatu yang dimulai dengan cara tidak baik, akan membuahkan hasil yang tidak baik. Seolaholah menjadi kelumrahan wakul rakyat mencari sebanyak-banyaknya uang untuk menutupi biaya yang dikeluarkan saat kampanye. Bukan hanya balik modal, tapi harus mendapat keuntungan lebih besar. Maka perilaku korup anggota DPR/DPRD dianggap sebagai hal wajar oleh masyarakat.

Tidak Baik

Diakui atau tidak, masyarakat pemilih berperan besar menciptakan perilaku tidak baik wakil mereka di legislatif. Pilihan mereka didorong kepentingan sesaat untuk mendapatkan uang beberapa puluh ribu rupiah secara tidak langsung menghasilkan anggota legislatif yang korup.

Uang yang diperoleh tak seberapa, tapi berdampak negatif luar biasa, karena korupsi menghalangi bangsa Indonesia menjadi sejahtera.

Apakah kondisi seperti itu terus kita dibiarkan, mendapatkan wakil rakyat yang korup dari pemilu ke pemilu? Tentu tidak. Harus ada keberanian menghentikan praktik sogok-menyogok dalam pemberian suara. Kalau masyarakat ingin memperbaiki kinerja wakil mereka di lembaga legislatif, marilah kita coba mengubah motivasi memilih, yaitu bukan karena iming-iming uang melainkan karena berniat baik untuk memilih caleg yang baik pula.

Anggaplah pemberian suara itu sebagai ’’sedekah’’ kepada para caleg karena mereka sangat membutuhkan. Namanya sedekah maka harus dilakukan secara ikhlas tanpa pamrih apa pun, apalagi nilai uang sogok yang mereka berikan kepada calon pemilih tidaklah seberapa. Ketimbang mendapat pemberian kecil tapi berdampak besar dalam kehidupan di dunia dan akhirat, lebih baik kita memberikan suara itu secara cuma-cuma.

Banyak caleg berkampanye dengan cara merusak lingkungan, menyuap pemilih. atau cara kotor lainnya. Pilihlah caleg yang benar-benar baik yang layak menerima amanah sedekah suara. Inilah pentingnya pendidikan politik, masyarakat harus tahu siapa saja calon wakil mereka, termasuk rekam jejaknya. Memang belum semua caleg memenuhi kriteria yang baik sebagai wakil rakyat, tapi kalau memilihnya menggunakan cara yang baik akan menghasilkan wakil rakyat yang baik pula.

Menjadi golput memang sebuah pilihan, tapi itu tindakan mubazir karena menyia-nyiakan milik berharga yang seharusnya bisa dimanfaatkan orang lain. Di antara sekian banyak caleg, yakinilah tidak semuanya jelek, masih ada yang layak mendapat sedekah suara. Kalau calegnya baik dan para pemilih juga menyedekahkan suaranya dengan cara baik, tentu akan menghasilkan wakil rakyat yang baik dan tidak korup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar