Diplomasi
Pertahanan RI
Ludiro Madu ;
Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UPN
"Veteran" Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 06 Maret 2014
HUBUNGAN
Indonesia dan Australia tanpa disangka telah memunjukkan grafik merosot.
Menlu Marty Natalegawa bahkan menuntut pemerintah Negeri Kanguru memilih
bersikap sebagai kawan atau lawan terhadap Indonesia. Selama ini, itulah
pernyataan paling keras yang pernah dikeluarkan pemerintah RI terhadap
tetangganya tersebut.
Beberapa
kasus, seperti penyadapan Australia terhadap warga negara Indonesia,
pengusiran AL Australia terhadap pencari suaka ke perairan Indonesia, dan
pelanggaran AL Australia terhadap wilayah perairan Indonesia menjadi catatan penting
dari kemerosotan hubungan bilateral kedua negara.
Kejutan
terakhir berasal dari laporan resmi militer Australia pada 19 Februari 2014
(SM, 21/2/14). Laporan itu mempertegas bahwa AL Australia telah kali keenam
melanggar wilayah perairan Indonesia. Pelanggaran kedaulatan maritim
Indonesia itu berlangsung sejak Desember 2013 hingga Januari 2014 melalui
operasi keamanan perbatasan.
Salah
satu penyebab ketegangan bilateral ini adalah kebijakan boat
turn-backpemerintahan PM Tony Abbot terhadap kapal/perahu pencari suaka. Demi
kepentingan domestik, Abbot malah membanggakan catatan prestasinya dalam
’’mengusir’’pencari suaka. Kebijakan ini merupakan realisasi dari janji
Abbott kepada kontituennya pada masa kampanye Pemilu 2013.
Sejak
Abott memerintah, Australia relatif aman dari pencari suaka, yang transit di
Indonesia. Tapi capaian itu membahayakan hubungannya dengan Indonesia. Sejak
ia memerintah, hubungan RI-Australia kian memburuk. Aksi AL Australia itu
memang tidak menimbulkan kontak militer. Walaupun Australia telah meminta
maaf, Indonesia harus memperoleh jaminan dari mereka bahwa peristiwa itu
tidak akan berulang.
Kenyataan
itu patut disayangkan mengingat selama ini kedua negara telah membangun
hubungan saling percaya pada berbagai bidang. Pemerintah Indonesia perlu
mengambil sikap lebih tegas dengan mempertahankan kedaulatan maritim.
Dibanding nelayan Indonesia yang berlayar hingga Pulau Pasir (termasuk
wilayah Australia), tindakan AL Australia tentu harus disikapi lebih serius.
Kapal perang Australia tentu dilengkapi peralatan navigasi yang jauh lebih
canggih ketimbang perahu nelayan kita.
Dalam
hubungan internasional, insiden pelanggaran wilayah perairan itu telah
mengubah ancaman keamanan dari nontradisional (pencari suaka) menjadi ancaman
tradisional (pelanggaran wilayah oleh militer Australia). Ketika karakter dan
bentuk ancaman keamanan itu berubah maka bentuk respons dan aktor yang
berperan pun berubah.
Aktor Pertahanan
Penyelesaian
persoalan ini tidak hanya melibatkan masyarakat sipil, namun memerlukan peran
lebih menonjol dari aktor-aktor pertahanan Indonesia. Langkah-langkah
diplomasi pertahanan harus kita tempuh demi penegasan kedaulatan maritim.
Berbeda dari diplomasi militer, Indonesia perlu mendorong diplomasi
pertahanan berkait hubungan damai di antara kedua negara.
Beberapa
kebijakan telah diambil pemerintah Indonesia. Pertama; pemerintah Indonesia
secara tegas menuntut Australia menghentikan sementara kegiatan Operasi
Kedaulatan Perbatasan (Sovereign Border
Operation) yang mendorong ALAustralia tanpa izin memasuki wilayah
Indonesia. Penegasan ini diperlukan agar kebijakan perbatasan Australia tidak
mengakibatkan pelecehan terhadap wilayah laut Indonesia.
Kedua;
Indonesia perlu meningkatkan patroli laut di Samudra Hindia secara teratur.
Pihak otoritas pertahanan laut RI harus menegaskan garis batas laut antara RI
dan Australia tidak dapat diganggu gugat. Pengerahan kapal perang ke wilayah
laut yang berbatasan dengan Australia diperlukan bukan dalam rangka kesiapan
perang, melainkan langkah preventif dan defensif terhadap kemungkinan yang
sama di masa depan. Diplomasi pertahanan diarahkan pada peningkatan kapasitas
TNI AL Indonesia untuk memodernisasi kapal perang untuk menjaga dan
mempertahankan kedaulatan maritim.
Ketiga;
diplomasi pertahanan RI harus memungkinkan dikerahkannya kerja sama
pertahanan dengan negara-negara lain yang telah ada guna mendukung kedaulatan
nasional. Kedaulatan maritim RI terhadap upaya pelanggaran Australia telah
mendorong RI memberi izin latihan perang kepada AL RRC di selatan Laut Jawa.
Kebijakan
pemberian izin ini mungkin tidak berhubungan dengan provokasi AL Australia di
wilayah laut RI, namun latihan perang AL Cina itu telah memaksa Australia
memberikan perhatian khusus. Demikian pula, kunjungan Panglima TNI ke RRC
menjadi momentum penting untuk meningkatkan diplomasi pertahanan.
Diplomasi
pertahanan antara Indonesia dan Australia tentu harus dikaitkan dengan status
hubungan bilateral. Hingga saat ini Indonesia telah memutuskan beberapa
bidang kerja sama bilateral dengan Australia. Pemerintah Indonesia menuntut
Australia merumuskan code of conduct sebagai syarat pemulihan kerja sama
bilateral. Dubes Indonesia untuk Australia bahkan belum kembali menempati
posnya di Canberra.
Namun pemerintah kedua negara perlu terus menjalin komunikasi guna
membicarakan secara khusus kedaulatan maritim Indonesia. Kedua negara tak
perlu berpegang pada doktrin militer bahwa kesiapan damai harus didasarkan
pada kesiapan berperang atau si vis pacem para bellum. Dengan kata lain,
perlu lebih mengedepankan diplomasi pertahanan ketimbang provokasi militer. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar