Jumat, 07 Maret 2014

Diplomasi Pertahanan RI

Diplomasi Pertahanan RI

Ludiro Madu  ;   Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UPN "Veteran" Yogyakarta
SUARA MERDEKA,  06 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
HUBUNGAN Indonesia dan Australia tanpa disangka telah memunjukkan grafik merosot. Menlu Marty Natalegawa bahkan menuntut pemerintah Negeri Kanguru memilih bersikap sebagai kawan atau lawan terhadap Indonesia. Selama ini, itulah pernyataan paling keras yang pernah dikeluarkan pemerintah RI terhadap tetangganya tersebut.

Beberapa kasus, seperti penyadapan Australia terhadap warga negara Indonesia, pengusiran AL Australia terhadap pencari suaka ke perairan Indonesia, dan pelanggaran AL Australia terhadap wilayah perairan Indonesia menjadi catatan penting dari kemerosotan hubungan bilateral kedua negara.

Kejutan terakhir berasal dari laporan resmi militer Australia pada 19 Februari 2014 (SM, 21/2/14). Laporan itu mempertegas bahwa AL Australia telah kali keenam melanggar wilayah perairan Indonesia. Pelanggaran kedaulatan maritim Indonesia itu berlangsung sejak Desember 2013 hingga Januari 2014 melalui operasi keamanan perbatasan.

Salah satu penyebab ketegangan bilateral ini adalah kebijakan boat turn-backpemerintahan PM Tony Abbot terhadap kapal/perahu pencari suaka. Demi kepentingan domestik, Abbot malah membanggakan catatan prestasinya dalam ’’mengusir’’pencari suaka. Kebijakan ini merupakan realisasi dari janji Abbott kepada kontituennya pada masa kampanye Pemilu 2013.

Sejak Abott memerintah, Australia relatif aman dari pencari suaka, yang transit di Indonesia. Tapi capaian itu membahayakan hubungannya dengan Indonesia. Sejak ia memerintah, hubungan RI-Australia kian memburuk. Aksi AL Australia itu memang tidak menimbulkan kontak militer. Walaupun Australia telah meminta maaf, Indonesia harus memperoleh jaminan dari mereka bahwa peristiwa itu tidak akan berulang.

Kenyataan itu patut disayangkan mengingat selama ini kedua negara telah membangun hubungan saling percaya pada berbagai bidang. Pemerintah Indonesia perlu mengambil sikap lebih tegas dengan mempertahankan kedaulatan maritim. Dibanding nelayan Indonesia yang berlayar hingga Pulau Pasir (termasuk wilayah Australia), tindakan AL Australia tentu harus disikapi lebih serius. Kapal perang Australia tentu dilengkapi peralatan navigasi yang jauh lebih canggih ketimbang perahu nelayan kita.

Dalam hubungan internasional, insiden pelanggaran wilayah perairan itu telah mengubah ancaman keamanan dari nontradisional (pencari suaka) menjadi ancaman tradisional (pelanggaran wilayah oleh militer Australia). Ketika karakter dan bentuk ancaman keamanan itu berubah maka bentuk respons dan aktor yang berperan pun berubah.

Aktor Pertahanan

Penyelesaian persoalan ini tidak hanya melibatkan masyarakat sipil, namun memerlukan peran lebih menonjol dari aktor-aktor pertahanan Indonesia. Langkah-langkah diplomasi pertahanan harus kita tempuh demi penegasan kedaulatan maritim. Berbeda dari diplomasi militer, Indonesia perlu mendorong diplomasi pertahanan berkait hubungan damai di antara kedua negara.

Beberapa kebijakan telah diambil pemerintah Indonesia. Pertama; pemerintah Indonesia secara tegas menuntut Australia menghentikan sementara kegiatan Operasi Kedaulatan Perbatasan (Sovereign Border Operation) yang mendorong ALAustralia tanpa izin memasuki wilayah Indonesia. Penegasan ini diperlukan agar kebijakan perbatasan Australia tidak mengakibatkan pelecehan terhadap wilayah laut Indonesia.

Kedua; Indonesia perlu meningkatkan patroli laut di Samudra Hindia secara teratur. Pihak otoritas pertahanan laut RI harus menegaskan garis batas laut antara RI dan Australia tidak dapat diganggu gugat. Pengerahan kapal perang ke wilayah laut yang berbatasan dengan Australia diperlukan bukan dalam rangka kesiapan perang, melainkan langkah preventif dan defensif terhadap kemungkinan yang sama di masa depan. Diplomasi pertahanan diarahkan pada peningkatan kapasitas TNI AL Indonesia untuk memodernisasi kapal perang untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan maritim.

Ketiga; diplomasi pertahanan RI harus memungkinkan dikerahkannya kerja sama pertahanan dengan negara-negara lain yang telah ada guna mendukung kedaulatan nasional. Kedaulatan maritim RI terhadap upaya pelanggaran Australia telah mendorong RI memberi izin latihan perang kepada AL RRC di selatan Laut Jawa.

Kebijakan pemberian izin ini mungkin tidak berhubungan dengan provokasi AL Australia di wilayah laut RI, namun latihan perang AL Cina itu telah memaksa Australia memberikan perhatian khusus. Demikian pula, kunjungan Panglima TNI ke RRC menjadi momentum penting untuk meningkatkan diplomasi pertahanan.

Diplomasi pertahanan antara Indonesia dan Australia tentu harus dikaitkan dengan status hubungan bilateral. Hingga saat ini Indonesia telah memutuskan beberapa bidang kerja sama bilateral dengan Australia. Pemerintah Indonesia menuntut Australia merumuskan code of conduct sebagai syarat pemulihan kerja sama bilateral. Dubes Indonesia untuk Australia bahkan belum kembali menempati posnya di Canberra.

Namun pemerintah kedua negara perlu terus menjalin komunikasi guna membicarakan secara khusus kedaulatan maritim Indonesia. Kedua negara tak perlu berpegang pada doktrin militer bahwa kesiapan damai harus didasarkan pada kesiapan berperang atau si vis pacem para bellum. Dengan kata lain, perlu lebih mengedepankan diplomasi pertahanan ketimbang provokasi militer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar