Rakyat
yang Terpinggirkan
Retor AW Kaligis ;
Koordinator Link (Lingkaran Komunikasi) Nusantara,
Doktor
Sosiologi Universitas Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 05 Maret 2014
”Seumpama Columbus tidak berlajar mentjari djahe,
buah pala, lada, dan tjengkeh kami dan tidak sesat pula didjalan, tentu dia
tidak akan menemukan Benua Amerika.”
(Bung Karno Penjambung Lidah
Rakjat Indonesia, 1966:43)
Selama
berabad-abad, kekayaan yang terhampar di Nusantara selalu menjadi incaran
kaum pemodal yang disokong kekuasaan politik luar dan lokal.
Dulu
orang Eropa, yang terbatas pengetahuannya tentang dunia Timur, menganggap
kepulauan penghasil rempah-rempah merupakan kawasan India. Dengan dibiayai
Ratu Spanyol, Columbus bermaksud pergi ke ”India” melalui arah barat Eropa.
Belanda menyebut wilayah kepulauan ini Oost Indische atau India Timur.
Tanggal
20 Maret 1602, jalinan relasi kepentingan modal dan politik itu melahirkan Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC). Organisasi itu berdiri untuk menguasai sumber-sumber ekonomi yang
memarginalkan masyarakat lokal. Selanjutnya, Nederlands-Indië atau Indianya
Belanda didirikan untuk terus dieksploitasi.
Setelah
412 tahun, penguasaan kekayaan alam tetap belum diperuntukkan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pertumbuhan sektor perkebunan dan
pemberian hak penguasaan hutan (HPH) banyak menimbulkan konflik agraria di
berbagai daerah. Usaha pertambangan lebih menguntungkan pengusaha dan
pejabat, ketimbang memberikan kesejahteraan kepada warga setempat.
Berbagai
perizinan sering berkaitan dengan politik lokal, menyangkut jabatan kepala
daerah yang dipandang sebagai “investasi”. Rakyat yang terpinggirkan banyak
menerima dampak negatifnya, mulai pelanggaran aturan dan hukum, konflik
sosial dan horizontal, kerusakan lingkungan yang tidak terkendali, hingga
ekses kriminal dan kekerasan.
Aspirasi
kaum tani tak tersalurkan ketika tanahnya kian tergerus, irigasi tak merata,
kesulitan bibit dan pupuk, hingga tergusur konglomerat yang bermain di sektor
pertanian. Dengan peralatan sederhana dan harga solar yang mahal, nelayan
kesulitan melaut. Pedagang kecil pula kian tergusur negara dan pasar modern.
Posisi tawar buruh lemah di hadapan pemilik modal.
Setelah
kekuasaan sentralistik Orde Baru berakhir 1998, rakyat bebas menyalurkan
partisipasi politiknya. Namun, kebebasan yang diraih hanya menghasilkan
“ritualitas demokrasi” yang secara prosedural dan berkala memilih
pemimpin-pemimpin politik pada pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan
legislatif (pileg), dan pemilihan presiden (pilpres).
Rakyat
selalu dihujani janji perubahan, tapi bobot ”spiritualitas” kedaulatan rakyat
terus tersumbat marginalisasi dan eksploitasi, baik oleh bangsa asing maupun
bangsa sendiri, dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Substansi yang
diharapkan dari demokratisasi untuk memberdayakan rakyat tidak tercapai. Itu
karena kebijakan yang dihasilkan kerap tidak dekat dengan denyut nadi
kehidupan masyarakat.
”Ritualitas
demokrasi” tanpa ”spiritualitas” kedaulatan rakyat melahirkan dinasti Ratu
Atut dan banyak pemimpin politik tanpa bobot akuntabilitas, transparansi, dan
responsibilitas. Penguasaan sumber-sumber ekonomi yang timpang semakin kuat
berkorelasi dengan kekuasaan politik yang korup.
Mengecilnya Kesadaran Berbangsa
Ketika
negara didominasi kepentingan segelintir pemodal dan mayoritas lain mengalami
pengucilan dari penguasaan sumber-sumber ekonomi, kewarganegaraan (citizenship) menjadi tidak setara.
Sejak
masa kolonial, pembentukan kelompok sosial bawah di negeri ini banyak
ditentukan dari faktor operasi ideologi eksploitatif yang mengambil sumber
daya alam dengan memisahkannya dari rakyat dan alam yang subur dan kaya,
serta menjadikan penduduknya sumber tenaga murah.
Mengacu
Antonio Gramsci dalam Selections from
the Prison Notebooks (1995), selain memperoleh dominasi dengan kekuatan
dan paksaan, kelas berkuasa menciptakan pihak-pihak yang “sukarela” mau
dikuasai. Itu ketika ideologi adalah sesuatu yang penting untuk menciptakan
“kerelaan” tersebut.
Jika
menggunakan kategori Frank Parkin, rakyat yang terpinggirkan termasuk dalam
kelas kepemilikan yang negatif, berkaitan kepemilikannya serbaterbatas
(dibatasi). Parkin tidak mendefinisikan hubungan antarkelas pada tempatnya
dalam proses produksi, tetapi dalam konteks penggunaan kekuasaan yang
melakukan cara penutupan sosial dengan pengucilan (social closure as exclusion). (Marxism and Class Theory: A Bourgeois Critique, 1979).
Rakyat
yang terpinggirkan membuat ruang penghubung, perajut, dan pemakna kesadaran
bersama sebagai satu bangsa menjadi sempit.
Kembali ke Pasal 33 UUD 1945
Jika
berpegang pada cita-cita Proklamasi 1945, persatuan bangsa tidak hanya
dipandang sebagai bentuk, tetapi juga harus mencakup isi, yakni usaha bangsa
merombak ketimpangan penguasaan sumber-sumber ekonomi di tengah masyarakat
yang bineka.
Pembangunan
politik ekonomi Indonesia berbasis pemberdayaan masyarakat dan kedaulatan
bangsa kian diperlukan. Itu guna menghadapi reorganisasi kapitalisme global
yang lebih menampakkan wajah, meminjam istilah Anthony Giddens (1999), global pillage (penjarahan global)
ketimbang global village (desa
global).
Di
tengah transisi kepemimpinan nasional sekarang, bangsa kita semakin terdesak
memerlukan kehadiran pemimpin nasional yang bersih dan berkomitmen
menjalankan gerakan kembali ke Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Sejumlah
agenda bangsa, seperti penguatan peran koperasi sebagai kekuatan ekonomi
kolektif masyarakat, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang
penting untuk kemakmuran rakyat, dan reforma agraria merupakan amanat
konstitusi yang wajib dijalankan.
Dengan kemimpinan nasional yang mampu mengelaborasi persoalan keadilan
sosial ke arah kerja-kerja konkret, terintegrasi dan tertransformasi, bangsa
ini akan memiliki pijakan kokoh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar