Kamis, 06 Maret 2014

Rakyat yang Terpinggirkan

Rakyat yang Terpinggirkan

Retor AW Kaligis  ;   Koordinator Link (Lingkaran Komunikasi) Nusantara,
Doktor Sosiologi Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN,  05 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
”Seumpama Columbus tidak berlajar mentjari djahe, buah pala, lada, dan tjengkeh kami dan tidak sesat pula didjalan, tentu dia tidak akan menemukan Benua Amerika.”
(Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, 1966:43)

Selama berabad-abad, kekayaan yang terhampar di Nusantara selalu menjadi incaran kaum pemodal yang disokong kekuasaan politik luar dan lokal.

Dulu orang Eropa, yang terbatas pengetahuannya tentang dunia Timur, menganggap kepulauan penghasil rempah-rempah merupakan kawasan India. Dengan dibiayai Ratu Spanyol, Columbus bermaksud pergi ke ”India” melalui arah barat Eropa. Belanda menyebut wilayah kepulauan ini Oost Indische atau India Timur.

Tanggal 20 Maret 1602, jalinan relasi kepentingan modal dan politik itu melahirkan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Organisasi itu berdiri untuk menguasai sumber-sumber ekonomi yang memarginalkan masyarakat lokal. Selanjutnya, Nederlands-Indië atau Indianya Belanda didirikan untuk terus dieksploitasi.

Setelah 412 tahun, penguasaan kekayaan alam tetap belum diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pertumbuhan sektor perkebunan dan pemberian hak penguasaan hutan (HPH) banyak menimbulkan konflik agraria di berbagai daerah. Usaha pertambangan lebih menguntungkan pengusaha dan pejabat, ketimbang memberikan kesejahteraan kepada warga setempat.

Berbagai perizinan sering berkaitan dengan politik lokal, menyangkut jabatan kepala daerah yang dipandang sebagai “investasi”. Rakyat yang terpinggirkan banyak menerima dampak negatifnya, mulai pelanggaran aturan dan hukum, konflik sosial dan horizontal, kerusakan lingkungan yang tidak terkendali, hingga ekses kriminal dan kekerasan.

Aspirasi kaum tani tak tersalurkan ketika tanahnya kian tergerus, irigasi tak merata, kesulitan bibit dan pupuk, hingga tergusur konglomerat yang bermain di sektor pertanian. Dengan peralatan sederhana dan harga solar yang mahal, nelayan kesulitan melaut. Pedagang kecil pula kian tergusur negara dan pasar modern. Posisi tawar buruh lemah di hadapan pemilik modal.

Setelah kekuasaan sentralistik Orde Baru berakhir 1998, rakyat bebas menyalurkan partisipasi politiknya. Namun, kebebasan yang diraih hanya menghasilkan “ritualitas demokrasi” yang secara prosedural dan berkala memilih pemimpin-pemimpin politik pada pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan legislatif (pileg), dan pemilihan presiden (pilpres).

Rakyat selalu dihujani janji perubahan, tapi bobot ”spiritualitas” kedaulatan rakyat terus tersumbat marginalisasi dan eksploitasi, baik oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri, dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Substansi yang diharapkan dari demokratisasi untuk memberdayakan rakyat tidak tercapai. Itu karena kebijakan yang dihasilkan kerap tidak dekat dengan denyut nadi kehidupan masyarakat.

”Ritualitas demokrasi” tanpa ”spiritualitas” kedaulatan rakyat melahirkan dinasti Ratu Atut dan banyak pemimpin politik tanpa bobot akuntabilitas, transparansi, dan responsibilitas. Penguasaan sumber-sumber ekonomi yang timpang semakin kuat berkorelasi dengan kekuasaan politik yang korup.

Mengecilnya Kesadaran Berbangsa

Ketika negara didominasi kepentingan segelintir pemodal dan mayoritas lain mengalami pengucilan dari penguasaan sumber-sumber ekonomi, kewarganegaraan (citizenship) menjadi tidak setara.

Sejak masa kolonial, pembentukan kelompok sosial bawah di negeri ini banyak ditentukan dari faktor operasi ideologi eksploitatif yang mengambil sumber daya alam dengan memisahkannya dari rakyat dan alam yang subur dan kaya, serta menjadikan penduduknya sumber tenaga murah.

Mengacu Antonio Gramsci dalam Selections from the Prison Notebooks (1995), selain memperoleh dominasi dengan kekuatan dan paksaan, kelas berkuasa menciptakan pihak-pihak yang “sukarela” mau dikuasai. Itu ketika ideologi adalah sesuatu yang penting untuk menciptakan “kerelaan” tersebut.

Jika menggunakan kategori Frank Parkin, rakyat yang terpinggirkan termasuk dalam kelas kepemilikan yang negatif, berkaitan kepemilikannya serbaterbatas (dibatasi). Parkin tidak mendefinisikan hubungan antarkelas pada tempatnya dalam proses produksi, tetapi dalam konteks penggunaan kekuasaan yang melakukan cara penutupan sosial dengan pengucilan (social closure as exclusion). (Marxism and Class Theory: A Bourgeois Critique, 1979).

Rakyat yang terpinggirkan membuat ruang penghubung, perajut, dan pemakna kesadaran bersama sebagai satu bangsa menjadi sempit.

Kembali ke Pasal 33 UUD 1945

Jika berpegang pada cita-cita Proklamasi 1945, persatuan bangsa tidak hanya dipandang sebagai bentuk, tetapi juga harus mencakup isi, yakni usaha bangsa merombak ketimpangan penguasaan sumber-sumber ekonomi di tengah masyarakat yang bineka.

Pembangunan politik ekonomi Indonesia berbasis pemberdayaan masyarakat dan kedaulatan bangsa kian diperlukan. Itu guna menghadapi reorganisasi kapitalisme global yang lebih menampakkan wajah, meminjam istilah Anthony Giddens (1999), global pillage (penjarahan global) ketimbang global village (desa global).

Di tengah transisi kepemimpinan nasional sekarang, bangsa kita semakin terdesak memerlukan kehadiran pemimpin nasional yang bersih dan berkomitmen menjalankan gerakan kembali ke Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Sejumlah agenda bangsa, seperti penguatan peran koperasi sebagai kekuatan ekonomi kolektif masyarakat, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting untuk kemakmuran rakyat, dan reforma agraria merupakan amanat konstitusi yang wajib dijalankan.

Dengan kemimpinan nasional yang mampu mengelaborasi persoalan keadilan sosial ke arah kerja-kerja konkret, terintegrasi dan tertransformasi, bangsa ini akan memiliki pijakan kokoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar