Praduga
Boleh, Suuzan Mubah
Moh Mahfud MD ; Guru Besar
Hakim Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 22 Maret 2014
Ada
pemahaman yang keliru tentang istilah ”praduga
tak bersalah” sebagai asas dalam penegakan hukum. Kerap diartikan, asas
praduga tak bersalah adalah kaidah hukum yang melarang orang menduga
seseorang telah melakukan pelanggaran hukum, misalnya, melakukan tindak
pidana korupsi atau pembunuhan.
Pengertian
praduga tak bersalah yang seperti itu justru salah. Seseorang diajukan ke
pengadilan pidana justru dimulai dari dugaan, dilanjutkan dengan
penyelidikan, dilanjutkan lagi dengan sangkaan, kemudian dilanjutkan lagi
dakwaan, dan seterusnya sampai akhirnya vonis. Jadi tidak mungkin seseorang
diajukan ke pengadilan pidana kalau tidak dimulai dari praduga lebih dulu
bahwa orang tersebut melakukan kesalahan. Lalu apa arti asas praduga tak
bersalah?
Ia
berarti bahwa seseorang tak boleh diperlakukan seperti orang yang sudah dijatuhi
hukuman atau divonis oleh pengadilan sebagai orang yang terpidana dengan
kekuatan hukum tetap (inkracht). Dengan asas praduga tak bersalah, misalnya,
seseorang belum boleh disebut terpidana, boleh tidak ditahan dengan alasan
hukum tertentu, belum boleh dimasukkan ke penjara permanen karena statusnya
masih ditahan, hartanya yang disita belum boleh dilelang untuk dimasukkan ke
kas negara, dan hak-hak sipil dan politiknya belum tetap diberikan.
Tetapi
menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana itu bukan hanya boleh,
bahkan ada kalanya harus dilakukan manakala ada laporan atau indikasi bahwa
seseorang telah melakukan sesuatu yang dilarang oleh hukum. Makanya ada orang
yang dikatakan ”diduga” telah melakukan sesuatu sehingga ”diselidiki” untuk
kemudian ditingkatkan menjadi ”tersangka”. Semuanya masih dalam konteks orang
belum bersalah atau praduga tak bersalah. Ditengah-tengah masyarakat pun
dugaan-dugaan atau praduga bersalah seperti itu tak terhindarkan dan boleh
dilakukan.
Siapa
pun boleh memperbincangkan dan menguatkan dugaan bahwa seseorang telah
melakukan sesuatu tindak pidana ketika orang itu ditahan oleh polisi atau
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan boleh juga menduga seseorang
telah melakukan korupsi jika melihat perkembangan kekayaan orang itu
meningkat secara tidak wajar. Itu semua tak melanggar asas praduga tak
bersalah. Boleh saja orang menduga dan mendiskusikan seseorang yang sebelum
menjadi pejabat kekayaannya hanya Rp350 juta, tetapi hanya beberapa bulan
menjadi pejabat tiba-tiba kekayaannya menjadi 20 miliar.
Orang
yang menduga bahwa pejabat itu korupsi boleh saja, asal ada indikasi-indikasi
yang mendasarinya dan tidak secara kategoris mengatakan yang bersangkutan
telah melakukan tindak pidana. Tak mungkinlah penentuan terjadinya tindak
pidana oleh seseorang tidak dimulai dari dugaan-dugaan. Hanya saja, jika
dugaan-dugaan itu tidak disertai indikasi yang kuat dan menyertakan fitnah
yang mengada-ada, maka yang memfitnah itu bisa diduga dan disangka telah
melakukan pencemaran nama baik. Jadi, siapa pun yang menduga seseorang telah
melakukan tindak pidana tak perlu khawatir, jika memang sudah ada indikasi
kuat, apalagi orang yang diduga memang sudah ditahan oleh aparat penegak
hukum.
Secara
filosofis pun sebenarnya adanya konstitusi dan hukum dikarenakan manusia
perlu berpraduga bahwa manusia itu patut diduga punya potensi untuk melanggar
hakhak orang lain. Karena dugaan seperti itulah konstitusi dan hukum dibuat
guna mengantisipasi problem yang bisa muncul berdasar kecurigaan itu. Kalau
kita tidak menganggap dan tidak menduga manusia akan menyeleweng maka tak
perlu ada konstitusi dan hukum. Di dalam ajaran Islam pun sering terjadi
penyalahartian hukum tentang prasangka. Dikatakan bahwa prasangka itu tidak
diperbolehkan di dalam Islam, bahkan sering dikatakan bahwa suuzan (prasangka buruk) merupakan
sesuatu yang haram.
Padahal,
dalam kehidupan sehari-hari prasangka itu tak dapat dihindarkan, bahkan dalam
banyak hal tindakan kita sebagai manusia sering dilakukan karena adanya
prasangka atau kekhawatiran tentang perilaku orang lain. Lihatlah, di dalam
kitab suci Alquran pun tidak ada larangan mutlak bagi kita untuk
berprasangka. Frase ”jangan suka
berprasangka” di dalam Alquran pun tidak merupakan pengharaman (littahrim) karena hanya ”sebagian dari prasangka” itu yang
dinyatakan jelek. Di dalam Surat Al-Hujurat ayat 12 dinyatakan, ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.”
Tampak
jelas bahwa dari sudut agama pun berprasangka itu diperbolehkan, sebab yang
buruk dan berdosa dari prasangka itu hanyalah sebagian, sedangkan sebagian
lainnya adalah tidak buruk. Karena itu, sebenarnya berprasangka itu pada
dasarnya boleh atau mubah (lil-ibahah).
Menduga bahwa seseorang telah melakukan korupsi setelah mendengar dakwaan di
persidangan, meski belum divonis, tentu diperbolehkan. Sebagai hal yang pada
dasarnya mubah (boleh) prasangka
bisa menjadi jelek (haram) atau baik (sunah) sesuai dengan alasan dan
indikasinya; apakah untuk memfitnah tanpa indikasi yang kuat ataukah
dimaksudkan untuk kehati-hatian dan mengantisipasi problem karena adanya
indikasi-indikasi yang cukup.
Dengan demikian, secara yuridis melakukan
praduga bersalah itu tak dilarang dan menurut agama melakukan suuzan adalah mubah saja. Tak usah
takutlah ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar