Menimbang
Ulang Kekuatan Leadership Jokowi
Ahmad Khoirul Umam ; Kandidat
Doktor Ilmu Politik di School of Political Science dan International Studies,
The University of Queensland, Australia,
Peneliti
Senior di Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Jakarta
|
KORAN
SINDO, 22 Maret 2014
Penetapan
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebagai calon presiden dari Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) merupakan ikhtiar politik mutakhir dari partai
”Banteng Mencereng” untuk menawarkan kepemimpinan alternatif bagi perubahan
Indonesia ke depan.
Tampilnya
Jokowi dalam pentas perpolitikan Ibu Kota melalui Pilkada 2012 telah
menempatkan dirinya di atas panggung politik yang strategis dan efektif untuk
memengaruhi perilaku politik masyarakat di tingkat lokal maupun nasional.
Kuatnya aksesmediadiIbuKota, baikyang pro maupun yang kontra terhadap
kekuatan politik Jokowi, secara langsungmaupuntidaklangsung telah membantu
membesarkan namanya.
Hanya
dalam jangka satu setengah tahun terakhir, kepemimpinan Jokowi di Jakarta
ternyata berhasil menjadi medan pertarungan gagasan serta ajang pencitraan
model kepemimpinan baru yang tidak elitis, menyatu dengan kawula alit, serta berusaha menjawab
kebutuhan riil masyarakat di akar rumput. Kepemimpinan Jokowi itu telah
menjadi eksperimentasi politik yang ternyata berhasil ”menyihir” persepsi dan
perilaku politik publik.
Hal itu
dibuktikan oleh hampir semua survei nasional, baik dengan metode kualitatif
maupun kuantitatif, secara ‘istiqomah’ menempatkan nama Jokowi sebagai
pemimpin alternatif yang dianggap paling mampu mengeluarkan Indonesia dari
ketidakpastian masa depan bangsa pasca turbulensi politik di era reformasi
yang terlanjur berkomitmen pada liberalisasi pasar dan demokratisasi.
Rekam Jejak
Karakter,
integritas, dan komitmen Jokowi dalam memimpin sistem birokrasi dan pemerintahantelahdibuktikankeberhasilannya
di Surakarta semasa menjabat wali kota. Sementara setahun kepemimpinan di
Jakarta, tidak sedikit sanjungan sekaligus kritik dialamatkan kepada
pemerintahannya. Di sisi lain, tidak sedikit pula yang menilai model kepemimpinan
Jokowi dianggap belum efektif mentransformasi mental dan watak birokrasi
menjadi lebih sensitif, melayani, dan bebas dari praktik korupsi, baik yang
skala kecil (petty corruption)
maupun besar (big corruption).
Tudingan
itu dibuktikan oleh masih banyaknya praktik pungutan liar yang menjadi bukti
rendahnya tingkat kedisiplinan dan integritas jajaran pegawai di tingkat
lokal. Tingginya tingkat ketergantungan pemerintahan DKI Jakarta terhadap
Jokowi dan Ahok selaku figur pimpinan menjadi bukti bahwa transformasi watak
birokrasi belum terjadi. Kasus terakhir terkait pengadaan bus Transjakarta
yang tidak sesuai standar kelayakan barang menjadi bukti betapa ketelitian
dan akurasi kebijakan pemerintahan Jokowi masih tetap bisa dikelabui oleh
berbagai kelompok kepentingan yang berkelindan dengan para elite birokrasi
dan politisi di lingkungan pemerintahan setempat.
Rekam
jejak kepemimpinan Jokowi pun masih dianggap kurang terkait dengan kemampuan
mengelola konflik politik serta konflik antar-lembaga negara yang menyangkut
aktor-aktor kunci di sejumlah lembaga tinggi negara. Pengalaman pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dianggap bimbang dan tidak sigap dalam
menyelesaikan tragedi konfrontasi antara KPK dan Polri dapat dijadikan
pelajaran. Model kepemimpinan yang cenderung ”cari selamat” (face saving strategy) ala SBY membuat
lembaga anti korupsi yang paling berintegritas di negeri ini terseok-seok dan
hampir tumbang diterjang serangan para koruptor (corruptors fight back).
Sejumlah
pihak menilai, Jokowi memiliki potensi yang sama dengan SBY ketika menghadapi
fenomena konflik dan konfrontasi semacam itu. Jika ketegasan Jokowi bisa
diaplikasikan pada ranah pemerintahan sipil, lalu apakah yang bersangkutan
juga memiliki nyali besar tatkala aktor-aktor yang bermain itu berasal dari
kekuatan militer? Belum lagi kemampuan-kemampuan Jokowi dalam memainkan
strategi diplomasi internasional secara cerdas, tanpa harus mengompromikan
kepentingan nasional dan kedaulatan negara dalam berbagai sengketa, dalam
politik internasional. Aspek-aspek itu belum pernah dijamah oleh Jokowi dalam
kapasitasnya sebagai wali kota dan gubernur.
Terbatasnya Saham Politik Jokowi
Stabilitas
pemerintahan sangat ditentukan oleh kuat atau lemahnya dukungan politik di
parlemen. Berdasarkan sejumlah survei kuantitatif, Jokowi yang berasal dari
PDI-P perjuangan memberikan efek boosting
terhadap elektabilitas dan akseptabilitas politik PDI-P di kalangan
masyarakat. Kendati demikian, sekuat apapun PDI-P
akan kerepotan untuk menjaga stabilitas parlemen jika Jokowi diusung dengan
figur dari parpol yang sama. Karena itu, strategi koalisi menjadi
keniscayaan. Selain itu, stabilitas partai pendukung juga tidak hanya
dipengaruhi oleh loyalitas partai-partai koalisi yang berkomitmen memberikan
dukungan politiknya di parlemen dan kabinet.
Pertanyaan
mendasarnya, jika benar hasil-hasil survei itu terbukti validitasnya di mana
Jokowi terpilih sebagai Presiden RI, lalu seberapa besarkah kekuatan Jokowi
dalam memengaruhi arah kebijakan di internal PDI-P selaku partai penguasa (the ruling party)? Harus digarisbawahi
bahwa majunya Jokowi merupakan ikhtiar politik Ketua Umum PDIP Megawati yang
berusaha menangkap aspirasi politik di internal partainya. Meskipun pada saat
yang sama, pencalonan Jokowi ini juga dikabarkan menyisakan persoalan
faksionalisme di tubuh PDI-P yang mengonsolidasikan kelompok yang tidak
menyetujui pencalonan Jokowi.
Terlebih
lagi, konon faksi penolak Jokowi adalah kelompok pendukung kemurnian dinasti
politik Soekarno. Artinya, meski saat ini Megawati selaku jangkar kekuasaan
PDIP merasa legawa mencapreskan Jokowi, tidak sedikit pula pihak-pihak yang
selama ini menyandarkan afiliasi politik mereka ke anak-anak Megawati sebagai
patron di internal partai untuk mengontrol atau bahkan mencari momentum tepat
untuk ”mengambil-alih” tongkat kekuasaan itu kembali.
Di
sinilah kedewasaan dan komitmen politik keluarga Megawati diuji, akankah
mereka ”taqlid” pada ikhtiar
politik Megawati ataukah tengah menyiapkan pembangkangan dengan memperalat
para ”putra mahkota” yang telah
disiapkan selama ini. Terlepas daripada itu, patut digarisbawahi bahwa
kekuatan politik Jokowi di internal partainya bukanlah variabel yang independent, melainkan variabel dependent. Artinya, kekuatan pengaruh
Jokowi terhadap internal PDI-P sangat bergantung pada restu dan kalkulasi
politik Megawati dan anak-anak biologisnya selaku pemilik ”saham utama
partai”.
Maka,
jika ke depan terjadi gesekan kepentingan antara Jokowi yang dipercaya publik
hendak memperjuangkan clean government
dan good government, dengan
kelompok kepentingan lain di internal partainya yang berseberangan, maka
krisis legitimasi dari partai penguasa (the
ruling party) berpotensi terjadi. Dalam konteks ini, posisi Jokowi sangat
rentan (vulnerable) terhadap
tekanan politik dari internal partainya. Situasi ini berpeluang menimbulkan
instabilitas dan ketidakefektifan kinerja pemerintahan, mengingat
akuntabilitas kekuasaan tertinggi dalam sistem presidensial berada di tangan
presiden. Lalu jika otoritas presiden itu
ternyata cenderung dikendalikan oleh kelompok-kelompok kepentingan dari
internal partai, maka tidak berlebihan jika stereotype Jokowi sebagai ”boneka
politik” itu benar adanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar