Pilkada
Asimetris
dan
Tafsir Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945
Ridwan Mukti ;
Bupati Musi Rawas, Sumsel;
Doktor
Hukum FH Universitas Sriwijaya
|
KOMPAS,
08 Maret 2014
Pembahasan
RUU Pemilihan Kepala Daerah yang berlangsung di DPR baru-baru ini,
bagaimanapun, sangat penting dalam mengukur kapasitas demokrasi kita. Apakah
keputusan akhir pembahasan itu mampu menjawab berbagai soal krusial yang
selama ini jadi kritik keras terhadap model pemilihan langsung secara
seragam? Sejauh yang kami amati, perkembangannya masih tetap terbelah: apakah
kepala daerah dipilih langsung rakyat atau malah dipilih DPRD.
Iramanya
tetap pada penyeragaman, bukan keberagaman (asimetris), yang justru menjadi
titik lemah utama dalam penyelenggaraan pilkada dan bertentangan dengan fakta
keberagaman Indonesia.
Pluralitas
adalah keniscayaan. Karena itu, pilkada seyogianya beragam. Pelaksanaan
pilkada langsung memperlihatkan bahwa dari awal hingga saat ini lebih banyak
menimbulkan ekses negatif. Pilkada langsung menjadi bumerang melalui
penafsiran seragam terhadap makna frasa ”dipilih secara demokratis” dalam
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah.
Harus beragam model
Sebagai
seorang kepala daerah yang juga merupakan produk perundang-undangan terkait
pilkada langsung yang seragam, saya merasakan sendiri berbagai kelemahan
model pilkada itu. Seharusnya ini direnungkan anggota DPR saat ini.
Saya
berharap ada kesadaran baru mencari model pilkada yang merupakan koreksi
terhadap model pemilihan langsung ataupun model sebelumnya, yakni dipilih
DPRD. Sebuah model yang disesuaikan dengan karakteristik daerah diharapkan
mampu mencegah polarisasi pemilih emosional dan transaksional, serta
memperkuat NKRI.
Berdasarkan
hasil penelitian saya untuk disertasi di Fakultas Hukum Universitas
Sriwijaya, frasa ”dipilih secara demokratis” untuk pilkada dalam Pasal 18
Ayat (4) UUD 1945 bertujuan agar bersifat fleksibel. Menurut saya, pasal itu
telah ditafsirkan secara tidak tepat, parsial, dan restriktif oleh UU No
32/2004.
UU No
32/2004 melakukan tafsir secara parsial terhadap Pasal 18 Ayat (4) karena
tidak mempertimbangkan 16 pasal lain dalam UUD 1945. Karena itu, pilkada
diselenggarakan secara langsung dan diseragamkan. UU itu dibentuk
terburu-buru dan setengah diam-diam.
Pembuat
UU dapat menentukan sistem pilkada yang sesuai dengan kondisi daerah tertentu
(langsung atau melalui DPRD) sebagai penghargaan konstitusi terhadap
keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat antardaerah yang berbeda.
Pada
hemat saya, penting sekali jika dalam membahas RUU Pilkada digali model yang
paling tepat penerapannya di Indonesia tanpa menafikan pergaulan
internasional (globalisasi) dan kearifan lokal dalam wadah NKRI. Disertasi
saya menyimpulkan bahwa model pilkada ke depan merupakan conditio sine qua non, harus beragam, yang mencerminkan
kebinekaan dalam kerangka NKRI.
Model
itu bukan untuk meniadakan pilkada langsung dan pemilihan melalui DPRD, melainkan
memungkinkan untuk menambahkan model
lain. Sebagai contoh, menggabungkan antara pilkada langsung dan tidak
langsung melalui sistem pemilihan langsung bertingkat yang dipersempit (popular vote). Konkretnya, pilkada
dapat dipilih DPRD, dipilih langsung, atau dipilih sistem campuran, yakni:
(a) pemilihan oleh DPRD diperluas; (b) pemilihan langsung dipersempit; atau
(c) pemilihan oleh adat.
Jika
ingin melihat berdasarkan daerah, hasil penelitian saya menunjukkan, model
pilkada langsung paling tepat dilaksanakan di Pulau Jawa dan Sumatera
(kecuali untuk Kepulauan Riau, yang cocok menggunakan sistem perwakilan
diperluas, dan Provinsi Aceh yang cocok dengan sistem pilkada langsung
dipersempit). Model pilkada dengan sistem perwakilan diperluas cocok dilaksanakan
di Pulau Bali, Sulawesi, dan Kalimantan, termasuk DKI Jakarta mengusulkan
sistem perwakilan diperluas.
Adapun
model forum adat wilayah cocok diterapkan di Kabupaten Buleleng (Bali),
Kabupaten Bau-Bau (Pulau Buton), Provinsi DI Yogyakarta, dan kabupaten-kabupaten
di Provinsi Papua. Model pilkada dengan sistem perwakilan DPRD cocok
diterapkan di Sumatera Selatan, termasuk untuk Provinsi Papua.
Semua
responden di setiap daerah yang berhasil dikumpulkan sepakat untuk tetap
menjadikan prinsip-prinsip dalam Pancasila, terutama sila ke-4, diterapkan
dalam menengahi demokratisasi liberal dengan tetap mempertahankan kearifan
lokal.
Desentralisasi hukum
Pertanyaannya
adalah bagaimana aturan hukumnya? Menurut saya, pengaturan pilkada ke depan
dilakukan melalui UU yang bersifat umum dan dilaksanakan secara teknis oleh
perda masing-masing provinsi atau kabupaten/kota. Peraturan perundangan yang
berkaitan dengan pilkada, baik di pusat maupun daerah didesain secara efektif
dan efisien.
Perundang-undangan
itu dirumuskan dalam kerangka pokok untuk mendukung penguatan sistem politik
demokrasi Indonesia, penguatan negara hukum Pancasila, penguatan kekuasaan
pemerintahan di bawah presiden, tujuan pembangunan berkelanjutan dalam rangka
pembentukan masyarakat demokratis Pancasila, memantapkan konsensus bahwa NKRI
adalah harga mati, menghasilkan akuntabilitas tertinggi dari sebuah
legitimasi sosial di daerah, dan mengedepankan kearifan lokal. Akan tetapi,
ia tetap responsif terhadap perkembangan global.
Penempatan
perda sebagai landasan hukum dapat dilihat dari perjalanan sejarah
desentralisasi. Pada Orde Lama hingga akhir Orde Baru dapat terlihat hubungan
antara pusat dan daerah hanya sebatas hubungan administratif atau hanya
ditempatkan sebagai obyek pusat. Di era Orde Reformasi, dalam UU No 22/1999
dan UU No 32/2004, dalam konteks pilkada, peran daerah meningkat sebagai
subyek. Di sini daerah yang menyelenggarakan, memilih, dan menetapkan hasil
pilkada. Artinya, terjadi pergeseran paradigma dari desentralisasi administratif
ke desentralisasi politik, selanjutnya mengarah ke desentralisasi hukum,
yaitu pengaturan pilkada melalui perda.
Berdasarkan
gejala pergeseran peran tersebut, dicermati pula bahwa otonomi administratif
telah bergeser jadi otonomi dalam pengaturan pilkada. Namun, tetap dalam
koridor UU yang mengatur pokok-pokok pilkada untuk mengikat perda yang berada
dalam kesatuan sistem hukum nasional. Bagaimanapun pengaturan pilkada tetap
dalam format sistem politik nasional.
Pertanyaan
berikutnya: bagaimana posisi KPU dan wakil kepala daerah? Menurut saya,
posisi wakil kepala daerah sebaiknya dihilangkan atau diatur sesuai
kebutuhan. Untuk penyelenggara pilkada beragam tidak harus KPUD. Pengaturan
KPUD sebagai penyelenggara pilkada dalam UU Pemilu harus dikeluarkan karena
sudah tidak relevan. Lembaga penyelenggara pilkada beragam tak harus seragam,
tetapi harus memiliki kredibilitas tinggi serta bersifat ad hoc dan on call. Lembaga penyelenggara juga tak perlu
berkantor secara permanen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar