Mental
Penerabas
Munawir Aziz ;
Peneliti
|
TEMPO.CO,
12 Maret 2014
Bagaimana
bangsa ini menjelaskan masa depannya?
Simaklah, bagaimana tiap hari krisis mental warga negeri ini:
menerobos portal pembatas kereta api, bangga membuang sampah sembarangan,
hingga dengan percaya diri merusak fasilitas umum. Hal ini menjadi cerminan
hidup orang-orang di jalan. Lalu, bagaimana hal ini berakar? Dalam ranah
sistemik, yang hadir adalah mental penerabas. Pada bagian terendah, adalah
keacuhan tingkat tinggi untuk merawat milik bersama. Sementara itu, di
wilayah elite, yang hadir adalah budaya korupsi dan menjiplak.
Tradisi
korup dan plagiat sejatinya lahir dari akar yang sama: mental menerabas.
Bangsa bermental penerabas ingin menikmati kesuksesan tanpa proses, ingin
menjemput kemewahan tanpa kerja keras. Lalu, korupsi menjadi bagian dari
manifestasi mental kerdil dalam panggung politik. Sementara itu, plagiat
adalah wujud ketidakberdayaan mental, kelemahan moral, dan hilangnya
integritas di ranah akademik. Kedua hal inilah-korupsi dan penjiplakan-yang
selama ini menjadi batu sandungan dalam mendorong transformasi bangsa ini ke
arah yang lebih cerah.
Masalah
mental ini menjadi bagian penting dari perdebatan filsafat pengetahuan pada
kurun waktu lima dekade terakhir. Beberapa sarjana dan pemikir membahas
bagaimana memformulasikan mental manusia Indonesia sebenarnya. Krisis mental
bangsa Indonesia tentu saja menjadi bagian dari sindrom pasca-kolonial, di
mana pengetahuan yang dikokohkan oleh peradaban kolonial mengkonstruksi
mental manusia di negeri ini. Akibatnya, yang tersisa adalah kekaguman
terhadap yang asing, rendah diri, dan tidak berani berkompetisi.
Lemahnya
mental bangsa Indonesia, dalam pengamatan Koentjaraningrat, merupakan akar
dari krisis. Koentjaraningrat (1996) menyebut bahwa orang Indonesia mengidap
penyakit kronis berupa mentalitas penerabas. Mentalitas ini membawa orang
Indonesia menjadi mudah terpesona, terkagum karena rendahnya wawasan,
menginginkan cara-cara instan untuk menghasilkan sesuatu, dan hilangnya rasa
kepekaan terhadap mutu. Koentjaraningrat melacak akar lahirnya mental
penerabas pada sindrom pasca-kolonial, kekacauan zaman revolusi, dan
pasca-revolusi.
Adapun
budayawan Mochtar Lubis (1997) menganggap bahwa mentalitas bangsa ini masih
percaya pada takhayul. Dalam artian, takhayul ini menjadi penghambat kemajuan
dan membunuh semangat kerja manusia Indonesia untuk meningkatkan
produktivitas. Tentu saja, takhayul berbeda dengan kepercayaan terhadap hal
gaib. Menghamba takhayul hanya menjadi manifestasi dari kemalasan.
Mental
penerabas berbanding lurus dengan kemalasan. Ia yang menanam dan menyuburkan
mental penerabas, dengan sendirinya akan membunuh semangat dan mematikan akal
sehat. Orang-orang yang bermental penerabas sejatinya tak layak hadir di
panggung politik, karena ia akan mengingkari proses menjadi negarawan. Di
sisi lain, mereka yang bermental kerdil perlu dibersihkan dari ranah
pendidikan. Sebab, orang-orang yang bermental penerabas akan memblokir jalur
menjadi begawan: fitrah sang pencerah, pelayan pengetahuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar