Kamis, 13 Maret 2014

Dokter, Doktor, dan Profesor

Dokter, Doktor, dan Profesor

Ario Djatmiko  ;   PB IDI, Ketua Bidang Penataan Praktik Global
JAWA POS,  12 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
SAAT lulus dokter, saudara angkat saya yang pengusaha Tionghoa dengan bijak memberi nasihat. Pepatah Tionghoa mengatakan, "Kehilangan uang, kita kehilangan sedikit. Kehilangan perusahaan berarti hilang banyak. Tetapi, kalau kita kehilangan nama, berarti kita telah kehilangan segalanya"

Walaupun saya bukan pengusaha, nasihat itu saya pegang teguh. Sayang, saya tidak sempat menyampaikan nasihat sederhana ini kepada Anggito Abimanyu. Saya pengagum berat Anggito. Tidak ada tulisannya yang terlewatkan. Artikelnya selalu merupakan buah pikir yang cemerlang. Mungkin Anggito, juga banyak tokoh lain, tidak sadar bahwa kekaguman itu meminta tanggung jawab. Seorang teman saking kecewanya, bercerita, "Hari itu semua tulisan Anggito saya buang ke tempat sampah."

Kita kerap melihat vonis baik-buruk diletakkan begitu saja dengan kejam, tanpa maaf. Dunia seakan lembaran yang hanya punya dua sisi, hitam-putih. Adakah manusia di bumi ini yang bebas dari kesalahan? Saya yakin, tidak semua tulisan Anggito plagiat. Banyak tulisan dan buah pikir Anggito yang asli dan benar-benar berbobot.

Mencemaskan

Karena nila setitik, rusak susu sepanci. Benar, plagiat adalah nila pekat yang menghancurkan kredibilitas akademisi. Kita patut bertanya, apakah akademisi elite yang tanpa nila tetapi juga tidak pernah menghasilkan susu, layak mendapat tempat terhormat? Begitu pentingkah peran intelektual dalam satu negara? Plato mengatakan, mereka adalah lilin di dalam kegelapan. Mereka yang menerangi jalan menuju masa depan.

Dalam knowledge war yang kejam ini, kehadiran akademisi cemerlang sungguh menjadi keharusan. Brian Yuliarto, alumnus ITB doktor dari The University of Tokyo, mengutip Nature, persentase tulisan ilmiah Asia di dunia meningkat dari 16 persen pada 1990 menjadi 25 persen (2005). Jumlah ini masih di bawah Eropa dan Amerika, 38 persen dan 33 persen. Namun, National Science Foundation (NSF) mencatat, paper ilmiah di Asia-Pasific meningkat tajam, sementara Amerika tetap. NSF melihat Asia Pasific merupakan ancaman serius.

Di mana posisi akademisi-peneliti Indonesia dalam kompetesi vital ini? Menyedihkan! Thomson Scientific mengeluarkan data: pada 2004 Indonesia hanya menghasilkan 522 karya tulis. Jauh di bawah negeri jiran, hanya 1/3 dari jumlah karya ilmiah Malaysia dan 1/11 jumlah Singapura. Percepatannya pun paling rendah, lebih rendah daripada Vietnam.

Akademisi adalah kelas masyarakat yang memiliki privilege untuk menyatakan kebenaran, kata Alvin Toffler. Mereka manusia-manusia unggul yang mengabdikan sepenuh hidupnya bagi keilmuan dan kebenaran.

Salah Tempat

Seorang pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bercerita tentang wartawan yang akan menuntut profesor. Kisahnya, si wartawan berobat ke tempat praktik seorang dokter yang juga bergelar doktor dan profesor. Ternyata, praktiknya diganti dokter lain yang bukan doktor dan bukan profesor. Marah besar: "Ini penipuan, saya tuntut. Menurut undang-undang, dokter pengganti harus mempunyai kompetensi setara".

Syukur semua selesai setelah pengurus IDI berhasil menerangkan: "Gelar doktor dan profesor bukan menunjukkan kompetensi, Pak. Itu gelar akademis yang dipakai saat bertugas di universitas. Kompetensi dilihat dari gelar dokter dan spesialisnya. Pada kasus Bapak, tidak ada pelanggaran undang-undang, sebab dokter pengganti itu spesialisasinya sama". Masih dengan nada marah: "Lantas untuk apa gelar profesor dicantumkan di tempat praktik? Jelas itu menyesatkan masyarakat."

Beberapa waktu lalu saya menyaksikan ujian terbuka doktor di sebuah universitas. Saya kagum dan terharu. Bukan karena ketangkasannya menjawab, tetapi karena keberaniannya memilih jalan hidup. Menyandang gelar doktor, berarti dia menyerahkan seluruh hidupnya demi keilmuan dan kebenaran. Doktor adalah knowledge producer, bukan knowledge consumer. Kehormatannya diukur dari besarnya produk keilmuan. Dia yang terdepan dalam menjaga kemuliaan bangsanya. Hidupnya sepenuhnya di laboratorium untuk terus meneliti, menemukan hal baru. Tak ada kerja kerja praktis.

Berbeda dengan dokter. Sebagai pekerja, dokter tergolong knowledge worker, pengguna ilmu atau knowledge consumer. Ruang kerjanya jelas berbeda. Kehormatannya diukur dari standard practice dan standard ethical di ruang praktik.

Profesor? Dia adalah akademisi paripurna yang kredibilitasnya telah teruji. Gelar profesor langsung ditandatangani kepala negara. Artinya, dia mendapat legitimasi untuk memimpin negerinya dalam knowledge war. Memilih ilmu yang terbaik dan terkini untuk didistribusikan kepada anak didiknya.

Mengapa dokter bergelar doktor dan profesor di negeri ini masih banyak yang praktik? Buka Google, ketik salaries professor and doctor. Anda akan tahu di negara mana pun profesor dan doktor tidak pernah kaya. Tujuan hidup mereka hanya meraih kehormatan, bukan mengejar harta. Kalaupun mereka hadir di ruang publik, selalu pro bono & community service alias gratis.

Bukan berarti mereka harus miskin. Kehidupan mereka nyaman dan aman, dijamin negara. Bagaimana kehidupan peneliti di negeri ini? Sulit berbicara dedikasi di negeri yang serba tidak aman ini. Namun, kita harus sepakat, nilai intelektual bukan terletak dalam gelarnya, tetapi dalam sikap dan gagasannya. Dan, ruang satunya harus ada yang mengisi atau negeri ini akan tetap dalam gelap tanpa lilin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar