Dokter,
Doktor, dan Profesor
Ario Djatmiko ;
PB IDI, Ketua Bidang Penataan Praktik Global
|
JAWA
POS, 12 Maret 2014
SAAT
lulus dokter, saudara angkat saya yang pengusaha Tionghoa dengan bijak
memberi nasihat. Pepatah Tionghoa mengatakan, "Kehilangan uang, kita kehilangan sedikit. Kehilangan perusahaan
berarti hilang banyak. Tetapi, kalau kita kehilangan nama, berarti kita telah
kehilangan segalanya".
Walaupun saya bukan pengusaha, nasihat itu
saya pegang teguh. Sayang, saya tidak sempat menyampaikan nasihat sederhana
ini kepada Anggito Abimanyu. Saya pengagum berat Anggito. Tidak ada
tulisannya yang terlewatkan. Artikelnya selalu merupakan buah pikir yang
cemerlang. Mungkin Anggito, juga banyak tokoh lain, tidak sadar bahwa
kekaguman itu meminta tanggung jawab. Seorang teman saking kecewanya,
bercerita, "Hari itu semua tulisan
Anggito saya buang ke tempat sampah."
Kita kerap
melihat vonis baik-buruk diletakkan begitu saja dengan kejam, tanpa maaf.
Dunia seakan lembaran yang hanya punya dua sisi, hitam-putih. Adakah manusia
di bumi ini yang bebas dari kesalahan? Saya yakin, tidak semua tulisan
Anggito plagiat. Banyak tulisan dan buah pikir Anggito yang asli dan
benar-benar berbobot.
Mencemaskan
Karena
nila setitik, rusak susu sepanci. Benar, plagiat adalah nila pekat yang
menghancurkan kredibilitas akademisi. Kita patut bertanya, apakah akademisi
elite yang tanpa nila tetapi juga tidak pernah menghasilkan susu, layak
mendapat tempat terhormat? Begitu pentingkah peran intelektual dalam satu
negara? Plato mengatakan, mereka adalah lilin di dalam kegelapan. Mereka yang
menerangi jalan menuju masa depan.
Dalam knowledge war yang kejam ini,
kehadiran akademisi cemerlang sungguh menjadi keharusan. Brian Yuliarto,
alumnus ITB doktor dari The University
of Tokyo, mengutip Nature, persentase tulisan ilmiah Asia di dunia
meningkat dari 16 persen pada 1990 menjadi 25 persen (2005). Jumlah ini masih
di bawah Eropa dan Amerika, 38 persen dan 33 persen. Namun, National Science
Foundation (NSF) mencatat, paper ilmiah di Asia-Pasific meningkat tajam,
sementara Amerika tetap. NSF melihat Asia Pasific merupakan ancaman serius.
Di mana
posisi akademisi-peneliti Indonesia dalam kompetesi vital ini? Menyedihkan! Thomson Scientific mengeluarkan data:
pada 2004 Indonesia hanya menghasilkan 522 karya tulis. Jauh di bawah negeri
jiran, hanya 1/3 dari jumlah karya ilmiah Malaysia dan 1/11 jumlah Singapura.
Percepatannya pun paling rendah, lebih rendah daripada Vietnam.
Akademisi
adalah kelas masyarakat yang memiliki privilege
untuk menyatakan kebenaran, kata Alvin Toffler. Mereka manusia-manusia unggul
yang mengabdikan sepenuh hidupnya bagi keilmuan dan kebenaran.
Salah Tempat
Seorang
pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bercerita tentang wartawan yang akan
menuntut profesor. Kisahnya, si wartawan berobat ke tempat praktik seorang
dokter yang juga bergelar doktor dan profesor. Ternyata, praktiknya diganti
dokter lain yang bukan doktor dan bukan profesor. Marah besar: "Ini penipuan, saya tuntut. Menurut
undang-undang, dokter pengganti harus mempunyai kompetensi setara".
Syukur
semua selesai setelah pengurus IDI berhasil menerangkan: "Gelar doktor dan profesor bukan menunjukkan kompetensi, Pak.
Itu gelar akademis yang dipakai saat bertugas di universitas. Kompetensi
dilihat dari gelar dokter dan spesialisnya. Pada kasus Bapak, tidak ada
pelanggaran undang-undang, sebab dokter pengganti itu spesialisasinya
sama". Masih dengan nada marah: "Lantas
untuk apa gelar profesor dicantumkan di tempat praktik? Jelas itu menyesatkan
masyarakat."
Beberapa
waktu lalu saya menyaksikan ujian terbuka doktor di sebuah universitas. Saya
kagum dan terharu. Bukan karena ketangkasannya menjawab, tetapi karena
keberaniannya memilih jalan hidup. Menyandang gelar doktor, berarti dia
menyerahkan seluruh hidupnya demi keilmuan dan kebenaran. Doktor adalah knowledge producer, bukan knowledge consumer. Kehormatannya
diukur dari besarnya produk keilmuan. Dia yang terdepan dalam menjaga
kemuliaan bangsanya. Hidupnya sepenuhnya di laboratorium untuk terus
meneliti, menemukan hal baru. Tak ada kerja kerja praktis.
Berbeda
dengan dokter. Sebagai pekerja, dokter tergolong knowledge worker, pengguna ilmu atau knowledge consumer. Ruang kerjanya jelas berbeda. Kehormatannya
diukur dari standard practice dan standard ethical di ruang praktik.
Profesor?
Dia adalah akademisi paripurna yang kredibilitasnya telah teruji. Gelar
profesor langsung ditandatangani kepala negara. Artinya, dia mendapat
legitimasi untuk memimpin negerinya dalam knowledge
war. Memilih ilmu yang terbaik dan terkini untuk didistribusikan kepada
anak didiknya.
Mengapa
dokter bergelar doktor dan profesor di negeri ini masih banyak yang praktik?
Buka Google, ketik salaries professor
and doctor. Anda akan tahu di negara mana pun profesor dan doktor tidak
pernah kaya. Tujuan hidup mereka hanya meraih kehormatan, bukan mengejar
harta. Kalaupun mereka hadir di ruang publik, selalu pro bono & community service alias gratis.
Bukan
berarti mereka harus miskin. Kehidupan mereka nyaman dan aman, dijamin negara.
Bagaimana kehidupan peneliti di negeri ini? Sulit berbicara dedikasi di
negeri yang serba tidak aman ini. Namun, kita harus sepakat, nilai
intelektual bukan terletak dalam gelarnya, tetapi dalam sikap dan gagasannya.
Dan, ruang satunya harus ada yang mengisi atau negeri ini akan tetap dalam
gelap tanpa lilin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar