Rabu, 26 Maret 2014

Menjaga Modal Sosial

Menjaga Modal Sosial

Trisnanto  ;   Widyaiswara Utama Pusdiklat Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial; Alumnus S3 UNJ
KORAN JAKARTA,  25 Maret 2014

                                                                                         
                                                      
Tahun politik 2014 ditandai agenda besar pemilu legislatif dan presiden. Rakyat akan memberikan "suara Tuhan" mereka. Pilih wakil rakyat dan presiden berkarakter.

Bangsa meratap karena makin banyak persoalan kemanusiaan. Kenyamanan dan kerukunan sebagai ikatan berangsur-angsur memudar. Masalah sepele bisa berdampak serius, memicu tawuran, pembunuhan keji, atau tindakan sadistis lain.

Sebagian masyarakat makin tidak memiliki empati atas kesakitan sesama. Sahabat, tetangga, terkadang menderita atau terlunta-lunta karena sesamanya tidak peduli. Hubungan baik mudah dilupakan. Banyak tindakan merusak interaksi sesama. Patologi sosial makin menyeruak sehingga interaksi sosial dengan sahabat, rekan, dan tetangga terganggu.

Yang memprihatinkan, kejahatan sadistis kaum remaja makin meningkat. Kejahatan remaja melampaui usia mereka. Tindakan mereka bukan lagi ekspresi kenakalan remaja, tetapi sudah berupa kejahatan.

Tawuran siswa sudah lama tidak lagi bertangan kosong, tetapi menggunakan senjata tajam seperti samurai atau celurit. Tragedi berdarah tawuran pelajar dua SMK di Bogor pada Februari lalu berakibat satu pelajar tewas mengenaskan.

Atas nama "cinta", Ahmad Imam alias Hafitd, 19 tahun, dan Assifa Rahmadhani, 18 tahun, tega memukul, menyiksa, menyeterum, dan membunuh secara sadis Ade Sarah Angelina, 19 tahun, mantan pacar Hafitd. Pembunuhan terjadi dalam mobil yang terus melaju berjam-jam, lalu jasad Sarah dibuang di kolong jembatan Tol Bintara, Bekasi Barat, 5 Maret lalu.

Para pelaku dan korban sebelumnya sahabat karena sama-sama alumni sebuah SMA negeri di Jakarta Timur. Juga kasus asmara Mia, 19 tahun, siswa SMP negeri di Jakarta Selatan, dibunuh bekas sahabatnya. Tindakan sadistis dilakukan begitu instan. Keputusan bertindak negatif diambil secara kilat.

Melihat kondisi demikian, makin penting untuk membangun karakter bangsa. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan karakter memiliki sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.

Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama baik dalam lingkup keluarga, masyarakat bangsa, maupun negara. Individu yang berkarakter baik bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan akibatnya.

Karakter individu yang berempati, peduli sesama, bekerja sama, bertanggung jawab, dibentuk saat usia 3-10 tahun dalam keluarga. Maka, keluarga memainkan peran penting dalam masa depan anak. Kunci utama terletak pada orang tua yang harus memberi perhatian khusus pada pembentukan karakter anak.

Saat pileg dan pilpres, rakyat harus memilih kandidat yang mampu memperjuangkan aspirasi ketika duduk sebagai penyelenggara negara. Namun, repotnya, sekarang rakyat bingung karena mayoritas wakil rakyat lama yang kurang bagus, malas, manipulator, dan korup, kembali mencalonkan diri.

Tak ada yang dapat diharapkan dari wakil rakyat dengan karakter buruk seperti itu. Seandainya wakil rakyat lama yang cacat karakter terpilih lagi, betapa memprihatinkan masa depan bangsa.

Membangun karakter harus dimulai dari dalam keluarga. Namun, apa yang bisa dikatakan, ketika wanita wakil rakyat sesuai keputusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan harus bercerai dengan suaminya pada Maret 2014. Wanita wakil rakyat itu–parahnya–kini kembali mencalegkan diri dari suatu partai.

Dari kasus ini, seharusnya partai yang menjadi tempat bernaung mengantisipasi setiap orang yang bermasalah, termasuk urusan keluarga. Kandidat yang bercerai hendaknya dilarang mencalonkan diri lagi sebagai caleg. Kandidat harus memiliki karakter bagus, tidak bercerai, agar keluarganya melahirkan anak-anak yang baik demi masyarakat dan bangsa yang bagus pula.

Kemerosotan

Dulu, anggota keluarga berkumpul bersama pada malam hari, namun kini anak-anak, orang tua merasa kian sulit menyediakan waktu untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Banyak keluarga dulu bercengkerama di meja makan, terutama pada malam hari, sebagai bentuk ikatan persaudaraan.

Tradisi seperti ini barangkali semakin langka. Setiap anggota sibuk sendiri sehingga tak ada waktu untuk berkumpul dan bersenda gurau bersama lainnya.

Kesibukan anggota keluarga di luar rumah begitu menyita waktu, baik bekerja maupun menuntut ilmu, yang mengharuskan mereka lebih banyak berada di luar rumah. Kondisi seperti itu, di Amerika Serikat, oleh Robert Putnam digambarkan sebagai pecahnya jalinan sosial. Ini menunjuk pada kemerosotan "modal sosial" seperti kekerabatan, kerja sama, dan kerukunan.

Kemerosotan modal sosial diakui menjadi realitas dalam mayoritas keluarga Indonesia yang membawa kemungkinan kemerosotan modal sosial sehingga memicu tumbuh dan berkembangnya tindak kejahatan anggota keluarga. Dalam skala lebih luas, kemerosotan modal sosial dapat membawa perpecahan bangsa.

Ini menjadi tugas dan tanggung jawab bersama menjaga modal sosial tidak tergerus dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa. Menjaga dan merawat modal sosial untuk kebaikan keluarga, masyarakat, dan bangsa sangat penting.

Penyelenggara negara bertugas menegakkan kebenaran, keadilan, kerukunan, dan menghukum penjahat tanpa pandang bulu. Seluruh warga harus taat hukum. Aparat serta lembaga penegak hukum dalam posisi dominan membentuk karakter bangsa. Jangan "tebang pilih" dalam menegakkan hukum.

Itu hanya bisa terjadi bila penyelenggara negara bersih, jujur, dan objektif. Semua harus diperlakukan sama dalam masalah hukum agar tidak ada warga yang merasa tersakiti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar