Menjaga
Modal Sosial
Trisnanto ; Widyaiswara Utama Pusdiklat Kesejahteraan Sosial,
Kementerian Sosial; Alumnus S3 UNJ
|
KORAN
JAKARTA, 25 Maret 2014
Tahun
politik 2014 ditandai agenda besar pemilu legislatif dan presiden. Rakyat
akan memberikan "suara Tuhan" mereka. Pilih wakil rakyat dan
presiden berkarakter.
Bangsa
meratap karena makin banyak persoalan kemanusiaan. Kenyamanan dan kerukunan
sebagai ikatan berangsur-angsur memudar. Masalah sepele bisa berdampak
serius, memicu tawuran, pembunuhan keji, atau tindakan sadistis lain.
Sebagian
masyarakat makin tidak memiliki empati atas kesakitan sesama. Sahabat,
tetangga, terkadang menderita atau terlunta-lunta karena sesamanya tidak
peduli. Hubungan baik mudah dilupakan. Banyak tindakan merusak interaksi
sesama. Patologi sosial makin menyeruak sehingga interaksi sosial dengan
sahabat, rekan, dan tetangga terganggu.
Yang
memprihatinkan, kejahatan sadistis kaum remaja makin meningkat. Kejahatan
remaja melampaui usia mereka. Tindakan mereka bukan lagi ekspresi kenakalan
remaja, tetapi sudah berupa kejahatan.
Tawuran
siswa sudah lama tidak lagi bertangan kosong, tetapi menggunakan senjata
tajam seperti samurai atau celurit. Tragedi berdarah tawuran pelajar dua SMK
di Bogor pada Februari lalu berakibat satu pelajar tewas mengenaskan.
Atas
nama "cinta", Ahmad Imam alias Hafitd, 19 tahun, dan Assifa
Rahmadhani, 18 tahun, tega memukul, menyiksa, menyeterum, dan membunuh secara
sadis Ade Sarah Angelina, 19 tahun, mantan pacar Hafitd. Pembunuhan terjadi
dalam mobil yang terus melaju berjam-jam, lalu jasad Sarah dibuang di kolong
jembatan Tol Bintara, Bekasi Barat, 5 Maret lalu.
Para
pelaku dan korban sebelumnya sahabat karena sama-sama alumni sebuah SMA
negeri di Jakarta Timur. Juga kasus asmara Mia, 19 tahun, siswa SMP negeri di
Jakarta Selatan, dibunuh bekas sahabatnya. Tindakan sadistis dilakukan begitu
instan. Keputusan bertindak negatif diambil secara kilat.
Melihat
kondisi demikian, makin penting untuk membangun karakter bangsa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia menjelaskan karakter memiliki sifat-sifat kejiwaan, akhlak,
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.
Menurut
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri
khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat bangsa, maupun negara. Individu yang berkarakter baik bisa membuat
keputusan dan siap mempertanggungjawabkan akibatnya.
Karakter
individu yang berempati, peduli sesama, bekerja sama, bertanggung jawab,
dibentuk saat usia 3-10 tahun dalam keluarga. Maka, keluarga memainkan peran
penting dalam masa depan anak. Kunci utama terletak pada orang tua yang harus
memberi perhatian khusus pada pembentukan karakter anak.
Saat
pileg dan pilpres, rakyat harus memilih kandidat yang mampu memperjuangkan
aspirasi ketika duduk sebagai penyelenggara negara. Namun, repotnya, sekarang
rakyat bingung karena mayoritas wakil rakyat lama yang kurang bagus, malas,
manipulator, dan korup, kembali mencalonkan diri.
Tak ada
yang dapat diharapkan dari wakil rakyat dengan karakter buruk seperti itu.
Seandainya wakil rakyat lama yang cacat karakter terpilih lagi, betapa
memprihatinkan masa depan bangsa.
Membangun
karakter harus dimulai dari dalam keluarga. Namun, apa yang bisa dikatakan,
ketika wanita wakil rakyat sesuai keputusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
harus bercerai dengan suaminya pada Maret 2014. Wanita wakil rakyat
itu–parahnya–kini kembali mencalegkan diri dari suatu partai.
Dari
kasus ini, seharusnya partai yang menjadi tempat bernaung mengantisipasi
setiap orang yang bermasalah, termasuk urusan keluarga. Kandidat yang
bercerai hendaknya dilarang mencalonkan diri lagi sebagai caleg. Kandidat
harus memiliki karakter bagus, tidak bercerai, agar keluarganya melahirkan
anak-anak yang baik demi masyarakat dan bangsa yang bagus pula.
Kemerosotan
Dulu,
anggota keluarga berkumpul bersama pada malam hari, namun kini anak-anak,
orang tua merasa kian sulit menyediakan waktu untuk menghabiskan waktu
bersama-sama. Banyak keluarga dulu bercengkerama di meja makan, terutama pada
malam hari, sebagai bentuk ikatan persaudaraan.
Tradisi
seperti ini barangkali semakin langka. Setiap anggota sibuk sendiri sehingga
tak ada waktu untuk berkumpul dan bersenda gurau bersama lainnya.
Kesibukan
anggota keluarga di luar rumah begitu menyita waktu, baik bekerja maupun
menuntut ilmu, yang mengharuskan mereka lebih banyak berada di luar rumah.
Kondisi seperti itu, di Amerika Serikat, oleh Robert Putnam digambarkan
sebagai pecahnya jalinan sosial. Ini menunjuk pada kemerosotan "modal
sosial" seperti kekerabatan, kerja sama, dan kerukunan.
Kemerosotan
modal sosial diakui menjadi realitas dalam mayoritas keluarga Indonesia yang
membawa kemungkinan kemerosotan modal sosial sehingga memicu tumbuh dan
berkembangnya tindak kejahatan anggota keluarga. Dalam skala lebih luas,
kemerosotan modal sosial dapat membawa perpecahan bangsa.
Ini
menjadi tugas dan tanggung jawab bersama menjaga modal sosial tidak tergerus
dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa. Menjaga dan merawat modal sosial
untuk kebaikan keluarga, masyarakat, dan bangsa sangat penting.
Penyelenggara
negara bertugas menegakkan kebenaran, keadilan, kerukunan, dan menghukum
penjahat tanpa pandang bulu. Seluruh warga harus taat hukum. Aparat serta
lembaga penegak hukum dalam posisi dominan membentuk karakter bangsa. Jangan
"tebang pilih" dalam menegakkan hukum.
Itu
hanya bisa terjadi bila penyelenggara negara bersih, jujur, dan objektif.
Semua harus diperlakukan sama dalam masalah hukum agar tidak ada warga yang
merasa tersakiti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar