Modal
Sosial Kepemimpinan Jokowi
Jeffrie Geovanie ; Pendiri The Indonesian Institute
|
TEMPO.CO,
25 Maret 2014
Antara
menolak dan menerima dengan antusias, itulah respons publik terhadap
deklarasi Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (capres) dari Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Tapi, jika dibandingkan, jumlah orang
yang antusias tetap jauh lebih besar daripada yang menolak.
Antusiasme
publik dalam merespons pencalonan Jokowi antara lain disebabkan, menurut
sebagian kalangan, kehadiran Gubernur DKI Jakarta ini dianggap sebagai
antitesis dari sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tampak cerdas dan
gagah. Jokowi dinilai lambat dan kurang tegas dalam mengambil keputusan.
Memang
ada juga yang berpendapat antitesis SBY adalah Prabowo Subianto yang selain
gagah juga menunjukkan sikap tegas. Tapi mengapa dalam sejumlah survei,
elektabilitas Jokowi jauh di atas Prabowo? Ini bukti bahwa kalangan yang
menganggap antitesis SBY bukanlah Prabowo, melainkan Jokowi, jauh lebih
banyak.
Publik
menganggap Jokowi sebagai pemimpin yang otentik, tidak formalistik dan sarat
pencitraan seperti SBY. Penampilannya biasa-biasa saja. Tapi justru karena
biasa-biasa saja itulah, di luar gaya kepemimpinannya yang memang merakyat,
secara fisik Jokowi dianggap merepresentasikan rakyat pada umumnya.
Apakah
Jokowi benar-benar antitesis SBY atau bukan, yang jelas, di era demokrasi
seperti sekarang, tampak adanya proses transformasi dalam mendambakan sosok
pemimpin. Tahap pertama, mendambakan sosok pemimpin yang gagah dan pintar.
Pada sosok seperti inilah tumpuan rakyat diletakkan. Tampilnya SBY dianggap
merepresentasikan tahapan ini.
Tahap
kedua, setelah sosok yang gagah dan pintar terbukti kurang efektif menjadi
pemimpin, publik kemudian mendambakan sosok pemimpin yang memiliki
sifat-sifat yang jujur, tulus, dan hadir di tengah-tengah rakyat. Jadi, yang
didambakan bukan lagi tampilan fisiknya, tapi lebih pada karakteristiknya.
Entah
sampai kapan tahap kedua ini terus berlangsung, yang pasti, pada tahapan
berikutnya (tahap ketiga), saya yakin publik akan lebih berfokus pada
kompetensi.
Seorang
calon pemimpin akan dinilai layak menjadi pemimpin saat memiliki kemampuan
yang memadai, misalnya, dilihat dari capaian akademik dan pengalamannya
memimpin (rekam jejak).
Mereka
yang menolak pencalonan Jokowi pada umumnya menilai mantan Wali Kota Solo ini
tidak memiliki kapasitas yang memadai sebagai pemimpin yang berskala
nasional. Bisa jadi anggapan ini benar, tapi menurut saya, setidaknya Jokowi
sudah memiliki modal sosial yang memadai sebagai pemimpin.
Modal
sosial yang dimaksud adalah sumber daya yang dapat dipandang sebagai
investasi untuk mendapatkan sumber daya baru (Hasbullah, 2006: 5). Secara sosiologis, modal sosial seseorang
merupakan sesuatu yang dimiliki dan berpengaruh secara positif dalam proses
pola hubungan interaktif antara dirinya dan lingkungan, keluarga, asosiasi,
serta komponen-komponen lainnya.
Karena
menyangkut pola hubungan antara dirinya dan lingkungan, modal sosial
seseorang bisa dipengaruhi pertama-tama oleh karakter, hobi, dan keterampilan
nonteknis, seperti dalam mengelola kemarahan, kesabaran, dan hasrat
individualnya.
Selain
itu, ada faktor kedekatan dengan rakyat, kejujuran, keberpihakan pada
kebenaran, komitmen pada isu-isu kebangsaan, dan yang terakhir adalah
momentum (kesesuaian antara dirinya dan kebutuhan publik).
Soal
kedekatan pada rakyat, inilah modal sosial utama bagi pemimpin. Saat pemimpin
mengabaikan kepentingan rakyat, pada dasarnya ia telah berubah menjadi
penguasa, bukan pemimpin. Penguasa berjarak dan menjauh dari rakyat,
sementara pemimpin menjadi bagian dari rakyat.
Faktor
kejujuran juga menjadi modal sosial yang penting bagi seorang pemimpin.
Banyaknya pemimpin saat ini yang dinilai tidak jujur, korup, banyak
memanipulasi kepentingan negara untuk kepentingan diri dan partainya membuat
kejujuran menjadi nilai yang sangat mahal. Keberpihakan pada kebenaran
mungkin terlalu mewah bagi rakyat kebanyakan. Tapi modal sosial ini sangat
penting, karena pemimpin akan kehilangan perspektif saat terlepas dari
nilai-nilai kebenaran.
Last but not least, yang
menjadi modal sosial calon pemimpin adalah adanya momentum yang tepat. Banyak
kalangan menyebut ini sebagai faktor keberuntungan. Menurut saya, momentum
tidak sama dengan keberuntungan. Momentum seorang pemimpin adalah saat
pemimpin hadir di saat yang tepat. Artinya, watak dan kepribadian yang ada
pada dirinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang akan dipimpinnya.
Keunggulan
elektabilitas Jokowi dibanding capres yang lain, menurut saya, bukan semata
disebabkan faktor pemberitaan media (media
darling), seperti yang dituduhkan oleh lawan-lawan politiknya, melainkan
karena Jokowi memiliki modal sosial sebagai pemimpin.
Modal
sosial ini sangat penting untuk meraih kepercayaan publik. Jika kompetensinya
dianggap belum memadai, bisa ditutupi dengan memilih calon wakil presiden
yang dianggap punya kompetensi tinggi. Atau, presiden bisa juga dibantu dengan
merekrut tim kabinet yang ahli di bidangnya masing-masing (meritokrasi). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar