Menggagas
Revolusi Kedelai
(Tanggapan
untuk Dahlan Iskan)
MT Felix Sitorus ; Praktisi Agrobisnis, Peneliti Sosionomi Pertanian IPB
|
JAWA
POS, 25 Maret 2014
MANUFACTURING
HOPE Dahlan Iskan, Menteri BUMN, perihal swasembada kedelai penting
ditanggapi. Dahlan melihat adanya potensi swasembada kedelai pada pupuk
temuan Tjandramukti/Widjaya di Grobogan. Pupuk tersebut bisa mempertebal daun
kedelai untuk meningkatkan fotosintesis dan memperpendek ruas batang untuk
mempercepat transportasi nutrisi sehingga produktivitas kedelai dapat
mencapai 3,4 ton/ha (Manufacturing Hope
No 111, JP 14/1/2014 dan No 120, JP, 24/3/2014).
Tulisan
Dahlan tersebut memicu pertanyaan radikal di benak saya. Untuk mencapai
swasembada, mungkinkah kita menggalakkan pertanian kedelai model Grobogan
secara nasional? Pertanyaan ini mengarah pada gagasan revolusi kedelai.
Pelajaran Padi dan Jagung
Jauh
mendahului kedelai, pertanian padi dan jagung Indonesia sudah mengalami
revolusi. Revolusi padi, terkenal sebagai Revolusi Hijau, digalakkan pada
1970-an dan mengantarkan Indonesia pada swasembada beras pada 1984.
Inti
revolusi padi adalah perubahan radikal pola usaha tani secara masal/ nasional,
yaitu penerapan teknologi benih unggul (produksi tinggi) yang didukung
irigasi teknis, pupuk, dan pestisida. Perubahan tersebut diorganisasikan
sebagai suatu gerakan nasional.
Hasilnya,
pada 1984, Indonesia mencapai swasembada beras pada angka produksi 25,8 juta
ton (144 kg/kapita). Angka itu lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan
dengan angka produksi 1969 (12,2 juta ton). Indonesia membalik status dari
negara pengimpor menjadi pengekspor beras.
Berbeda
dengan revolusi padi, revolusi jagung adalah ''revolusi bisu'' (silent
revolution). Mobilisasi sumber daya dan gaungnya tidak sedahsyat revolusi
padi. Penggerak utamanya adalah perusahaan swasta yang memasarkan inovasi
benih unggul jagung hibrida secara luas.
Namun,
jika diukur dari angka produktivitas 1970-2013, revolusi jagung lebih dahsyat
daripada revolusi padi. Produktivitas jagung mengalami lompatan empat kali
lipat (399 persen) dari 0,96 ton/ha (1970) menjadi 4,8 ton/ha (2013).
Sementara itu, produktivitas padi hanya melompat 115 persen dari 2,37 ton/ha
menjadi 5,1 ton/ha.
Kunci
revolusi jagung adalah penerapan secara luas benih unggul jagung hibrida oleh
petani, didukung pupuk dan pestisida, sejak 1980-an.
Jadi,
kunci keberhasilan revolusi padi dan jagung adalah penerapan secara luas dan
terorganisasi inovasi benih unggul yang didukung aplikasi pengairan, pupuk,
serta pestisida secara tepat waktu dan jumlah. Revolusi padi digerakkan
organisasi pemerintah, sedangkan revolusi jagung oleh perusahaan swasta.
Giliran Kedelai
Tanpa
sentuhan revolusi, usaha tani kedelai di Indonesia menjadi periferal.
Produktivitas kedelai memang meningkat 95 persen dari 0,7 ton/ha (1970)
menjadi 1,4 ton/ha (2013). Tetapi, luas panen merosot dari 694,732 ha menjadi
571,564 ha, pertanda minat petani semakin rendah. Alasannya rugi karena
produktivitas rendah, biaya usaha tani tinggi, dan harga jual kalah dari
kedelai impor.
Tetapi,
mana yang benar, impor kedelai tinggi karena produksi domestik rendah atau
sebaliknya, produksi domestik merosot karena kalah oleh impor? Jawabannya
pragmatis, impor menjadi benar karena murah dan bermutu.
Jadi,
daripada sibuk berpolemik, lebih baik memikirkan cara memproduksi kedelai
bermutu secara masal dan murah. Di sinilah letak relevansi gagasan revolusi
kedelai.
Pertama,
unsur benih unggul sudah tersedia, hasil riset panjang dan mendalam dari
berbagai lembaga riset. Kementerian Pertanian telah melepas 8 varietas unggul
kedelai dengan produktivitas lebih dari 3,0 ton/ha. Tiga teratas
berturut-turut adalah Kipas Merah Bireun (3,5 ton); Detam 1 (345 ton); dan
Grobogan (4,4 ton) ditambah 11 varietas dengan produktivitas 2,0-3,0 ton/ha.
Rilis terbaru (2013) adalah kedelai varietas super genjah (67 hari) Gamasugen
dengan produktivitas 2,5 ton/ha yang dihasilkan Batan melalui teknik radiasi.
Kedua,
unsur pupuk sudah ditemukan Tjandramukti/Widjaya dari Grobogan, yaitu pupuk
pemanen fotosintensis berbasis kotoran sapi. Misalnya aplikasi teknologi itu
secara masal (nasional) menghasilkan rata-rata 3,0 ton/ha, berarti untuk
mencapai swasembada kedelai (10,2 kg/kapita) pada 2014 serta surplus (500.000
ton), cukup disediakan lahan 1,0 juta ha.
Ketiga,
unsur lahan yang sesuai untuk kedelai sudah diidentifikasi Kementan. Luasnya
1,0 juta ha, mayoritas persawahan, sehingga perlu pengaturan pergiliran
tanaman.
Keempat,
khusus unsur penggerak revolusi, harus menunjuk pada Kementerian BUMN. Bukan
karena Dahlan begitu bersemangat dengan kedelai, tetapi karena kementerian
itu memiliki semua kekuatan modal, teknologi, dan organisasi yang dibutuhkan
untuk menggerakkan revolusi kedelai. Unsur itulah yang selama ini alpa.
Kekuatan
BUMN sudah dimanifestasikan dalam konsorsium Gerakan Peningkatan Produksi
Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) sejak 2011. Tinggal kemauan politik untuk
menugaskan konsorsium GP3K (PT PIHC, PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, PT
Bulog, dan PT Inhutani) sebagai penggerak revolusi kedelai. PT Perkebunan
Nusantara bisa pula ditambahkan sebagai peternak sapi untuk produksi pupuk.
Untuk
pembagian kerja, PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani bisa memproduksi benih
unggul dengan memilih varietas-varietas yang telah dirilis Kementan. Pupuk
pemanen fotosintesis, bekerja sama dengan Tjandramukti/Widjaya, dapat diproduksi
PT PIHC (grup pupuk). Kotoran sapi untuk bahan baku dapat dihasilkan PTPN
dari peternakan sapi mereka. Berdasar rumus penemunya, untuk 1,0 juta ha
kedelai, diperlukan 50.000 ekor sapi sebagai sumber bahan baku pupuk.
Areal
kedelai 1,0 juta ha dapat dicapai melalui koordinasi dengan Kementan.
Sebagian dapat disediakan PT Inhutani dan PTPN. Dengan hitung-hitungan usaha
tani kedelai model Tjandramukti/Widjaya, petani akan berebut menjadi pasukan
revolusi.
Kedaulatan
kedelai adalah harga mati. Manufacturing
Hope has to become true. Setelah Kementan menjadi penggerak revolusi padi dan swasta menjadi
penggerak utama revolusi jagung,
kini saatnya BUMN menuliskan sejarahnya sebagai penggerak revolusi kedelai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar