Tunjangan
dan Kinerja Guru
Paulus Mujiran ; Pemerhati Pendidikan
|
TEMPO.CO,
25 Maret 2014
Beberapa
hari lalu seorang sahabat guru menulis di dinding media sosialnya: "Terima kasih Tuhan karena gaji
bulanan, tunjangan profesi/sertifikasi, insentif pemerintah, honor pembuatan
soal, sisa hasil usaha (SHU) cair." Saya membayangkan kawan guru
tersebut memiliki uang sekitar Rp 20 jutaan karena tunjangan profesi
merupakan rapel dari enam bulan sebelumnya.
Meski
uang demikian besar itu tidak diterima setiap bulan, pendapatan guru dari
gaji dan tunjangan profesi sudah memadai. Dengan pendapatan yang sedemikian
besar, seorang guru tidak dapat dikatakan miskin.
Namun,
yang menjadi pertanyaan sekarang, ketika guru-guru sudah sejahtera, adakah
terjadi perubahan di dunia pendidikan? Tantangan utama guru sekarang ialah
mewujudkan harapan masyarakat akan sosok guru profesional. Uang rakyat
triliunan rupiah sudah digelontorkan pemerintah untuk guru. Para guru harus
menjadikan dirinya sebagai guru profesional dan dapat diandalkan.
Pertama,
mentalitas dalam mengajar harus berubah. Tidak ada yang sangsi bahwa salah
satu tolok ukur kinerja guru adalah mentalitas dalam mendidik dan budaya
mengajar. Tunjangan profesi menyebabkan banyak orang berbondong-bondong
menjadi guru tanpa motivasi yang kuat. Banyak lulusan non-keguruan menjadi
guru. Mentalitas yang buruk tecermin dalam interaksi guru dan siswa yang
tidak berkualitas. Guru hanya menjadi tukang ajar, sekadar melaksanakan
pekerjaan.
Kedua,
tunjangan yang besar hanya mengubah pendapatan guru, tapi tidak mengubah pola
dalam mendidik dan budaya mengajar. Di kelas, nyaris tidak ada bedanya antara
guru yang sudah mendapatkan tunjangan profesi dan guru biasa yang belum lulus
sertifikasi.
Ketiga,
dalam pembelajaran di kelas, seorang guru dituntut untuk mengembangkan
pelajaran model PAKEM, yakni pembelajaran yang aktif, kreatif, edukatif, dan
menyenangkan. Namun tidak banyak guru melakukan pembelajaran macam itu.
Selain membutuhkan persiapan khusus, keterampilan guru pun dibutuhkan.
Seorang
guru dituntut tidak hanya memberikan materi yang ada dalam buku ajar,
melainkan juga dituntut memberi inovasi dalam pembelajaran. Guru yang hanya
berkutat pada pakem lamanya adalah guru mandul. Kelas yang dikelola guru
pasif akan cepat membosankan. Seorang guru tak hanya dituntut mengelola kelas
secara optimal, melainkan juga membawa peserta didik melampaui kegiatan
belajar-mengajar.
Keempat,
indikator lain dari kinerja guru adalah sosok guru sebagai makhluk pembelajar
dan terbuka terhadap pengetahuan baru. Sebagai seorang yang mendidik orang
lain, seorang guru tidak boleh berhenti belajar. Di era Internet ini, banyak
pengetahuan tidak lagi bergantung pada guru. Demikian halnya seorang guru, ia
harus terus-menerus memperdalam dan mempertajam ilmunya, sehingga dapat
memberikan pengetahuan kepada orang lain.
Guru
yang malas belajar membuat pembelajaran membosankan. Yang diajarkan monoton
dan tidak ada selera humor. Guru yang pasif bisa saja menjadi demikian karena
malas belajar. Artinya, tunjangan yang besar diberikan kepada guru sedikit
dampaknya terhadap kualitas pendidikan. Jika tidak ada korelasi antara
tunjangan besar dan kinerja pendidikan, adakah tunjangan ini perlu dievaluasi
kembali secara berkala? Atau, minimal ada penilaian berkala kepada para guru
dan tunjangan tidak diberikan selamanya? ●
|
Tetapi,
mana yang benar, impor kedelai tinggi karena produksi domestik rendah atau
sebaliknya, produksi domestik merosot karena kalah oleh impor? Jawabannya
pragmatis, impor menjadi benar karena murah dan bermutu.
Jadi,
daripada sibuk berpolemik, lebih baik memikirkan cara memproduksi kedelai
bermutu secara masal dan murah. Di sinilah letak relevansi gagasan revolusi
kedelai.
Pertama,
unsur benih unggul sudah tersedia, hasil riset panjang dan mendalam dari
berbagai lembaga riset. Kementerian Pertanian telah melepas 8 varietas unggul
kedelai dengan produktivitas lebih dari 3,0 ton/ha. Tiga teratas
berturut-turut adalah Kipas Merah Bireun (3,5 ton); Detam 1 (345 ton); dan
Grobogan (4,4 ton) ditambah 11 varietas dengan produktivitas 2,0-3,0 ton/ha.
Rilis terbaru (2013) adalah kedelai varietas super genjah (67 hari) Gamasugen
dengan produktivitas 2,5 ton/ha yang dihasilkan Batan melalui teknik radiasi.
Kedua,
unsur pupuk sudah ditemukan Tjandramukti/Widjaya dari Grobogan, yaitu pupuk
pemanen fotosintensis berbasis kotoran sapi. Misalnya aplikasi teknologi itu
secara masal (nasional) menghasilkan rata-rata 3,0 ton/ha, berarti untuk
mencapai swasembada kedelai (10,2 kg/kapita) pada 2014 serta surplus (500.000
ton), cukup disediakan lahan 1,0 juta ha.
Ketiga,
unsur lahan yang sesuai untuk kedelai sudah diidentifikasi Kementan. Luasnya
1,0 juta ha, mayoritas persawahan, sehingga perlu pengaturan pergiliran
tanaman.
Keempat,
khusus unsur penggerak revolusi, harus menunjuk pada Kementerian BUMN. Bukan
karena Dahlan begitu bersemangat dengan kedelai, tetapi karena kementerian
itu memiliki semua kekuatan modal, teknologi, dan organisasi yang dibutuhkan
untuk menggerakkan revolusi kedelai. Unsur itulah yang selama ini alpa.
Kekuatan
BUMN sudah dimanifestasikan dalam konsorsium Gerakan Peningkatan Produksi
Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) sejak 2011. Tinggal kemauan politik untuk
menugaskan konsorsium GP3K (PT PIHC, PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, PT
Bulog, dan PT Inhutani) sebagai penggerak revolusi kedelai. PT Perkebunan
Nusantara bisa pula ditambahkan sebagai peternak sapi untuk produksi pupuk.
Untuk
pembagian kerja, PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani bisa memproduksi benih
unggul dengan memilih varietas-varietas yang telah dirilis Kementan. Pupuk
pemanen fotosintesis, bekerja sama dengan Tjandramukti/Widjaya, dapat diproduksi
PT PIHC (grup pupuk). Kotoran sapi untuk bahan baku dapat dihasilkan PTPN
dari peternakan sapi mereka. Berdasar rumus penemunya, untuk 1,0 juta ha
kedelai, diperlukan 50.000 ekor sapi sebagai sumber bahan baku pupuk.
Areal
kedelai 1,0 juta ha dapat dicapai melalui koordinasi dengan Kementan.
Sebagian dapat disediakan PT Inhutani dan PTPN. Dengan hitung-hitungan usaha
tani kedelai model Tjandramukti/Widjaya, petani akan berebut menjadi pasukan
revolusi.
Kedaulatan
kedelai adalah harga mati. Manufacturing
Hope has to become true. Setelah Kementan menjadi penggerak revolusi padi dan swasta menjadi
penggerak utama revolusi jagung,
kini saatnya BUMN menuliskan sejarahnya sebagai penggerak revolusi kedelai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar