Bonus
atau Tagihan Demografi?
Daniel M Rosyid ; Penasihat
Dewan Pendidikan Jawa Timur
|
JAWA
POS, 22 Maret 2014
SEBUAH
harian nasional beberapa waktu lalu tampil dengan headline ''Bonus Demografi Tidak Optimal''. Itu
judul yang amat sopan, tapi justru berpotensi menyembunyikan akar masalah
demografi kita. Diagnosis dan terapi yang diusulkan pengamat serta teknokrat masih
terperangkap dalam dua asumsi yang sekarang sudah menjadi mitos.
Pertama,
jumlah penduduk lebih sedikit lebih baik, terutama untuk menjaga daya dukung
lingkungan. Pengendalian pertumbuhan penduduk penting dilakukan melalui
upaya-upaya penekanan angka kelahiran dalam keluarga miskin. Kedua, mutu
sumber daya manusia dapat ditingkatkan dengan memperbesar sistem
persekolahan. Semakin banyak sekolah dan semakin lama bersekolah semakin
baik.
Tulisan
ini akan menunjukkan bahwa dua asumsi tersebut keliru.
Daya Dukung Lingkungan
Asumsi
pertama, jumlah penduduk yang lebih sedikit selalu lebih baik sehingga harus
dipertahankan rendah melalui pembatasan kelahiran, terutama di kalangan warga
miskin. Asumsi itu memandang manusia secara negatif. Kemiskinan bukanlah
kondisi yang given, tapi buah dari proses pemiskinan yang mungkin saja
unintentionally imposed. Tidak ada daerah yang ''tertinggal'' karena yang
sebenarnya terjadi adalah ''ditinggalkan''.
Data-data
menunjukkan, daya rusak manusia dan negara miskin terhadap lingkungan justru
kecil. Yang merusak lingkungan secara besar-besaran adalah orang kaya dan
negara yang disebut dengan congkak ''maju dan beradab''. Salah satu yang
merusak alam itu adalah eksploitasi atas sumber-sumber energi tak terbarukan.
Saat ini
konsumsi energi per kapita warga AS mencapai 7 kiloliter setara minyak per
tahun. Orang Jepang dan Eropa sekitar 5 kiloliter. Bandingkan dengan orang
Indonesia yang hanya 0,7 kiloliter. Emisi gas rumah kaca hasil pembakaran BBM
dan batu bara menjadi penyebab utama pemanasan global serta perubahan iklim.
Ivan
Illich dalam Energy and Inequity
menyatakan, ketimpangan konsumsi energi menjadi sumber ketidakadilan dan
pertanda masyarakat yang sakit. Salah satu penyakit yang tidak disebut yang
menjangkiti negara-negara maju adalah kehancuran keluarga (home-breaking). Gejala keruntuhan
keluarga di Indonesia saat ini ditunjukkan oleh 35 perceraian/jam, kenakalan
remaja, penyalahgunaan narkoba, geng motor yang makin brutal, tawuran
pelajar, sampai pelacuran remaja.
Schooling v Learning
Asumsi
kedua yang dianut pemerintah selama ini berpijak pada paradigma schoolism. Pendidikan disamakan dengan
persekolahan. Memperbanyak sekolah dan memperlama bersekolah dijadikan resep
pokok. Wajib belajar diartikan sebagai wajib sekolah. Kebijakan itu pun
keliru, apalagi pada abad digital ini.
Pendekatan
schooling sebenarnya mengakibatkan
akses warga terhadap pendidikan terbatas. Ini kaidah ekonomi: setiap barang
publik yang disalurkan melalui lembaga tertentu akan menjadi barang langka.
Sudah saatnya kita ganti pendekatan schooling
dengan learning. Yang perlu
diperluas adalah kesempatan belajar melalui informal learning webs yang lentur dan luwes serta bisa
disesuaikan dengan bakat dan minat warga muda.
Belajar
sebenarnya merupakan sebuah proses alamiah. Kita tidak membutuhkan sekolah
untuk belajar. Belajar sebagai proses setidaknya mencakup tiga hal. Pertama,
eksplorasi, terutama melalui membaca. Kedua, praktik dan mengalami di alam
dan masyarakat. Ketiga, mengekspresikan diri, setidaknya secara tulisan
maupun lisan. Anak-anak kita umumnya diciptakan Tuhan dengan cerdas.
Kurikulum sering menghina kecerdasan mereka. Sugata Mitra telah
membuktikannya belum lama ini melalui Self
Organized Learning Environment (SOLE) yang dicobakan di India dan
Inggris.
Persekolahan
membagi warga negara menjadi kelompok usia sekolah (yang tidak produktif) dan
kelompok usia produktif. Artinya, anak-anak hingga usia SMP justru tidak
produktif karena tidak boleh bekerja lantaran harus bersekolah. Pendekatan
sekolah memberikan pesan dan kesan seolah-olah bekerja secara produktif itu
bukan belajar. Padahal, belajar adalah kesempatan yang bisa muncul di mana
saja dan kapan saja, terutama justru saat bekerja secara produktif.
Pembagian
''anak usia sekolah'' tidak adil bagi anak miskin yang sering harus bekerja
membantu orang tua. Sir Ken Robinson menyatakan, kebanyakan anak miskin
justru dimarginalkan oleh persekolahan. Kebanyakan mereka drop-out di tengah
jalan. Saat sekolah memonopoli pendidikan, anak yang tidak sempat bersekolah
dan drop-out dicap kampungan dan
tidak terdidik, lalu kehilangan harga diri, kemudian merasa tidak perlu
belajar karena akses belajar tertutup di luar sekolah.
Deschooling and Home-making
Persoalan
demografi kita, dengan demikian, bukan soal kelebihan jumlah penduduk, tapi
soal ketidakadilan. Jika keadilan bisa ditegakkan, bumi ini masih memiliki
daya dukung yang memadai bagi semua manusia di planet ini yang mau hidup
sederhana yang oleh Sindhunata disebut urip
sak madyo, sak sedhenge.
Fokus
strategis kita ke depan untuk memastikan bonus demografi adalah keluarga di
rumah, bukan sekolah. Ke depan, keluarga harus kita posisikan sebagai simpul
belajar yang pertama dan utama. Fokus pada keluarga berarti bahwa memberikan
bantuan kepada keluarga miskin lebih efektif daripada memberikan beasiswa
bagi siswa dan mahasiswa miskin.
Menaikkan
upah buruh ke tingkat yang layak akan menguatkan keluarga sebagai simpul
belajar pertama anak. Memberikan tunjangan kepada ibu hamil dan menyusui jauh
lebih efektif daripada PAUD untuk meraup masa-masa emas anak dalam seribu
hari pertamanya di planet ini.
Ke
depan, kita tidak mungkin berharap menuai bonus demografi dengan model
pembangunan yang mengandalkan schooling
dan membiarkan home-breaking. Kita
harus mengagendakan deschooling and
home-making untuk memastikan terhindar dari tagihan demografi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar