Minggu, 08 September 2013

E g o i s

E g o i s
Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KOMPAS, 08 September 2013



Beberapa hari yang lalu buruh berdemo lagi. Minta kenaikan UMP menjadi Rp3,7 juta per bulan. Padahal, sejak awal tahun 2013, melalui Pergub No 189/2012, UMP DKI baru saja dinaikkan menjadi Rp 2,2 juta. 

Bulan Mei yang lalu mereka demo, sekarang demo lagi. Kapan kerjanya buruh-buruh ini, padahal minta naik UMP terus-menerus? Alasan wakil pendemo yang diwawancara televisi (saya tidak menyimak apa jabatannya, apakah pimpinan ormas buruh, salah satu pendemo biasa, atau provokator), sepertinya masuk akal. “Kami sudah survei ilmiah,” katanya, “dan memang sebegitulah nilainya kebutuhan hidup sehari-hari di Jakarta.”

Dalam dialog antara perwakilan pendemo dan Wagub Basuki (Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama) yang diadakan kemudian, Wagub membenarkan hitung-hitungan pendemo. Tetapi kalau itu dipenuhi perusahaan bangkrut. Malah buruh bisa kehilangan pekerjaan. Maka solusinya menurut Basuki adalah menurunkan biaya hidup dengan menyediakan fasilitas murah, sepertipelayanankesehatan, pendidikan, transportasi umum, dan penyediaan permukiman. 

Sebagian sudah dilaksanakan dan sebagian lagi sedang diupayakan oleh Pemda DKI. Jawaban pendemo adalah bahwa mereka mengharapkan rencana Pemda DKI bisa terpenuhi secepatnya, tetapi tetap mereka akan demo dengan massa yang lebih besar lagi jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Loh, ini bagaimana? Komentar Jokowi, “Di zaman ekonomi sedang sulit, rupiah sedang melemah, kok malah mikirin minta naik UMP?”. Dalam bahasa psikologi, kaum pendemo itu tergolong egois. 

Egois, bukan ego! Memang dalam percakapan sehari-hari, orang yang mementingkan dirinya sendiri sering disebut “ego”, misalnya “Si Kampret itu ego banget, sih. Gue pinjam catatan kuliahnya aja, gak boleh!” Tetapi itu salah. Arti ego yang sebenarnya adalah “aku”. Orang yang selalu melihat segala persoalan dari sudut pandangnya sendiri disebut “ego-sentris”, artinya “Akunya dijadikan pusat untuk memandang semua permasalahan”. 

Sedangkan orang yang selalu mementingkan akunya sendiri disebut “egois”. Ustad Yusuf Mansur, misalnya, adalah seorang yang egosentris. Sebagai ulama, ia melihat betapa dahsyatnya jika dana dari umat, yang selama ini berceceran, bisa dikumpulkan dan diberdayakan untuk kemaslahatan umat. Itulah ajaran Islam yang sebenarnya. Maka dari kaca mata seorang ulama, tidak ada salahnya kalau gagasan itu dipraktikkan, dan memang dipraktikkannya betul, dan sudah membuahkan hasil. 

Dana yang terkumpul itu rencananya akan digunakan untuk membangun dan membeli sejumlah aset, seperti apartemen haji di Mekkah, serta hotel dan tanah di Tanah Air. Sebuah hotel di Bandara Soekarno-Hatta pun sudah dibelinya dan sudah operasional, dan sebidang tanah juga sudah disiapkannya untuk membangun perkantoran dan masjid. Sebagai ustaz yang dipercaya umatnya, Yusuf Mansur mudah saja melaksanakan rencananya.

Tetapi ketika berhadapan dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), beliau baru tahu bahwa dalam hal penghimpunan dana dari masyarakat tidak cukup dengan menggunakan dalil-dalil agama, melainkan ada undangundang dan peraturan pemerintah yang harus diikuti. Cara berpikir Ustaz Yusuf yang seperti itulah yang disebut egosentris, bukan egois karena beliau melakukannya bukan untuk kepentingan sendiri. Di sisi lain, kita perlu waspada, karena ego-sentrisme bisa berkembang menjadi egoisme. Bahkan setiap egoisme selalu diawali dengan egosentrisme. 

Tetapi tidak setiap ego-sentrisme sama dengan egoisme. Sebagai contoh, pendemo buruh yang minta naik UMP di atas. Mereka ego-sentris, karena hanya memahami masalah hanya dari sudut pandangnya sendiri. Mereka bahkan tidak pedulipada saranWagubBasuki. Tetapi kemudian mereka menjadi egois karena mereka menuntut naik UMP hanya demi kepentingan mereka sendiri. 

Mereka tidak peduli bahwa kenaikan UMP berarti menaikkan ongkos produksi, yang akibatnya adalah kenaikan hargaharga dan mendorong inflasi lebih tinggi lagi, sehingga buruh harus demo minta naik UMP lagi, dan seterusnya. Nah, kapan selesainya? Betul kata Wagub Basuki, tidak lamalama, para pengusaha akan bangkrut, gulung tikar dan hengkang ke negara lain. PHK merajalela, ujung-ujungnya para buruh itu sendiri dan keluarganya yang rugi kan? 

Menurut psikolog G W Allport, salah satu ciri kepribadian orang yang sudah mature (matang, dewasa), adalah extention of the self (perluasan dari aku atau ego-nya). Artinya, “aku” seseorang tidak hanya meliputi diriku sendiri, melainkan juga diri orang lain. Rina, seorang anak balita yang merebut boneka kawannya, karena dianggap sebagai miliknya sendiri, belum mempunyai extention of the self, karena pada waktu itu Rina memang belum matang kepribadiannya. 

Tetapi ketika Rina makin besar, ia bahkan mau memberikan salah satu boneka kesayangannya kepada kawannya karena kasihan bahwa kawannya itu tidak punya boneka. Sekarang Rina sudah mulai mengembangkan extention of the self, karena ia bisa ikut merasakan (empati) kegalauan kawannya itu. Kepribadian Rina sudah berkembang lebih matang, lebih dewasa, lebih mature. 

Celakanya, sekarang ini banyak orang Indonesia, yang walaupun usianya sudah lanjut, kepribadiannya masih kekanakkanakan, belum mature, masih penuh dengan egoisme seperti Rina ketika masih balita. Bukan hanya para buruh pendemo saja yang kepribadiannya belum matang. Para pejabat yang korupsi untuk memperkaya diri tanpa memikirkan kepentingan masyarakat, para pendukung calon pilkada yang mengamuk dan merusak fasilitas umum gara-gara calonnya kalah, para anggota DPR yang tetap studi banding ke LN walaupun negara sedang krisis ekonomi, para penonton konser dangdut yang kalap berantem gara-gara pantat mereka saling bersenggolan, atau jaksa yang marah-marah dan menodongkan senjata api di pom bensin gara-gara istrinya ditegur petugas pom karena menyerobot antrean, dan masih banyak yang lain. Mereka semua adalah orang-orang egois yang berkepribadian kekanak-kanakan. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar