Zona
Bahaya Demokrasi Indonesia
Arif
Susanto ; Pengajar di Universitas Paramadina
SUMBER
: KOMPAS,
23 Mei 2012
Demokrasi Indonesia berada dalam tegangan.
Dalam 14 tahun terakhir sejak Soeharto berhenti sebagai presiden pada 21 Mei
1998, kita berhasil mewujudkan beberapa langkah penting demokratisasi. Namun,
kita juga berhadapan dengan berbagai hambatan.
Hambatan itu—terutama sebagai hasil transaksi
kepentingan sepihak antarelite—menghalangi gerak maju demokrasi Indonesia.
Secara umum demokrasi Indonesia kini mandek.
Tak tersua kemajuan signifikan di bawah rezim terakhir. Dalam situasi ini
kekuatan masyarakat sipil kembali jadi tumpuan harapan untuk menggerakkan
konsolidasi demokrasi.
Titik Tak Dapat Balik?
Sepanjang masa transisi nega- ra-negara
pasca-otoritarian berhadapan dengan tantangan yang kompleks. Kita gembira
dengan penyelenggaraan pemilu yang damai, amandemen UUD 1945, reposisi TNI
menuju tentara profesional, dan beberapa perubahan fundamental lain pada awal
demokratisasi Indonesia. Secara umum tatanan politik kini relatif stabil dalam
arti, tak terdapat kekuatan yang berpotensi hebat seketika mengancam demokrasi
formal runtuh.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
beberapa kesempatan membanggakan hal tersebut. Ketika menerima enam anggota Kongres
Amerika Serikat pada 19 Februari 2008, Presiden menyatakan, demokrasi Indonesia
telah mencapai titik tak dapat balik. Pada 12 April 2010 di hadapan Majelis
Gerakan Dunia untuk Demokrasi, Presiden menegaskan, demokrasi telah menjadi
bagian keseharian hidup warga Indonesia dan tak mungkin berubah arah.
Optimisme tersebut dapat bermakna positif
karena secara umum lemahnya komitmen terhadap nilai-nilai kebebasan di kalangan
pemimpin politik kerap menghalangi demokrasi terwujud. Meski begitu, patut
diingat bahwa tak pernah ada jaminan demokrasi itu berkelanjutan untuk
selama-lamanya.
Ke arah mana demokrasi global bergerak, terus
berlanjut atau berbalik arah, masih merupakan pertanyaan yang relevan, bahkan
setelah 38 tahun gelombang ketiga demokratisasi. Larry Diamond (1998)
menjelaskan, momentum luar biasa perluasan demokrasi dalam lebih dari dua
dasawarsa sejak 1970-an sulit berulang. Namun, kebangkrutan gelombang baru
demokrasi itu masih bisa dihindari.
Sementara itu, hasil amatan Gerard Alexander
(2002) terhadap lima negara besar demokrasi Eropa menunjukkan ”tidak ada
landasan kuat yang menyimpulkan bahwa demokrasi secara inheren akan abadi”.
Yang lebih mutakhir, kajian Freedom in
the World 2011 menegaskan, dalam lima tahun sebelumnya telah terjadi
”pengikisan terus-menerus atas kebebasan di seluruh dunia” dan ini merupakan
periode kemerosotan berkelanjutan terlama sepanjang hampir empat dekade Freedom House menyelenggarakan kajian
serupa.
Seluruh hasil kajian di atas memberi pesan
yang jelas: kemerosotan ataupun pembalikan sistem demokrasi merupakan suatu
kemungkinan bagi negara-negara pasca-otoritarian. Lantas, benarkah kita tak
perlu mengkhawatirkan pembalikan demokrasi Indonesia?
Demokrasi Terancam
”Demokrasi Indonesia belum keluar dari zona
bahaya”, demi- kian simpulan Edward Aspinall (2010) setelah mencermati kondisi
demokrasi Indonesia kontemporer. Aspinall menyatakan, keberhasilan demokrasi
Indonesia dan kualitasnya yang memprihatinkan adalah dua sisi dari mata uang
yang sama.
Akibat pendekatan akomodasional, menurut
Aspinall, elite lama memiliki kekuatan menggerus kualitas demokrasi Indonesia
dari dalam. Kecenderungan patronase dan korupsi berlanjut dalam sistem baru.
Kenyataannya, perilaku korup kini tak secara eksklusif dijalankan oleh elite lama
yang telah mapan. Elite baru pun bisa sama korupnya.
Pada dasarnya pertukaran kepentingan sepihak
antarelite telah melemahkan kehendak politik untuk konsolidasi demokrasi.
Aspinall berpandangan, pertukaran tersebut bukanlah efek samping transisi
demokrasi Indonesia, melainkan hal pokok bagi dinamika demokrasi, bahkan bagian
penting dari keberhasilan demokrasi Indonesia.
Sebelumnya, Robison dan Hadiz (2004) menulis,
kejatuhan Soeharto diiringi oleh bertahannya sebagian unsur sistem kekuasaan
lama dalam tatanan baru. Bukan berarti bahwa otoritarianisme Soeharto akan
kembali, melainkan bahwa suatu sistem pemerintahan demokratis baru memberi
kesempatan bagi berkembangnya oligarkisme. Reorganisasi kekuasaan semacam ini
telah membebani gerak maju demokrasi Indonesia.
Sejalan dengan Aspinall serta Robison dan
Hadiz, Marcus Mi- etzner (2012) menunjukkan, meskipun demokrasi elektoral
tumbuh di Indonesia, masa-masa terakhir ditandai oleh stagnasi dan kemunduran
parsial. Argumentasi Mietzner berpijak pada adanya upaya-upaya nyata sebagian
elite memperlemah kontrol kelembagaan, mulai dari pelemahan KPU hingga KPK,
penggunaan jargon nasionalisme picik, hingga kekerasan memaksakan kehendak.
Kajian-kajian di atas mampu menangkap
dinamika dua arah, antara tumbuhnya demokrasi elektoral dan bertahannya
nilai-nilai nondemokrasi, sebagai hasil pertukaran kepentingan sepihak
antarelite. Barangkali benar bahwa demokrasi Indonesia sulit runtuh seketika.
Namun, dengan korupsi dan ancaman terhadap kebebasan yang lekat dalam sistem politik,
demokrasi Indonesia berada dalam bahaya.
Dari sini terlihat kelemahan pandangan yang
semata-mata berfokus pada keberlanjutan demokrasi elektoral sebagai titik tak
dapat balik. Kisah stabilitas tatanan tidak dapat dilepaskan dari stagnasi yang
memerosotkan kualitas demokrasi Indonesia.
Komitmen menjadikan demokrasi sebagai the only game in town adalah tantangan
berkelanjutan yang dihadapi Indonesia untuk memastikan tidak terjadinya gerak
balik. Hal ini menuntut perhatian diarahkan lebih pada kualitas demokrasi
ketimbang stabilitas kekuasaan.
Masyarakat sipil adalah kekuatan utama
transisi dari otoritarianisme di Indonesia. Ketika struktur politik baru mulai
mapan, aktor-aktor politik utama adalah para politikus profesional. Sayangnya,
liberalisasi politik bukan hanya menghasilkan politikus yang berkomitmen
terhadap demokrasi, tetapi juga para demagog yang membajak demokrasi. Dalam
banyak hal, politikus kategori kedua lebih dominan ketimbang yang pertama.
Inilah sumber utama kekecewaan rakyat terhadap tatanan baru.
Perubahan tampaknya sekali lagi mesti
dipelopori oleh kekuatan masyarakat bebas. Pers bebas, organisasi
non-pemerintah, akademisi non-partisan, individu dan kelompok mandiri yang
berintegritas memiliki kekuatan mengontrol kekuasaan sekaligus mendesakkan
perubahan. Di sisi lain elite berkuasa mesti segera melakukan perubahan radikal
berorientasi pada nilai-nilai demokrasi. Tanpa perubahan itu, saya percaya
rakyat Indonesia tidak akan berdiam menyaksikan kemunduran demokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar