Validitasi Hilal
Muh Kholid AS; Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah Jawa Timur
SUMBER : REPUBLIKA,
07 Mei 2012
Perbedaan kriteria penetapan hilal atau bulan baru tampaknya
masih menjadi momok bagi umat Islam Indonesia. Kondisi ini terlihat dari
dinamika Musyawarah Nasional Hisab Rukyat yang menyepakati pentingnya upaya
mendekatkan pandangan dan metode yang bisa disepakati bersama (Republika,
25/4). Meski kriteria hilal belum disepakati, anggota musyawarah setuju
membentuk tim kecil perumus kriteria.
Perbedaan biasanya muncul ketika kondisi hilal secara
teoretis berstatus “kritis“, di bawah dua derajat. Merujuk pada tradisi Islam,
sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah memberi “patokan“ untuk verifikatornya,
yaitu ayyamul bidl (hari-hari putih).
Menandai tiga hari ini, Rasul SAW telah memberi kriteria
definitif, yaitu hari ke-13, 14, dan 15. Hal ini tertulis dalam Sunan Nasa'i
nomor 2377, 2379, 2380, 2381, 2382, 2383, 2384, 2385, 2386, 2387, 2388, 2389,
dan 4237, Abu Daud (2093), Tirmidzi (692), Ibnu Majah (1697), Ahmad (19429,
19432, 20371, 20372, 20465, 20557), dan lainnya.
Ayyamul bidl adalah hari yang terang terus tanpa
jeda gelap di antara siang dan malam. Keadaan ini terjadi ketika matahari
tenggelam di ufuk barat, bulan telah berada di atas ufuk timur dalam kondisi
bundar dan menerangi bumi. Pada hari ke-16 dan 17, bulan memang juga masih
tampak bundar. Namun, pada tanggal 16 ke atas, bulan masih di bawah ufuk timur
ketika matahari tenggelam. Ada jeda gelap beberapa saat ketika siang diganti
malam sehingga tidak didefinisikan sebagai ayyamul
bidl.
Pengujian hilal ke ayyamul
bidl disebabkan dua metode yang lazim digunakan umat Islam: rukyat dan
hisab dengan segala variannya, musykil didamaikan. Ketinggian hilal yang berada
pada kisaran dua derajat tidak memungkinkannya bisa dilihat dengan mata
(rukyat) telanjang maupun teropong sehingga dianggap belum masuk bulan baru. Sementara
itu, bagi yang berpedoman hisab (hakiki), ketinggian hilal tersebut dianggap
sebagai penanda bulan baru telah datang, tanpa terpengaruh sudah bisa dirukyat
atau tidak.
Sudah banyak pihak yang menyarankan agar metode ini mulai
“berdamai”, yang salah satunya adalah melonggarkan kriteria masing-masing. Bagi
yang berpedoman rukyat diminta untuk menurunkan kriteria ketinggian hilal.
Sementara, kalangan hisab juga diminta membuat kriteria derajat ketinggian
hilal. Pelonggaran kriteria keduanya diharapkan akan membuat hilal bisa
ditemukan dalam waktu yang bersamaan sehingga perayaan hari besar Islam bisa
disambut bersamaan.
Namun, karena hilal terkait erat dengan pelaksanaan ibadah
mahdla, seperti puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, tentu tidak bisa
disederhanakan dengan melonggarkan masingmasing kriteria. Sebab, tidak mungkin
seseorang yang meyakini hari tertentu sudah jatuh pada 1 Syawal, misalnya,
lantas masih melakukan puasa.
Karena, dalam dirinya sudah terta nam keyakinan bahwa hukum
berpuasa tanggal 1 Syawal adalah haram. Begitu juga sebaliknya, tidak mungkin
seseorang dipaksa merayakan Idul Fitri jika dirinya masih berkeyakinan bahwa hari
itu diyakini belum masuk Bulan Sya wal.
Sebagai upaya mencari “kebenaran” hilal, tampaknya perlu
dipikirkan tentang uji coba berkelanjutan yang menjadikan purnama sebagai
patokannya. Berbeda dengan masalah melihat hilal yang tampaknya tidak mungkin
didamaikan, maka ayyamul bidl sebagai
validitas kemunculan hilal bisa dijadikan acuan bersama. Ayyamul bidl sangat mu dah dilihat dan dibedakan dengan mata
telanjang sekalipun dan pengujian ini bisa dilakukan oleh orang awam.
Validitasi hilal dengan patokan ayyamul bidl ini sudah tentu bukan berarti tidak berpedoman pada
ayat Al quran maupun hadis Nabi. Selain Al quran surat al-Insyiqaq ayat 18
secara tersirat mengabarkan pentingnya umat Islam menjadikan purnama sebagai salah
satu bagian ayyamul bidl, Islam juga
mengistimewakannya dengan melakukan puasa sunah. Mengetahui kapan bumi selalu
disinari matahari dan bulan selama 24 jam membuat siapa pun mengetahui tanggal
1 bulan Qomariyah, dengan cara menghitung ke belakang.
Sayangnya, dalam urusan penentuan kalender hijriah, termasuk
penentuan hilal, umat Islam cenderung mengistimewakan ayat hilal. Sementara,
ayat tentang purnama dan hadis ayyamul
bidl cenderung dianaktirikan, bahkan dinafikan. Ayyamul bidl bisa dikata sebagai gejala alam yang akan menguji
pendapat kemunculan hilal yang diperoleh melalui rukyat maupun hisab. Sudah
tentu kebenaran faktual ini tidak cukup didapat dengan sekalidua kali
pengamatan, tetapi butuh bertahun-tahun, dan harus dilakukan secara berterusan.
Artinya, tidak cukup melihat hilal pada saat Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijjah, tetapi harus dilakukan pengamatan pada setiap bulannya
dan tentunya harus melalui waktu bertahun-tahun. Masing-masing pihak yang
berpedoman hisab maupun rukyat harus melakukan penghitungan atau pengamatan
kedatangan hilal serta mencocokkan hasilnya dengan berpatokan pada ayyamul bidl.
Lantas data keduanya disandingkan dan diverifikasi sehingga
diperoleh berapa “ketinggian“ hilal yang menjadi penanda bulan baru telah
masuk. Apakah angka nol memang menjadi penanda fundamental atas eksistensi
segala sesuatu atau angka lainnya.
Lebih daripada itu, jika kemunculan hilal diumumkan setiap
bulannya ke publik, masyarakat juga bisa menjadi juri untuk menentukan metode
mana yang valid. Yaitu, dengan menetapkan hilal dengan cara menghitung mundur
seiring dengan kemunculan ayyamul bidl yang berlaku selama tiga hari
berturut-turut. Bukankah cara ini lebih mencerdaskan masyarakat karena mereka
bisa berpartisipasi menentukan keabsahan waktu ibadahnya sendiri? Wallahu a'lam bish shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar