Prime Pumping
Iman Sugema; Ekonom
SUMBER : REPUBLIKA,
07 Mei 2012
Istilah prime pumping
merujuk pada langkah pemerintah memperbesar pengeluarannya secara
ekstraekspansif untuk menyelamatkan perekonomian dari kehancuran akibat krisis.
Istilah ini dipopulerkan oleh John Maynard Keynes sebagai obat untuk mengatasi the great depression.
Langkah yang sama juga diikuti oleh Amerika Serikat dan
negaranegara di Zona Euro untuk mengatasi krisis finansial yang sampai saat ini
masih terus menghantui. Tapi, mengapa langkah tersebut tidak kunjung membuahkan
hasil yang cukup memuaskan?
Pada prinsipnya, prime
pumping adalah tindakan darurat saat pemerintah membelanjakan uang
sebesar-besarnya agar perekonomian terhindar dari katastrofi yang lebih dalam.
Pemerintah bisa jadi membiayai tindakan ini dengan cara mengeluarkan surat
utang, dan dalam waktu bersamaan bank sentral mencetak uang untuk secara tidak
langsung membeli surat utang tersebut.
Dalam situasi krisis, pengeluaran konsumsi ataupun investasi
swasta cenderung menurun secara drastis. Karena itu, adalah sangat logis bila
pemerintah bertindak untuk menutup penurunan ini sehingga tingkat aktivitas
perekonomian dapat terjaga pada tingkat yang sehat.
Itu bila yang menjadi sumber permasalahan adalah swasta. Bagaimana
kalau yang menjadi masalah adalah pemerintah itu sendiri? Di kebanyakan negara
Zona Euro, justru yang menjadi masalah adalah krisis utang publik akibat
pengeluaran pemerintah yang jor-joran selama puluhan tahun sebelum krisis
merebak. Negara justru sekarang ini tidak lagi berdaya untuk menopang anggaran
ekstraekspansif karena jumlah utangnya sudah sampai pada batas yang sulit untuk
dikembalikan.
Ketika krisis sub
prime mortgage berubah menjadi krisis keuangan global pada 2008 dan 2009,
semua negara maju melakukan prime pumping.
Langkah ini ditandai dengan belanja
pemerintah yang menciptakan defisit anggaran dengan rentang lima sampai 12
persen dari GDP. The Fed dan European Central Bank (ECB) juga
melakukan pencetakan uang secara besar-besaran untuk menyerap surat utang yang
diterbitkan pemerintah.
Sejenak, langkah ini tampaknya telah berhasil menyelamatkan
perekonomian dunia dari depresi yang akut. Resesi memang terjadi selama satu
tahun lebih, tetapi depresi tidak sampai terjadi.
Namun, sebagai dampak ikutannya adalah membengkak nya
tingkat utang yang harus dilunasi oleh beberapa generasi mendatang. Batas aman
utang publik adalah sekitar 60 persen dari GDP. Negara-negara di Zona Euro
telah melewati batas aman utang publik jauh sebelum krisis terjadi.
Kini rata-rata utang di kawasan itu berada di atas 80 persen
yang tentunya sangat mengkhawatirkan. Dengan jumlah utang yang sedemikian
besar, hampir tidak mungkin untuk meneruskan prime pumping. Persoalannya, siapa yang mau membeli surat utang
kalau negara yang bersangkutan diyakini akan bankrut? Tidak ada bukan.
Sekarang, resesi kembali melanda Eropa yang merupakan
konsekuensi dari tidak berdayanya negara dalam melanjutkan ekspansi anggaran.
Sementara itu, dalam waktu yang sama, swasta juga belum sepenuhnya pulih dari
resesi yang ditimbulkan krisis sub prime
mortgage.
Swasta ataupun pemerintah di Zona Euro sama-sama melakukan
penghematan anggaran. Pencabutan subsidi, tunjangan sosial, dan PHK merupakan
bagian dari upaya penghematan itu. Adalah logis, jika negaranegara tersebut
saat ini terjerembab ke dalam resesi untuk kedua kalinya. Permintaan agregat
menciut secara tajam se hingga aktivitas perekonomian pun harus menciut pula.
Tampaknya krisis di Eropa masih akan berlanjut sampai beberapa tahun ke depan.
Dalam riwayat perbendaharaan negara di zaman Rasulullah dan
beberapa dinasti setelah itu, negara selalu di kisahkan sebagai pihak yang
memupuk kekayaan. Negara juga merupakan simbol kesederhanaan dan efisiensi.
Negara adalah penolong bagi pihakpihak yang mengalami kesulitan keuangan.
Negara juga merupakan penolong perekonomian pada saat sulit,
terutama pada masa paceklik atau kekeringan yang begitu lama.
Dulu memang belum dikenal krisis keuangan seperti sekarang
ini. Tetapi, prinsipnya tetap sama, ketika terjadi kesulitan perekonomian maka
negara harus selalu siap menjadi juru selamat. Itu hanya bisa terjadi kalau
negara mampu memupuk kekayaan dalam situasi normal.
Di dunia modern sekarang ini, negara merupakan simbol dari
pemborosan, tak peduli apakah negara itu adalah negara miskin di Afrika ataupun
negara kaya di Eropa. Bentuk pemborosannya saja yang agak berlainan.
Di negara terbelakang, uang dihamburkan dalam bentuk korupsi
dan anggaran militer untuk memerangi rakyat yang memberontak. Di negara maju,
uang dihamburkan dalam berbagai bentuk fasilitas kepada para pejabatnya,
program-program populis untuk memenangkan pemilu, dan program militer yang
super canggih. Namun, itu hanya akan bisa berlangsung pada saat perekonomian
berjalan dalam situasi normal.
Kalau seandainya dalam situasi normal negara tidak boros,
pada situasi krisis negara dapat mengeluarkan kekayaan yang dikumpulkannya
untuk menyelamatkan perekonomian. Itulah sebetulnya makna dari kebijakan
anggaran yang bersifat counter cyclical. Eropa terjerumus ke dalam resesi
seperti sekarang ini karena sebelumnya gagal berhemat.
Negara tidak mampu menolong rakyatnya ketika krisis karena
negara sendiri telah dililit utang sampai pada tingkat yang tak terbayarkan.
Kalau rakyat dan negara sama-sama bankrut, siapa yang akan jadi juru selamat?
Karena itu, Eropa merupakan pelajaran berharga bagi dunia.
Negara harus menjadi pihak yang memupuk kekayaan di saat normal, dan menjadi
juru selamat pada saat kesulitan datang. Prime pumping hanya bisa efektif kalau
sebelumnya negara mampu berhemat. Ada baiknya kita membuka-buka pengalaman
zaman baheula tentang pengelolaan
keuangan negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar