Urgensi Energi Alternatif
Paksi Walandouw; Dosen dan Peneliti Fakultas Ekonomi UI
SUMBER
: REPUBLIKA, 02 Mei 2012
Andaikan
pengembangan energi alternatif sudah dilakukan secara serius sejak dulu,
niscaya kita tidak perlu berada pada posisi yang sulit seperti sekarang.
Tingkat ketergantungan masyarakat kita yang begitu tinggi terhadap BBM
merupakan sebuah bom waktu yang menakutkan. Ketika bom itu sudah mendekati
waktunya maka berbagai masalah muncul dan meledak di masyarakat.
Menatap
dekade kedua di abad ke21, minyak mentah seharusnya bukan lagi menjadi tumpuan
kita. Menilik data yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM), Indonesia hanya memiliki sisa cadangan minyak mentah sebanyak
3,9 miliar barel, yang diprediksi akan habis hanya dalam waktu 12 tahun. Jelas
itu merupakan satu kondisi yang sangat mengkhawatirkan karena keadaan 100
persen impor minyak mentah akan tiba sebentar lagi.
Apabila
kita tidak bergerak untuk mengembangkan energi alternatif dari sekarang maka
negara ini harus berha dapan dengan krisis energi. Menyikapi kondisi ini, semua
pihak harus menya dari pentingnya keberadaan energi alternatif bagi ratusan
juta masyarakat In donesia, dari Sabang sampai Merauke.
Selama
ini, BBM menjadi bahan ba kar utama di Indonesia, memasok sekitar 50 persen
total kebutuhan energi nasional. Ada dua sektor utama yang paling banyak
menyedot persediaan minyak mentah di dalam negeri, yaitu sektor transportasi
dan listrik.
Sektor
tranportasi tiap tahunnya menggunakan BBM sekitar 56 persen dari total konsumsi
BBM nasional. Apabila tahun lalu jumlah total konsumsi BBM sebesar 40 juta
kiloliter maka sektor transportasi saja meminum BBM lebih dari 20 juta
kiloliter. Sementara, berdasarkan RAPBN-P tahun lalu pusat- pusat pembangkit listrik di seluruh Indonesia membutuhkan lebih
dari 7,3 juta kiloliter BBM.
Gas dan Panas
Bumi
Dua
energi alternatif yang dapat dimanfaatkan terhadap kedua sektor tersebut, yang
apabila dilakukan dapat mengu rangi jumlah subsidi BBM secara signifikan. Di sektor
transportasi, gas alam bisa menjadi jawaban. Dibandingkan dengan minyak mentah,
kita memiliki kandungan gas alam yang relatif besar, yaitu sekitar 150 triliun
kaki kubik, cukup untuk cadangan 60 tahun ke depan.
Proses
pemanfaatan BBG sebenarnya bukan cerita baru di Indonesia. Tecatat di era
1990-an pemerintah sempat mendorong kampanye penggunaan BBG yang dinamakan
Langit Biru, yang puncaknya terjadi pada 1996 hingga 1998. Namun, sayangnya
kondisi tersebut tidak bertahan lama karena faktor ketersediaan, minimnya
fasilitas pendu kung, serta murahnya harga BBM.
Apabila
melihat keberhasilan pemerintah dan Pertamina dalam program konversi minyak
tanah ke elpiji maka rencana konversi BBM ke BBG bukanlah suatu hal yang tidak
mungkin. Sejauh ini, Pertamina sudah mendistribusikan lebih dari 50 juta ta
bung elpiji, meningkatkan konsumsi elpiji dari 1,1 juta ton per tahun jadi
sekitar 4,7 juta ton.
Di
sektor listrik, ada satu energi alternatif yang berpotensi menjadi penyelamat.
Energi alternatif tersebut adalah panas bumi. Tidak banyak orang yang tahu
kalau Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia. Dengan potensi
lebih 27 ribu megawatt, potensi panas bumi kita mencakup 40 persen po tensi
dunia.
Dibandingkan
BBM, panas bumi terbukti jauh lebih murah. Biaya per kwh yang harus dikeluarkan
oleh pembangkit listrik yang menggunakan BBM adalah 30 sen dolar AS. Dengan
panas bumi angka itu bisa ditekan menjadi 10-20 sen dolar AS saja.
Apabila
ini bisa diterapkan bayang kan berapa biaya yang bisa ditekan. Perlu diingat,
selain subsidi BBM yang mencekik keuangan negara, subsidi listrik juga
merupakan satu pengeluaran yang selalu membenani APBN. Tahun ini, misalnya,
diprediksi pemerintah harus mengeluarkan lebih dari Rp 90 tri liun untuk
subsidi listrik.
Oleh
karena itu, langkah Pertamina yang sudah serius mengembangkan potensi panas
bumi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir harus didukung oleh semua
elemen bangsa. Pertamina, sebagai perusahaan yang 100 persen milik negara,
sudah membangun beberapa pusat pengembangan panas bumi di beberapa daerah,
salah satunya di Kamojang, Garut. Saat ini, Pertamina mampu menghasilkan energi
panas bumi sebesar 1.194 megawatt dan akan menjadi 1.889 megawatt pada 2014,
menjadikan Indonesia sebagai penghasil energi panas bumi terbesar di dunia.
Namun
sayangnya, penerapan kedua energi alternatif tersebut tidak semudah yang kita
bayangkan. Begitu banyak kendala di lapangan yang menghambat berkembangnya
energi alternatif nasional. Ada tiga kendala utama, yaitu iklim investasi yang
tidak mendukung, pola pikir masyarakat, dan minimnya pembangunan infrastruktur
pendukung.
Tidak
ada jalan singkat untuk menyelesaikan keempat masalah tersebut. Untuk dapat
mengurangi tingkat ketergantungan BBM tidaklah mudah. Di sinilah political action pemerintah diperlukan.
Namun, mengurangi subsidi saja tidak cukup.
Diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah dan institusi terkait berkenaan
dengan pengembang an energi alternatif jangka menengah dan jangka panjang.
Masyarakat di sisi lain diharapkan bisa memahami masalah yang terkait dengan
BBM dan energi alternatif dengan lebih bijak.●
sepakat pak, kita harus mulai beralih ke energi terbarukan
BalasHapus