Rabu, 02 Mei 2012

Mengapa Hanya Tut Wuri Handayani?

Mengapa Hanya Tut Wuri Handayani?
E Handayani Tyas; Dosen FKIP Universitas Kristen Indonesia
SUMBER : SINAR HARAPAN, 02 Mei 2012


Setiap tahun menjelang 2 Mei, terenyuh hati penulis. Paling tidak itulah yang penulis rasakan, maka berikut ini adalah goresan pena yang dapat penulis sampaikan demi Indonesia, negara tercinta, khususnya dunia pendidikan yang penulis geluti sampai hari ini.

Ki Hajar Dewantara adalah sosok yang patut digugu lan ditiru, artinya sosok yang dapat dipercaya dan diteladani. Ia lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat.

Sebagai sosok pendidik yang kritis dalam pemikiran, terbukti dalam tulisan-tulisannya di surat kabar mengakibatkan beliau sering memperoleh sanksi dari pemerintah Belanda dan diasingkan di beberapa pulau di Indonesia, terakhir di negeri Belanda.

Sekembalinya di Tanah Air, bersama rekan-rekanya, RM Soewardi Soerjaningrat mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Demi memuluskan langkah dan niatnya, RM Soewardi Soerjaningrat berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara, karena sebagai bangsawan yang berasal dari lingkungan Keraton Yogyakarta dengan gelar Raden Mas di depan namanya, ia merasa kurang leluasa bergerak.

Berhenti dari tulisan-tulisan yang bernuansa politik, beliau beralih ke dunia pendidikan dan kebudayaan. Melalui konsep-konsep di bidang pendidikan itulah ia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, ia pun dipercaya menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama.

Sistem “Among”

Semboyan Pendidikan Ki Hajar Dewantara dikenal dengan sistem “Among”, yaitu ing ngarso sung tulodo (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik), ing madyo mangun karso (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan).

Itulah sebabnya tanggal kelahirannya, 2 Mei, oleh bangsa Indonesia dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Selain itu melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 395 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959 Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional. Penghargaan lainnya yang diterima Ki Hajar Dewantara adalah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada 1957.

Sekian tahun lamanya insan pendidikan ini merasa prihatin karena dipisahkannya pendidikan dan kebudayaan. Wahai petinggi pendidikan; mendidik tidak sama dengan mengajar, mendidik termasuk mengubah dan membentuk perilaku menjadi baik. Mendidik anak manusia perlu mengetahui latar belakang, kondisi sosial ekonomi, demografi, adat istiadat, dan budaya masing-masing peserta didik, keluarganya, dan sebagainya.

Kebudayaan tidak bisa sekadar dimaknai identik dengan objek-objek wisata, tari-tarian, nyanyian/lagu-lagu, dan sejenisnya. Indonesia kaya dengan SARA (Suku, Agama, Ras dan Adat-istiadat). Apabila mereka saling bersinggungan/bergesekan, akan sangat rentan menyulut pertikaian, amarah, amuk massa, anarkis.

Para pendiri bangsa ini sangat menyadari perlunya NKRI jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI. Pemuda-pemudi Indonesia telah pernah mengikrarkan Satu Bangsa, Bangsa Indonesia; Satu Negara, Negara Indonesia; Satu Bahasa, Bahasa Indonesia; yang terjadi pada 28 Oktober 1928 yang kita kenal sebagai Hari Sumpah Pemuda.

Penulis ikut berkepentingan akan bersatunya pendidikan dan kebudayaan. Antara pendidikan dan kebudayaan ibarat satu keping mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan/diiris atau dibelah. Satu sisi sebelahnya adalah pendidikan dan satu sisi sebelah lainnya adalah kebudayaan.

Mana Keteladanannya?

Karena itu, penulis menyambut lega bersatunya kembali pendidikan dan kebudayaan. Adapun yang penulis rasakan sebagai suatu keprihatinan yang mendalam adalah lambang yang digunakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu sendiri. Mengapa yang dituliskan hanya “Tut Wuri Handayani” Lalu ke mana unsur keteladanan yang diajarkan Ki Hajar Dewantar? Ke mana pula unsur prakarsa yang harus dimiliki guru/pemimpin?

Apakah tidak dimungkinkan adanya ide kreatif untuk menuangkannya ke dalam sebuah lambang yang benar-benar dapat memuat ketiga ajaran Ki Hajar Dewantara yang sarat dengan rasa cinta, rasa bersatu, perasaan, dan keadaan jiwa pada umumnya yang sangat bermanfaat untuk berlangsungnya suatu proses pendidikan.

Hilangnya unsur keteladanan menjadikan pendidikan salah arah. Bagaimanapun juga panutan/keteladanan mutlak harus melekat pada diri seorang pendidik, begitu juga prakarsa adalah sebuah gagasan yang senantiasa harus ada di dalam pendidikan dan pengajaran. Benar memang perbuatan memberikan dorongan/memotivasi peserta didik itu penting, tetapi ketiganya adalah suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Ki Hajar Dewantara memang telah wafat pada 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Kampung Celeban, Yogyakarta. Beliau mendapat gelar Bapak Pendidikan Nasional, dan atas jasa-jasanya, pendiri Taman Siswa itu ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional. Semangatnya terus hidup di dalam setiap hati pencinta pendidikan, untuk itu perlu dikenang, dilestarikan, dan diperjuangkan sebagai wujud nyata ikut mencerdaskan kehidupan bangsa demi kemajuan negara Indonesia.

Itulah sebabnya dalam rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2012 ini, penulis memberanikan diri membuat judul: 'Mengapa Hanya Tut Wuri Handayani?’. Berikut adalah gagasan lambang pendidikan yang kiranya dapat dipertimbangkan.

Sekiranya tidak terlalu rumit diadakan perubahan maka sebaiknya tercantum lengkap gagasan Ki Hajar Dewantara mula-mula. Bagaimanapun unsur keteladanan dan prakarsa harus melekat di dunia pendidikan.

Fakta menunjukkan begitu penting unsur keteladanan itu supaya menjadi lengkaplah yang dimaksud Ki Hajar Dewantara. Hilangnya unsur-unsur keteladanan dan prakarsa menyebabkan peserta didik tidak merasa bersalah jika berbuat kebrutalan seperti tawuran yang seolah-olah makin bangga jika diliput media masa. Dahulu jika kita menjumpai sekumpulan siswa di jalan tak sedikit pun terbersit rasa takut, beda dengan kondisi sekarang, begitu ngeri jika kita menghadapi mereka.

Melalui kesempatan ini, penulis mengimbau kiranya unsur keteladanan-prakarsa-motivasi dapat senantiasa diedukasikan melalui lambang, emblem di baju seragam, topi, bendera, dan lain-lain, seperti lambang yang penulis usulkan di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar