Kamis, 10 Mei 2012

Setahun Pasca-Usamah


Setahun Pasca-Usamah
Ahmad Ubaidillah; Mahasiswa pada Program Magister Studi Islam
UII Yogyakarta
SUMBER :  REPUBLIKA, 09 Mei 2012


Pada Jumat (4/5) lalu, telah setahun meninggalnya Us amah bin Ladin. Ia menjadi buronan kelas wahid Pemerintah AS hingga akhirnya diberondong senjata di tempat persembunyiannya di Abbotabad, Pakistan, pada 4 Mei 2011.

Deretan pertanyaan tentu akan muncul dalam benak kita: apakah setelah kematian Usamah setahun silam, berbanding lurus dengan kematian teroristeroris lain di muka bumi ini? Apakah meninggalnya Usamah itu menjadi pertanda berakhirnya teroris di Indonesia?

Bom bunuh diri yang meledak di Gereja Bethel Injil Sepenuh, Solo, Jawa Tengah (Ahad, 25/9/2011) yang menewaskan beberapa orang dan melukai orang lainnya adalah bukti bahwa kelompok radikal di negeri ini masih tumbuh subur. Mereka masih bebas melancarkan serangan dengan merusak nilai-nilai kemanusiaan. Lalu, upaya apa yang perlu dilakukan guna menanggulangi teroris-teroris Indonesia?

Membicarakan kelompok radikal akan membawa kita kepada keruwetan.
Kelompok radikal merupakan patologi sosial-keagamaan. Banyak faktor yang melatarbelakanginya, misalnya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Namun, menurut hemat penulis, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya kelompok radikal, yang kebetulan diidentikkan dan dilakukan sebagian besar orang Islam itu.

Pertama, skriptualisme-ideologis. Salah satu kecenderungan kaum Islam radikal adalah skriptualis atau literalis dalam menafsirkan teks-teks agama. Mereka cenderung menolak studi kritis teks-teks agama seperti hermeunetika, yaitu sebuah kajian yang berangkat dari tradisi filsafat bahasa yang mengasumsikan bahwa Alquran harus dipahami, ditafsirkan, dikaji dalam rangka menafsirkan realitas sosial.

Akibat menolak penafsiran secara hermeunetik ini, mereka terjebak dalam penafsiran secara harfiah yang menjadikan teks kitab suci sebagai legitimasi atau justifikasi dalam melakukan tindak kekerasan. Inilah keberadaan teks ke agamaan. Di satu sisi bisa menjadi petunjuk moral dan sumber kedamaian, namun di sisi lain hal ini bisa menjadi sumber malapetaka dan dalih melakukan tindak kekerasan atas nama jihad.

Kedua, respons terhadap modernisasi. Bagi kalangan Islam radikal, wacana modernisasi sering kali disalahpahami. Mereka menganggap konsep modernisasi tetap dianggap sesuatu yang membahayakan ajaran dan identitas Islam karena berasal dari Barat. Mereka tidak mempedulikan wacana modernisasi secara komprehensif (baik/buruk, benar/salah, manfaat/tidak manfaat).

Bahkan, seorang penulis prolifik Karen Amstrong pernah mengatakan bahwa gerakan fundamentalisme/radikalisme mempunyai hubungan erat dengan modernitas. Gerakan tersebut tidak bisa lepas dari pengaruh rasionalisme Barat.
Lebih lanjut dia mengatakan tidak ada satu hal pun, termasuk agama, yang tidak berubah. Agama tidak pernah luput dari cengkeraman modernisasi.

Ketiga, pengaruh kapitalisme global. Meskipun sistem ekonomi kapitalisme global telah menciptakan kesejahteraan masyarakat dunia dan kecanggihan teknologi, namun sistem ini juga meciptakan ancaman serius terhadap nilainilai sosial, budaya, tak terkecuali agama. Bagi mereka (kelompok Islam radikal), kapitalisme adalah salah satu agenda barat dan non-Islami yang dipaksakan pada masyarakat Muslim. Mereka berasumsi bahwa sistem ekonomi kapitalisme adalah biang kerok dan penyebab krisis perekonomian dunia dan umat Islam.

Langkah-langkah

Selama dunia ini belum berakhir, radikalisme yang diwarnai berbagai bentuk kekerasan akan selalu tumbuh subur di negeri ini. Padahal, segala bentuk kekerasan atas nama agama sangat tidak dibenarkan, baik oleh hukum agama maupun negara.

Demi keutuhan dan masa depan umat Muslim Indonesia, setidaknya ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Pertama, merekonstruksi kurikulum dan pola pengajaran agama pada insti tusi pendidikan. Kita tahu bahwa gerakan Islam radikal, misalnya, saja gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang sempat marak beberapa waktu yang lalu, sudah masuk ke perguruan tinggi dengan merekrut sejumlah mahasiswa.

Kedua, mengoptimalkan peran ulama. Ulama memiliki potensi besar untuk mendakwahkan nilai-nilai Islam yang damai dan inklusif. Ulama harus menjadi garda depan mengajarkan pesan-pesan Islam yang penuh kedamain. Mereka tidak boleh terjebak pada pemaknaan teks agama, misalnya jihad, yang memberikan pengajaran tentang kekerasan. Makna jihad harus dijelaskan secara komprehensif, terutama yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan.

Ketiga, peran pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa gerakan Islam radikal tidak hanya dimotivasi oleh agama, tetapi juga didorong oleh persoalan-persoalan ekonomi dan politik. Mereka merasa “sakit hati“ dengan ketimpangan ekonomi di sekitarnya. Mereka sering kali muak dengan ulah elite politik yang tidak peduli lagi dengan kehidupan masyarakat kecil.

Adalah tugas pemerintah menyejahterakan rakyat. Penyejahteraan bisa diwujudkan melalui pemberdayaan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pemerataan pendapatan. Adalah juga kewajiban para pemegang kekuasaan untuk menghadirkan tatanan politik yang bermartabat dengan mengutamakan kepentingan rakyat, bukan kepentingan diri dan kelompok (partai).

Dan, keempat, menjadikan masyarakat yang kritis dalam beragama. Masyarakat yang kritis adalah masyarakat yang tidak mengedepankan taklid dalam beragama, yaitu serta-merta menerima pendapat, nasihat, petuah, dan sebagainya yang diberikan kiai, ustaz, guru, tanpa mengetahui dalil atau alasannya secara jelas dan syar'i.

Sudah waktunya seluruh komponen bangsa ini bersinergi secara serius dan konsisten melakukan langkah-langkah tersebut. Harapannya agar segala bentuk pemikiran, ideologi, ide, dan ajaran yang berbau radikal (kekerasan) bisa ditekan sampai ke titik nol. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar