Setahun Pasca-Usamah
Ahmad Ubaidillah; Mahasiswa pada Program Magister Studi Islam
UII
Yogyakarta
SUMBER
: REPUBLIKA,
09 Mei 2012
Pada
Jumat (4/5) lalu, telah setahun meninggalnya Us amah bin Ladin. Ia menjadi
buronan kelas wahid Pemerintah AS hingga akhirnya diberondong senjata di tempat
persembunyiannya di Abbotabad, Pakistan, pada 4 Mei 2011.
Deretan
pertanyaan tentu akan muncul dalam benak kita: apakah setelah kematian Usamah
setahun silam, berbanding lurus dengan kematian teroristeroris lain di muka
bumi ini? Apakah meninggalnya Usamah itu menjadi pertanda berakhirnya teroris
di Indonesia?
Bom
bunuh diri yang meledak di Gereja Bethel Injil Sepenuh, Solo, Jawa Tengah
(Ahad, 25/9/2011) yang menewaskan beberapa orang dan melukai orang lainnya
adalah bukti bahwa kelompok radikal di negeri ini masih tumbuh subur. Mereka
masih bebas melancarkan serangan dengan merusak nilai-nilai kemanusiaan. Lalu,
upaya apa yang perlu dilakukan guna menanggulangi teroris-teroris Indonesia?
Membicarakan
kelompok radikal akan membawa kita kepada keruwetan.
Kelompok radikal merupakan patologi sosial-keagamaan. Banyak faktor yang melatarbelakanginya, misalnya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Namun, menurut hemat penulis, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya kelompok radikal, yang kebetulan diidentikkan dan dilakukan sebagian besar orang Islam itu.
Kelompok radikal merupakan patologi sosial-keagamaan. Banyak faktor yang melatarbelakanginya, misalnya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Namun, menurut hemat penulis, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya kelompok radikal, yang kebetulan diidentikkan dan dilakukan sebagian besar orang Islam itu.
Pertama,
skriptualisme-ideologis. Salah satu kecenderungan kaum Islam radikal adalah
skriptualis atau literalis dalam menafsirkan teks-teks agama. Mereka cenderung
menolak studi kritis teks-teks agama seperti hermeunetika, yaitu sebuah kajian
yang berangkat dari tradisi filsafat bahasa yang mengasumsikan bahwa Alquran
harus dipahami, ditafsirkan, dikaji dalam rangka menafsirkan realitas sosial.
Akibat
menolak penafsiran secara hermeunetik ini, mereka terjebak dalam penafsiran
secara harfiah yang menjadikan teks kitab suci sebagai legitimasi atau
justifikasi dalam melakukan tindak kekerasan. Inilah keberadaan teks ke
agamaan. Di satu sisi bisa menjadi petunjuk moral dan sumber kedamaian, namun
di sisi lain hal ini bisa menjadi sumber malapetaka dan dalih melakukan tindak
kekerasan atas nama jihad.
Kedua,
respons terhadap modernisasi. Bagi kalangan Islam radikal, wacana modernisasi
sering kali disalahpahami. Mereka menganggap konsep modernisasi tetap dianggap
sesuatu yang membahayakan ajaran dan identitas Islam karena berasal dari Barat.
Mereka tidak mempedulikan wacana modernisasi secara komprehensif (baik/buruk,
benar/salah, manfaat/tidak manfaat).
Bahkan,
seorang penulis prolifik Karen Amstrong pernah mengatakan bahwa gerakan
fundamentalisme/radikalisme mempunyai hubungan erat dengan modernitas. Gerakan
tersebut tidak bisa lepas dari pengaruh rasionalisme Barat.
Lebih lanjut dia mengatakan tidak ada satu hal pun, termasuk agama, yang tidak berubah. Agama tidak pernah luput dari cengkeraman modernisasi.
Lebih lanjut dia mengatakan tidak ada satu hal pun, termasuk agama, yang tidak berubah. Agama tidak pernah luput dari cengkeraman modernisasi.
Ketiga,
pengaruh kapitalisme global. Meskipun sistem ekonomi kapitalisme global telah
menciptakan kesejahteraan masyarakat dunia dan kecanggihan teknologi, namun sistem
ini juga meciptakan ancaman serius terhadap nilainilai sosial, budaya, tak
terkecuali agama. Bagi mereka (kelompok Islam radikal), kapitalisme adalah
salah satu agenda barat dan non-Islami yang dipaksakan pada masyarakat Muslim. Mereka
berasumsi bahwa sistem ekonomi kapitalisme adalah biang kerok dan penyebab
krisis perekonomian dunia dan umat Islam.
Langkah-langkah
Selama
dunia ini belum berakhir, radikalisme yang diwarnai berbagai bentuk kekerasan
akan selalu tumbuh subur di negeri ini. Padahal, segala bentuk kekerasan atas
nama agama sangat tidak dibenarkan, baik oleh hukum agama maupun negara.
Demi
keutuhan dan masa depan umat Muslim Indonesia, setidaknya ada beberapa langkah
yang perlu dilakukan. Pertama, merekonstruksi kurikulum dan pola pengajaran
agama pada insti tusi pendidikan. Kita tahu bahwa gerakan Islam radikal,
misalnya, saja gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang sempat marak beberapa
waktu yang lalu, sudah masuk ke perguruan tinggi dengan merekrut sejumlah
mahasiswa.
Kedua,
mengoptimalkan peran ulama. Ulama memiliki potensi besar untuk mendakwahkan
nilai-nilai Islam yang damai dan inklusif. Ulama harus menjadi garda depan
mengajarkan pesan-pesan Islam yang penuh kedamain. Mereka tidak boleh terjebak
pada pemaknaan teks agama, misalnya jihad, yang memberikan pengajaran tentang
kekerasan. Makna jihad harus dijelaskan secara komprehensif, terutama yang
menyangkut nilai-nilai kemanusiaan.
Ketiga,
peran pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa gerakan Islam radikal tidak
hanya dimotivasi oleh agama, tetapi juga didorong oleh persoalan-persoalan
ekonomi dan politik. Mereka merasa “sakit hati“ dengan ketimpangan ekonomi di
sekitarnya. Mereka sering kali muak dengan ulah elite politik yang tidak peduli
lagi dengan kehidupan masyarakat kecil.
Adalah
tugas pemerintah menyejahterakan rakyat. Penyejahteraan bisa diwujudkan melalui
pemberdayaan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pemerataan pendapatan.
Adalah juga kewajiban para pemegang kekuasaan untuk menghadirkan tatanan
politik yang bermartabat dengan mengutamakan kepentingan rakyat, bukan
kepentingan diri dan kelompok (partai).
Dan,
keempat, menjadikan masyarakat yang kritis dalam beragama. Masyarakat yang
kritis adalah masyarakat yang tidak mengedepankan taklid dalam beragama, yaitu
serta-merta menerima pendapat, nasihat, petuah, dan sebagainya yang diberikan
kiai, ustaz, guru, tanpa mengetahui dalil atau alasannya secara jelas dan
syar'i.
Sudah waktunya seluruh komponen bangsa ini
bersinergi secara serius dan konsisten melakukan langkah-langkah tersebut.
Harapannya agar segala bentuk pemikiran, ideologi, ide, dan ajaran yang berbau
radikal (kekerasan) bisa ditekan sampai ke titik nol. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar